Oleh Alkaf Muchtar Ali Piyeung

Tulisan ini saya mulai dengan menuliskan beberapa kasus mengenai keberadaan masyarakat muslim di Eropa dan bagaimana keberadaan mereka direspon oleh pemerintah setempat. Kasus pertama adalah penolakan parlemen Belanda terhadap RUU tentang pelarangan penyembelihan hewan, sehingga pemerintah Belanda mengajukan kompromi agar ada pengetatan penyembelihan hewan tanpa bius (www.acehcorner.com/ 15 Desember 2011). Kasus kedua adalah pelarangan jilbab, dalam pengertian niqab dan burqa, di Prancis (www.suaramedia.com/14 Juli 2010) karena dianggap membawa gelombang esktrimisme dan menyerang hak-hak perempuan dan laïcité (sekularisme). Sedangkan kasus berikutnya di Inggris, di sana sudah ada kegiatan pengajaran kewarganegaraan yang dilakukan oleh pemerintah untuk pelajar muslim. Tujuan pengajaran ini agar terbangunnya perasaan kebangsaan dan untuk mencegah warga muslim Inggris masuk ke dalam paham-paham radikal (Anton Alifandi, www.bbc.com/11 September 2009).

Ketiga kasus itu sengaja saya ketengahkan untuk menggambarkan bagaimana kehidupan muslim di pusat negara-negara Eropa, yang bisa kita katakan sebagai tempat lahir dan berkembangnya prinsip-prinsip modern yang kemudian telah mengubah wajah dunia saat ini, yang memang sedang melakukan dialog yang rumit mengenai identitas kebangsaan dan keberagamannya. Yaitu bagaimana tetap menjadi muslim namun di saat yang bersamaan juga menjadi warga negara yang baik, karena masyarakat muslim di sana berhadapan dengan dua hal sekaligus, yaitu alam kesadaran sebagai muslim yang awalnya mayoritas imigran dan negara yang mereka tempati sekarang.

Bagi masyarakat muslim di Eropa, identitas keberagaman juga berarti membawa identitas asal yang bukan Eropa, sehingga hal itu juga menjadi masalah bagi warga asli. Inilah yang dilihat secara baik oleh John R Bowen (2010; 179) dalam sebuah penelitiannya di Prancis yang kemudian ditulis dalam sebuah buku yang berjudul ‘Can Islam be French?’. Bowen menjelaskan bahwa masyarakat muslim memiliki dua masalah untuk melakukan integrasi yaitu karenanya adanya budaya communalism (kebersamaan) yang membuat mereka melakukan asosiasi ke dalam, di antaranya dengan keberadaan mesjid, sekolah-sekolah dan juga hubungan kekerabatan. Masalah berikutnya adalah kegagalan masyarakat muslim untuk menerima sekularisme.

Tentang kerumitan untuk menjelaskan dan memahami indentitas maka menarik menyimak apa yang disampaikan oleh Tariq Ramadan ’I am Swiss by nationality, Egyptian by memory, Muslim by religion, European by culture, universalistic by principle’. Dan bagi Ramadan menjadi problematik bila muslim ditanya apakah yang menjadi pilihan utama mereka, keislamannya atau kebangsaannya, karena pertanyaan itu akan membuat mereka harus memilih salah satunya (http://insideislam.wisc.edu/4 Januari 2010).

Bila kemudian kita mengikuti alur pemikiran Tariq Ramadan, maka kita akan mendapati beberapa sikap akademik dan kebudayaan tentang keharusan masyarakat muslim di sana untuk melakukan pendefinisian ulang tentang identitasnya, sekaligus mengajak masyarakat di Eropa untuk melihat secara lebih bijak bahwa Islam kini itu juga merupakan anak kandung dari kebudayaan di Eropa. Sehingga tidak terlalu relevan baginya, setelah puluhan tahun masyarakat muslim dari beberapa wilayah muslim melakukan migrasi ke negara-negara Eropa, masih dianggap sebagai sesuatu yang asing dalam masyarakat Eropa.

Pembacaan ulang terhadap Islam yang dilakukan oleh Ramadan itu-pun dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab, bahwa dia tidak mengajak masyarakat muslim untuk melakukan adaptasi buta dengan sistem modern yang sedang mendominasi sekarang, melainkan melakukan interpretasi ulang dari internal kaum muslim terhadap bangunan keyakinannya dalam melihat dunia dewasa ini, serta keluar dari tembok yang memisahkan muslim dari dunia luarnya (Tariq Ramadan, Out of the ‘Muslim Ghetto/5 September 2007).

Ramadan menegaskan bahwa Islam harus dipandang sebagai sebagai keyakinan yang fundamental, namun memiliki wujud yang beragam melalui ekspresinya masing-masing, yang ditentukan oleh penafsiran dan kebudayaannya. Sehingga bagi Ramadan, Islam di Barat sama saja, secara ide utamanya, dengan Islam di Arab, Afrika atau Asia. Di sini kemudian Ramadan memberikan perhatian yang besar mengenai keberadaan Islam di Barat, dalam kontesk demogfrafi adalah di Eropa, yang baginya bukan lagi mempersoalkan tentang kesepakatan bersama atau integrasi, melainkan sudah harus berada pada titik memberikan kontribusi dan partisipasi.

Bagi Ramadan, muslim yang lahir di Eropa harus melihat kenyataan bahwa mereka sudah berada dalam dunia dan kebudayaan yang berbeda dengan generasi sebelumnya yang pindah ke Barat atau pun kelompok muslimnya yang tinggal di jantung dunia Islam (Tariq Ramadan, What I Believe/ 28 Oktober 2009). Ramadan juga mengatakan bahwa muslim di Eropa, tidak boleh lagi berada dalam fase integrasi. Baginya kini, muslim di Eropa sudah berada dalam periode post-integration yang kemudian berimplikasi positif agar muslim memberikan kontribusi dan partisipasinya.

Pendiskusian tentang identitas ini tentunya akan terus mengalami perluasan horizon sesuai pula dengan respon yang dialami oleh masyarakat muslim di Eropa. Tentu saja hal ini akan memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat muslim di belahan bumi lain untuk meletakkan diri dalam komposisi masyarakat dunia yang memang semakin dekat akibat adanya interaksi yang hampir tanpa batas. Pengalaman-pengalaman dalam dunia yang baru ini, yang barangkali tidak dimiliki dalam imajinasi masyarakat muslim dan Eropa sebelumnya pada masa yang lampau, tentunya akan semakin mendewasakan dan mendekatkan keduanya, sehingga pada masa depan, tidak hanya muslim yang dianggap sebagai benar-benar warga di Eropa, namun juga sampai ke pada titik yang penting bahwa Islam juga merupakan agama Eropa.

Untuk konteks Aceh, pengalaman Muslim di Eropa kemudian menunjukkan kepada kita bahwa betapa sekarang beragama tidak lagi boleh berada dalam posisi yang saling mengintai. Beragama di arena posmodernisme ini kemudian tidak hanya mengajak, namun sudah sedikit memaksa kita untuk membuka ruang dialog yang selebar-lebarnya dengan kebudayaan serta pengalaman the other. Yang lain itu kemudian tidak tepat lagi kita tempatkan dalam posisi yang oposisi biner, dan juga bukan abu-abu sama sekali. Namun lebih dari itu, pihak di luar kita yang berbeda itu mestilah ditempatkan sebagai wujud yang unik yang kemudian juga saling memberi kontribusi untuk kita di masa depan.[]

Penulis Pegiat di Kelompok Studi Darussalam dan Peneliti di Aceh Institute.

Komentar