COMU Project menggelar bazar di Tsunami Escape Building Lambung. Hasil kerjasama dengan sebuah kota di Jepang.
Pemandangan di Tsunami Escape Building Meuraxa, Banda Aceh, Sabtu pekan lalu, tak seperti biasanya. Beberapa stand berderet di dalam gedung. Mulai dari stand kopi gratis, sayuran hidroponik, souvenir hingga tempat berfoto memakai baju tradisional Jepang. Di stand terakhir ini, pengunjung terutama perempuan bisa mematut diri dengan memakai Yukata, salah satu jenis Kimono, baju tradisional Jepang. Yukata adalah kimono santai yang dibuat dari kain katun tipis tanpa pelapis.
Hari itu, di stand tersebut terlihat seorang perempuan sedang berpose dengan memakai Yukata motif bunga-bunga. Perempuan tersebut juga memakai jilbab motif senada. Di atas kepalanya, payung kuning mengembang. Sementara di belakangnya, sebuah poster berisi gambar dan tulisan kanji Jepang yang entah apa artinya.
Kehadiran stand-stand tersebut di gedung penyelamatan tsunami yang terletak di Gampong Lambung, untuk memeriahkan Hari Pasar untuk Sadar Bencana. Kegiatan ini digelar Community Based Mutual Reconstruction Acceleration Program by Utilization of Local Resources in Banda Aceh City and Higashimatsushima City (COMU Project), untuk memberdayakan UMKM masyarakat dan memperkenalkan fungsi gedung penyelamatan tsunami tersebut.
Panitia penyelenggara, Uun Fajaruna mengatakan acara dibuat untuk memberdayakan ekonomi masyarakat agar lebih meningkat. “Terutama dari segi UMKM-nya sekaligus memasyarakatkan Tsunami Escape Building agar mereka paham fungsi sebenarnya dari gedung ini,” ujar Uun.
Tsunami escape building, kata Uun, dirancang sebagai tempat evakuasi bencana sementara. “Khususnya untuk disabilitas dan ibu hamil mereka harus lebih diutamakan.”
Acara dapat terlaksana berkat kerjasama dari para nelayan lokal dan nelayan dari Higashimatsushima, Jepang, serta keterlibatan panitia yang terdiri dari masyarakat sekitar terutama pemuda-pemudinya. Higashimatsushima salah satu kota di prefektur Miyagi, Jepang, yang pernah dihantam tsunami. Jika Banda Aceh luluh lantak disapu tsunami pada 26 Desember 2004, selang tujuh tahun kemudian giliran Higashimatsushima.
Kerjasama nelayan kedua kota yang berbeda negara itu, kata Uun, diharapkan dapat membuka peluang ekonomi bahari yang lebih baik bagi kedua belah pihak. Lewat kerjasama itu, kata dia, nelayan dapat bertukar hasil tangkapan laut dan mempelajari cara mengolah serta mengelolanya. “Di sini juga ada anggota stitching gilr Aceh. Mereka khusus belajar di Jepang, kemudian dibawa kembali kemari dengan tujuan mengajarkan ibu rumah tangga di sini cara membuat produk kerajinan tangan dengan standar Jepang, dan mereka juga sudah membawa produknya ke Jepang. Hal ini dilakukan untuk pemberdayaan gampong,” paparnya.
Selain itu, nelayan Jepang juga mengedukasi cara menanam sayuran organik. “Warga di sini diedukasi untuk membuat kebun sayuran organik bersama, idenya dari Jepang. Karena mereka di sana kalau ada apa-apa dibuat bersama,” ujar Uun.
Uun berharap bazar itu berjalan secara reguler sehingga masyarakat lebih mengenal fungsi Tsunami Escape Building. Sekaligus juga, kata Uun, memperbaiki ekonomi masyarakat sekitar.
Selain menyediakan stand-stand, COMU Project sebagai fasilitator bekerjasama dengan Komunitas Kampung Dongeng juga melakukan edukasi dini tentang evakuasi bencana gempa dan tsunami kepada anak-anak TK Desa Lambung. Hal ini dilakukan agar tingkat kewaspadaan mereka meningkat jika terjadi bencana. Di samping itu, anak-anak juga diedukasi tentang cara melestarikan lingkungan dalam upaya awal mencegah terjadinya bencana di kemudian hari.
COMU Project juga melakukan pemutaran video mitigasi bencana pada pukul 09.00-11.00 WIB dan pukul 14.00-16.00 WIB. Di tengah event tersebut, beberapa nelayan Jepang juga membuat masakan tiram ala negeri Sakura sekaligus memperkenalkan hasil olahan laut mereka.
KERJASAMA KOTA KEMBAR
Kerjasama antara Pemerintah Banda Aceh dengan Pemerintah Higashimatsushima telah berlangsung sejak 2014. Kerjasama kota kembar ini digagas JICA hingga kemudian melahirkan COMU Project. Program percepatan rekonstruksi berbasis masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya lokal ini telah menghasilkan banyak program, terutama di bidang peningkatan kapasitas nelayan, penanganan sampah, pertukaran sumber daya manusia dan mitigasi bencana.
Kerjasama tersebut bakal berakhir pada 2019. Namun, Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman seperti dikutip di situs resmi pemerintah kota berharap kerjasama dapat terus dilanjutkan. Harapan ini disampaikan Aminullah saat menerima kunjungan otoritas Higashimatsushima, Rabu pekan lalu di Balaikota. “Program ini sangat bagus dalam rangka membuka lapangan pekerjaan. Seperti hari ini warga yang pernah belajar ke Jepang sudah mampu membuka usaha budidaya tiram, pertanian, basket fishing dan lainnya,” ujarnya.
Saat ini, kata Aminullah, angka pengangguran di Banda Aceh mencapai 12 persen dan kemiskinan masih di angka tujuh persen. Kerjasama kedua kota ini dinilainya menjadi salah satu solusi mengatasi persoalan tersebut.
Selain itu, ia juga berharap nantinya kerjasama dikembangkan dalam bidang-bidang lain agar masyarakat kota lebih berkembang dari sisi pengetahuan dan tentunya ekonomi. “Kita punya potensi karena kita punya lahan, hanya kendala di pengetahuan. Saya pikir soal modal tidak terlalu besar.”[]
Belum ada komentar