Dok. LKBH Unsyiah

PM, Banda Aceh – Terpilihnya Wali Kota Subulussalam, H Affan Alfian, di Pilkada lalu menyisakan beberapa persoalan. Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Subulussalam disebut-sebut telah mengabaikan qanun Aceh yang mensyaratkan calon kepala daerah harus ‘orang Aceh’. Seperti diketahui, persyaratan ini tengah menyasar keabsahan status Affan sebagai Wali Kota Subulussalam terpilih.

Dalam acara diskusi bertema “Polemik Persyaratan Calon Kepala Daerah Di Aceh (Studi Kasus terhadap PILKADA di Kota Subulussalam)” di Fakultas Hukum Unsyiah, Kamis (24/1), Zulfikar Sawang selaku kuasa hukum penggugat menyebutkan bahwa di dalam Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016, di Pasal 24 huruf b menegaskan “Pasangan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota harus memenuhi persyaratan ianya adalah orang Aceh“.

“Sebelum lahirnya Qanun Aceh No. 12 Tahun 2016, tersebut tidak masalah. Jadi, apabila ada Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Walikota yang bukan orang Aceh maka tidak menjadi masalah karena belum ada ketentuan mengenai hal itu. Namun setelah 2016, tidak boleh lagi sebab Qanun Aceh No. 12 Tahun 2016 mengikat semua pihak,” kata Zulfikar.

Ia menambahkan, penyelenggara Pilkada di Aceh seharusnya mengikuti segala ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

“Termasuk mengenai syarat ‘Orang Aceh’ sebagai salah satu syarat bakal calon kepala daerah. Dengan ditetapkannya H Affan Alfian yang ‘bukan orang Aceh’ oleh KIP Subulussalam, berarti KIP Kota Subulussalam sebagai penyelenggara Pemilu telah mengesampingkan aturan,” tegas Zulfikar Sawang.

Menurut Zulfikar, karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam qanun tadi, maka dengan sendirinya pasangan H Alfian Afan dan Salmaza tidak sah sebagai Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Subulussalam.

“Dengan demikian, Keputusan KIP Kota Subulussalam Nomor 64/HK.03.1-Kpt/03/KIP-SS/VIII/2018 di mata hukum tidak sah, karena mengalami cacat hukum sehingga harus dinyatakan batal demi hukum atau dinyatakan tidak sah atau setidak tidaknya haruslah dibatalkan,” katanya lagi.

Hal itu semakin dipertegas oleh Ketua Badan Legislasi (BANLEG) DPRA, Abdullah Saleh, S.H. yang mengatakan bahwa syarat ‘Orang Aceh’ ini berarti setiap individu yang lahir di Aceh atau memiliki garis keturunan Aceh.

“Individu itu, baik yang ada di Aceh maupun di luar Aceh dan mengakui diri sebagai orang Aceh,” ujar Saleh.

Perlu Aturan Teknis

Untuk memperjelas isi Qanun Nomor 12 Tahun 2016, akademisi Fakultas Hukum Unsyiah, Zainal Abidin, S.H., M.Si., menekankan perlunya hukum acara atau petunjuk teknis untuk menentukan kualifikasi ‘Orang Aceh’. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam memahami serta membuat keputusan.

“Sebagaimana diketahui baik dalam Pilkada maupun Pemilu banyak otoritas yang diberi kewenangan memutus perkara Pilkada/Pemilu. Dalam praktik jamak diketahui satu perkara Pilkada/Pemilu terdapat putusan berbeda-beda diantara Panwaslih, Peradilan, DKPP dan KIP,” kata Zainal Abidin.

Kendati gugatan tengah dalam proses hukum tingkat banding di PT TUN Medan, kuasa hukum penggugat, Zulfikar Sawang mengaku tetap menghormati apapun putusan pengadilan nantinya.

“Apabila telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) wajib kita hormati,” tutupnya.

Adapun kegiatan bedah kasus ini dihadiri oleh 94 peserta yang berasal dari berbagai unsur di antaranya para dosen FH Unsyiah, advokat, mahasiswa, P3KHAN LAN Aceh, utusan KODAM IM, utusan Kemenkumham Kanwil Aceh, serta segenap Ormas dan OKP.

Komentar