Keberadaan naskah asli MoU Helsinki yang konon masih berada di Swedia mengesankan naskah penting itu sudah dijadikan koleksi pribadi.
Sejarawan Aceh, Mawardi Umar menyebutkan, dokumen penting semacam naskah asli MoU Helsinki tidak boleh disimpan sebagai koleksi pribadi. Alangkah bagusnya, jika dokumen itu disimpan di lembaga resmi milik Pemerintah Aceh, seperti Badan Arsip Daerah.
“Dokumen itu harus ditelusuri keberadaannya, terutama oleh Pemerintah Aceh. Itu tidak boleh disipan sebagai milik pribadi. Dokumen sebagai bukti autentik sejarah perdamaian itu, harus bisa dilihat 100 tahun ke depan oleh anak cucu kita,” kata Mawardi yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA).
Ia mengatakan, selain naskah asli yang penting ditelusuri, semangat perdamaian MoU Helsinki juga harus terus diwariskan kepada generasi muda seperti melalui pameran foto dan seminar-seminar. “Bukan peristiwa itu yang ingin kita ceritakan, tapi semangat perdamaian yang melewati proses panjang dan tak mudah itu yang ingin disampaikan kepada generasi penerus. Naskah MoU Helsinki diibaratkan seperti cermin, karena dia sudah berlalu dan menjadi sejarah. Jika cermin itu saja sudah retak bahkan hilang, kemana kita mau berkaca?” lanjut Dosen Sejarah Unsyiah ini.
Ia berharap, naskah asli MoU Helsinki yang luput selama 12 tahun tersebut bisa segera diserahkan ke laembaga resmi daerah, sehingga gerakan literasi perdamaian untuk generasi muda Aceh dapat terus digalakkan dengan bukti fisik nyata.
KLAUSUL PENTING
Enam butir penting dari sekian banyak klausul MoU Helsinki, hingga 12 tahun setelah penandatanganan kesepakatan damai tersebut, belum semuanya diimplementasikan dengan baik. Padahal, tercapainya kesepakatan damai dengan syarat terpenuhinya semua butir yang ada dalam draf MoU tersebut.
Enam klausul tersebut, yakni penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang termasuk di dalamnya Penyelengaraan UU Pemerintahan Aceh, Hak Asasi Manusi yang termasuk mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat, pengaturan keamanan, Pembentukan Misi Monitoring Aceh (AMM), dan penyelesaian perselisihan.
“Seharusnya, semua klausul MoU Helsinki harus tertuang dalam UU RI No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh,” kata Nur Djuli, anggota perundingan GAM saat penandatanganan MoU Helsinki.
Karena itu pula, kata Nur Djuli, dirinya langsung kembali ke Aceh usai penandatanganan. “Saya langsung kembali ke Aceh dan membantu Irwandi yang bertugas di AMM,” ucapnya.
Ia dan Irwandi pula yang memeriksa salinan naskah MoU Helsinki dalam bahasa Indonesia yang di terjemahkan Sofian Djalil. Ia juga mengaku, menyimpan satu naskah MoU Helsinki yang difotokopinya.
Nur Djuli menyesalkan belum tertuangnya semua butir MoU Helsinki ke dalam UUPA. “Walaupun tidak 100 persen, seharusnya minimal 90 persen MoU harus tertuang dalam UUPA. Kalau memang tidak tertuang dalam UUPA, berarti perjanjian itu tidak sah,” tegas Nur Djuli.
Ia teringat masa Presiden Susilo Bambang Yudiyono masih menjabat, Teungku Malik Mahmud sudah menyurati Pemerintahan Indonesia dua kali, mempertanyakan hak-hak yang belum sesuai dengan harapan MoU Helsinki. Namun hal itu tidak dihiraukan.
“Saya bersama Irwandi juga waktu itu bertemu dengan Jusuf Kalla, kalau dia masih ingat. Jusuf Kalla bilang, karena itu undang-undang baru, jadi tak bisa langsung diamandemen, tunggu sampai dua-tiga tahun,” kisah Nur Djuli.
Pemerintahan Aceh saat itu, menurut Nur Djuli, juga tak pernah terlalu mempersoalkan dan tidak menuntut. Pemerintah Aceh yakin bahwa hak-hak Aceh yang sudah disepakati oleh RI dan tertuang dalam MoU pasti akan terlaksana. Namun, sudah 12 tahun berlalu, masih banyak poin MoU Helsinki yang belum diimplementasikan.
Pada butir pertama MoU Helsinki, misalnya, poin a menyebutkan Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, dan kebebasan beragama.
Prinsip-prinsip tersebut menjadi landasan penyelenggaraan UUPA, namun sejauh ini belum sepenuhnya dilaksankan. “Saya melihat Pemerintah Aceh memang kurang komitmen untuk meminta hak kita. Minimal 6 hak penting itu harus semuanya tertuang dalam UUPA. Ini malah yang sudah ada, sebagiannya dianulir lagi,” tegas Nur Djuli.[]
Belum ada komentar