Sultan Ber-Makmeugang Bersama Rakyat (Sebuah Tradisi yang Hilang)

Sultan Ber-Makmeugang Bersama Rakyat (Sebuah Tradisi yang Hilang)
foto: PM/Oviyandi Emnur

Oleh: Nab Bahany As
*Budayawan, tinggal di Banda Aceh

Nab Bahany

 

Dalam berapa tahun terakhir, saat mendekati bulan Ramadhan, terutama dalam menghadapi hari makmeugang puasa, masyarakat dari berbagai daerah di Aceh ramai-ramai mendatangi kantor Gubernur Aceh, dengan tujuan sekedar mendapatkan buantuan biaya untuk keperluan membeli daging meugang dalam menyambut bulan suci Ramadhan.

Mereka yang datang dari daerah bisa jadi kaum ekonomi lemah. Ada yang mengaku dari kekuarga konban konflik, atau dari keluarga yang belum beruntung secara ekonomi alias miskin. Mereka sengaja datang jauh-jauh dari daerah hanya untuk mendapatkan bantuan biaya makmeugang dari kantor gubernur. Kadang tak memperhitungkan jumlah bantuan yang didapatkan lebih besar dari biaya transportasi yang dikeluarkan dari daerah ke Banda Aceh. Meskipun bantuan yang didapatkan tidak seberapa, namun ada sedikit perasaan banggga ketika mereka kembali ke daerahnya membawa pulang biaya bantuan megang yang didapatkan dari kantor Gubernur Aceh.

Di awal kepemimpinan Irwandi-Nazar kala itu, bantuan makmeugang bagi masyarakat ekonomi lemah yang datang dari daerah ke kantor Gubernur Aceh memang tertanggulangi. Malah Gubernur Irwandi sendiri saat itu konon pernah mengeluarkan uang pribadinya untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai bantuan hari makmeugang. Kebiasaan itu terus dimanfaatkan masyarakat tiap menjelang meugang tahun berikutnya. Hal ini membuat pejabat kantor Gubenuran Aceh kewalahan melayaninya. Sehingga, pada tahun berikutnya kantor Gubernur Aceh harus memberitakan di Koran, dengan himbauan masyarakat di daerah tidak perlu mendatangi kantor gubernur pada saat menjelang hari makmeugang, karena kantor Gubernur Aceh tidak menyediakan dana bantuan meugang bagi masyarakat.

Di satu sisi, ini adalah sebuah fenomena sosial yang barang kali harus dilihat sebagai perubahan dari melunturnya kebersamaan yang terjadi dalam tradisi masyarakat Aceh, sehingga masyarakat hari ini menjadi masyarakat yang lebih suka mengharapkan bantuan, daripada membangun kembali tradisi kebersamaan dalam menghadapi hari makmeugang. Namun di sisi lain, dalam tradisi ke-Aceh-an, pemerintah juga harus menanggulangi setiap keluarga yang tidak mampu untuk dapat bermakmeugang dalam menyambut bulan Ramadhan seperti layaknya keluarga lain yang berkemampuan.

Dalam Undang-Undang Kesultanan Aceh dulu, yang dikenal dengan Qanun Meukuta Alam yang disyarah Tgk Di Mulek, dalam Bab Dua Pasal Lima Qanun Meukuta Alam ini disebutkan, bila telah mendekati hari makmeugang, baik meugang puasa, meugang hari raya fitrah, dan meugang hari raya haji, sebulan sebelum memasuki hari makmeugang ini, semua Geuchik, Imum Meunasah dan Tuha Peut di seluruh Aceh diwajibkan memeriksa tiap kampung yang dipimpinnya berapa banyak fakir miskin, inong balee (perempuan janda), yatim piatu, orang sakit lasa (lumpuh) dan orang buta serta sakit lainnya yang tidak mampu lagi mencari nafkah.

