Romi Aditia salah seorang korban bencana gempa bumi,Kamis (4/7), usai menjalani perawatan setelah  Kaki kirinya putuh ditimpa bangunan Masjid yang runtuh. (Rakyat Aceh/Yusra Amri Daud)SUNGGUH malang nasib Ro­mi Aditia. Dia kehilangan kaki kiri akibat tertimpa bangunan masjid saat gempa berkekuatan 6,2 skala Richter (SR) meng­guncang Aceh pada Selasa (2/7) lalu. Saat pe­ristiwa nahas tersebut terjadi, anak baru menamatkan taman kanak-kanak (TK) itu ber­main dan me­­nunggu guru mengaji di Masjid Babu­s­salihin, Kampung Blang Mancung, Kecamatan Ketol, Aceh Te­ngah. Romi tidak sendiri. Dia menunggu bersama teman-temannya.

Anak bungsu dari tiga ber­saudara itu tidak menyangka bahwa gempa mampu meng­han­curkan masjid tempat dia biasa belajar mengaji dan bermain bersama teman-temannya. “Saya lagi main sama teman-teman,” ucap Romi kepada Rakyat Aceh yang menemuinya di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSU Datu Beru, Takengon, Kamis (4/7).

Romi terbaring lemah di tempat tidur. Kaki kiri anak 6 tahun itu tidak lagi utuh. Bagian bawahnya putus. Meski begitu, Romi terlihat tegar. Dia tidak merintih kesakitan. Dia didampingi orangtuanya, Sunardi, 48, dan Nurmawati, 44.

Kakak Romi, Andri Pramama, 19, juga setia menemani sang adik. Kaki kiri Romi tidak terselamatkan setelah tertimpa beton masjid. Dia tidak sadar telah kehilangan kaki kiri. Yang mencengangkan, Romi dapat berlari untuk menyelamatkan diri.

Dalam keadaan panik pascagempa, Andri Pramama mencari adik bungsunya tersebut. Betapa terkejutnya Andri tatkala melihat adiknya berlari meski kaki kiri telah tiada dan hilang di bawah reruntuhan masjid.

“Anak saya sempat berjalan sambil berlari-lari kecil keluar dari reruntuhan menuju gerbang Masjid Babussalihin, lalu bertemu abangnya, si Andri, langsung digendong,” terang dua orangtua Romi. Saat dalam dekapan sang abang, Romi sempat menangis menahan sakit dan mengeluarkan kalimat, “Bang, kaki Romi sakit Bang.” Orangtua Romi dan abangnya menyeka air mata saat menceritakan kisah tragis yang dialami Romi.

Selamatnya jiwa Romi bagai mukjizat karena sebagian besar temannya tidak selamat dan tertimpa bangunan masjid. Bagian wajah dan beberapa tubuh Romi juga terluka dan masih menyisakan darah yang baru dibersihkan.

Dengan tatapan tanpa dosa, bocah kecil itu serius menyimak kata-kata orangtuanya. Setengah berbisik Romi berkata, “Kepala teman saya, ada yang nancap dengan batu,” ucap Romi lirih.

Gempa juga membuat ratusan warga Desa Pilar, Kecamatan Bies, Takengon, kehilangan tempat tinggal. Rumah mereka rata dengan tanah. “Sudah tidak ada lagi rumah kami,” ujar Inen Sari, warga Bies, sambil menahan isak tangis.

Dengan suara serak karena terlalu lama menangis dia menceritakan situasi ketika gempa terjadi. Setelah gempa pertama, dia bersama tetangga mencari tempat berlindung ke lokasi datar. Kemudian mereka kembali ke rumah masing-masing.

Rumah masih berdiri kukuh. Menjelang malam sebagian warga Desa Pilar kembali mencari tempat berteduh yang dirasakan aman, setelah gempa susulan terus berlangsung kendati berskala kecil. Ditambah lagi hujan dan listrik padam sehingga warga di kawasan perbukitan itu tidak nyaman tinggal di rumah.

Rasa cemas, khawatir, dan takut akhirnya terjawab dengan datangnya suara gemuruh bagai suara air bah yang disusul guncangan keras kembali terjadi sekitar pukul 21.15 WIB. “Banyak rumah di kawasan ini yang hancur ketika gempa susulan,” ujar Sugiarto, warga setempat. “Kami membutuhkan perhatian pemerintah untuk membangun kembali rumah yang sudah rata dengan tanah ini,” katanya.

Di tengah cuaca yang sedikit berkabut, puluhan warga terus memunguti barang-barang yang mungkin masih bisa digunakan. Misalnya, pakaian sehari-hari. Perlengkapan dapur jelas tidak dapat digunakan. Piring dan gelas hancur tertimpa batu bangunan rumah. “Gempa ini yang paling keras kami rasakan setelah tinggal di sini hampir 30 tahun,” ungkap Sugiarto.[Yusra Amri Daud]

Komentar