Jumlah fakir miskin itu, menurut Qanun Meukuta Alam, harus dilaporkan oleh Geuchik kepada Imum Mukim, dan Imum Mukim meneruskan laporan tersebut kepada Qadi-Qadi dan Hulubalang untuk disampaikan kepada Qadi Dua Puluh Dua, guna diteruskan kepada Qadi Muazzam. Qadi Muazzam lalu menyampaikan kepada Syahk al-Islam untuk dilaporkan kepada Sultan Aceh tentang jumlah fakir miskin, perempuan janda, yatim piatu dan jumlah orang sakit yang terdapat dalam negeri Aceh.

Begitu Sultan menerima laporan dari Syahk al-Islam, Sultan langsung memerintahkan Tandi Siasatnya (ajudan Sultan) untuk membuka Balai Silaturrahmi (semacam gudang logistik kerajaan) untuk mengambil dirham dan kain, serta mebeli kerbau dan sapi untuk dipotong pada hari makmeugang. Semua perbekalan itu diserahkan Sultan pada guechik masing-masing mampong untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin, perempuan janda, yatim piatu orang sakit yang tidak mampu lagi mencari nafkah, berdasarkan jumlah yang telah dilaporkan sebelumnya pada Imam Mukim hingga sampai kepada Sultan.

Tepatnya pada hari makmeugang, semua fakir miskin dalam negeri Aceh masing-masing mendapatkan bantuan dari kerajaan seemas daging, lima emas uang dan enam hasta kain. Karena sekalian mereka dianggap fakir miskin yang melarat, tidak mampu memenuhi kebutuhan hari makmeugang. Karena itu, pemerintah kerajaan Aceh memberi pertolongan kepada mereka atas perintah Sultan pada setiap datangnya hari makmeugang.

Begitu cara Pemerintah Aceh dulu (masa kesultanan) menangani fakir miskin dalam menyambut hari makmeugang. Sehingga rakyat yang tidak mampu tak perlu datang keistana kerajaan Aceh, seperti masyarakat yang datang ke kantor-kantor pemerintah pada setiap menjalang hari makmeugang sekarang ini. Jadi kalau pemerintah Aceh saat ini ingin membangun kembali roh kepemimpinannya seperti masa kesultanan, maka cara-cara kepemimpinan yang pernah dijalankan Sultan Aceh dulu—seperti bagaimana Sultan menangani rakyat miskin dalam menghadapi hari makmeugang—dapat diakomodasikan dalam pemerintah Aceh sekarang ini.

Sebab, makmeugang bagi orang Aceh adalah hari yang sangat membahagiakan, yang tidak pernah ada dalam masyarakat di daerah lain di Nusantara, bahkan di dunia sekalipun tidak ada yang namanya hari makmeugang dalam menyambut bulan suci Ramadhan, kecuali di Aceh. Makanya, dalam tradisi orang Aceh, hari makmegang ini bisa dimaknai hari yang sangat membahagiankan, hari yang penuh kebersamaan dan kegembiaraan bagi semua keluaga masyarakat Aceh. Pada hari meugang ini tidak ada diantara masyarakat Aceh yang bermuram durja, semua harus gembira menyambut datangnya bulan Ramadhan. Karenanya, dalam keseharian orang Aceh dulu sering terdengar ucapan: pue tahe that, lagee inong diteleuek uroe makmeugang. Ini artinya begitu pantangnya bagi orang Aceh bila terjadi perceraian atau pertengkaran dalam keluarga pada hari makmeugang.

Rasa kebersamaan makmeugang dalam tradisi masyarakat Aceh juga dapat dilihat dalam bentuk sosial. Dulu setiap kampung di Aceh, pada saat menjelang makmeugang selalu diadakan rapat antar warga kampung di Meunasah. Dalam rapat itu dimusyawarahkan siapa diantara warga yang mau menanggung daging meugang untuk warga kapung yang bersangkutan. Biasanya, dalam setiap kampung pasti ada dua-tiga orang kaya yang lebih mampu sekaligus sebagai tokoh masyarakat di kampung itu. Orang kaya inilah yang biasanya berinisiatif menanggung daging meugang untuk keperluan warga kampung.

Kalau misalkan tidak ada di antara warga yang mampu menanggung daging meugang ini, maka geuchik bersama tokoh masyarakat lainnya berinisiatif menggunakan dana meunasah untuk membeli lembu atau kerbau yang akan dijadikan daging meugang dalam memenuhi kebutuhan warganya. Daging meugang yang ditanggung oleh seseorang di kampung-kampung di Aceh dulu bukan berarti dibagi-bagi secara gratis, tapi tatap harus dibayar dengan ketentuan yang disepakati.

Biasanya, daging megang di kampung-kampung dulu dihargai dalam bentuk tumpuk, dan jumlah tumpuk itu disesuaikan dengan jumlah kepala keluarga yang ada di kampung tersebut. Bagi warga yang kurang mampu bisa mengambil satu tumpu berdua, dan bagi warga yang keluarganya banyak juga bisa mengambil dua sampai tiga tumpuk sekaligus. Cara pembayaran daging meugang di kampung-kampung dulu bisa dibayar dengan padi setelah musim panen. Misalnya, harga satu tumpuk daging dihargai dengan dua neleh pede (40 kg padi). Maka begitu selesai panen, tiap warga kampung diwajibkan menulasi daging meugang ini.

Dengan cara kebersamaan itu, warga kampung di Aceh dulu tidak perlu repot memikirkan kebutuhan daging meugang. Setiap warga, miskin atau kaya, sudah ada jatah daging yang ditanggung lebih dulu oleh seseorang yang lebih mampu di kampung tersebut, yang pembayarannya bisa ditangguh sehabis musim panen. Sayangnya, tradisi kebersamaan makmeugang ini sekarang telah hilang di kampung-kampung di Aceh. Sehingga masyarakat yang kurang mampu agak repot memikirkan dari mana harus mendapatkan uang membeli daging pada hari makmeugang.

Jadi, kalau sekarang ada masyarakat Aceh yang kurang mampu saat menjelang hari meugang mendatangi kontor-kantor pemerintah, secara tradisi Aceh mereka tidak salah untuk meminta haknya pada Pemerintah Aceh. Karena, sejak zaman Sultan dulu setiap meugang mereka yang kurang mampu secara ekonomi selalu diberi bantuan oleh Sultan untuk sama-sama dapat merayakan hari makmeugang sebagaimana rakyat lainnya.

Tradisi kebersamaan lain yang mungkin patut dihidupkan kembali dalam menghadapi hari makmeugang di kampung-kampung seperti dulu di Aceh. Kalau ada diantara warga yang memelihara ternak, sapi atau kerbau, warga tersebut rela lebih dulu memotong sapi atau kerbaunya untuk keperluan daging meugang bagi warga kampung. Sebulan sebelum meugang telah diumumkan pada warga kampung oleh yang punya ternak tersebut, agar warga kampung itu dapat mendaftarkan diri untuk mendapatkan jatah daging meugang dari yang punya sapi atau kerbau yang akan disembelihkan pada hari makmeugang. Cara pembayaran daging meugang kepada yang punya ternak tadi juga bisa ditangguhkan setelah musim panen beberapa bulan kemudian.

Dengan kebersamaan itu, semua warga kampung di Aceh dulu—miskin atau kaya—tidak ada yang tidak menikmati sie makmeugang bersama keluarganya. Inilah bentuk kebersamaan tradisi makmeugang yang telah hilang dalam masyarakat Aceh, seiring berubahnya pola hidup dan memudarnya rasa solidaritas masyarakat kita yang cendrung individualis dalam mencari selamat sendiri-sendiri. Sehingga kepedulian terhadap sesama di hari meugang pun makin menipis.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

119f5e8b e436 4461 9aa1 084a066d9e581
Sekretaris Daerah Aceh Besar, Sulaimi, bersama Asisten II, Kepala OPD serta Forkopimcam memantau harga daging di Pasar Induk Lambaro, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Rabu (22/3/2023). [Dok. Media Center Aceh Besar]

Meugang Terakhir, Harga Daging dan Sembako di Pasar Lambaro Normal