PM, Jakarta – Mahasiswa dan Pemuda Aceh yang berada di wilayah Jabodetabek menyatakan mosi tidak percaya kepada rezim pemerintahan Nova Iriansyah. Mereka juga memberikan rapor merah kepada pemerintahan Aceh Hebat.
Mosi tidak percaya ini dilayangkan atas banyaknya temuan dan pelanggaran hukum yang menimbulkan kerugian negara selama ini. Nova sebagai kepala daerah saat ini dinilai belum memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi, dan masih lemah dalam mengontrol pengelolaan keuangan daerah.
“Harapan terbesar pencegahan korupsi ada pada komitmen kepala daerah. Namun, dalam konteks Aceh, gubernur yang diharapkan berada di depan melawan korupsi. Kasus korupsi di Provinsi Aceh terus berulang. Pelakunya mayoritas aparatur sipil negara dan rekanan. Selain karena pengawasan internal yang lemah, rendahnya integritas pengelola anggaran publik memicu korupsi,” kata Koordinator Mahasiswa dan Pemuda Aceh di Jabodetabek, Agussalim, dalam siaran pers yang diterima Pikiran Merdeka, Ahad, 29 Agustus 2021 malam.
Agussalim turut memaparkan beragam kasus beraroma korupsi yang mengguncang publik dan terjadi di Aceh, sejak pemerintahan Aceh Hebat berjalan sejak 2017 lalu. Tentu saja, pada tahun tersebut, aroma politis begitu kentara terasa pasca KIP mengumumkan bahwa Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah merupakan Gubernur-Wakil Gubernur Aceh terpilih hasil Pilkada 2017.
Rentetan kasus beraroma korupsi satu per satu muncul ke permukaan, yang dimulai dengan skandal beasiswa mahasiswa Aceh. Dalam kasus yang kemudian populis dikenal “Begal Beasiswa Mahasiswa Aceh” itu turut menyeret sejumlah nama dari lembaga DPRA.
Beasiswa yang dialokasikan oleh Pemerintah Aceh tersebut berjumlah Rp 19.854.000.000. Duit sebanyak itu sebenarnya ditujukan kepada 803 mahasiswa Aceh yang menempuh program studi mulai Diploma III hingga program Doktoral. Sementara pengelolaan dan penyaluran uang diamanahkan kepada Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh.
Inspektorat kemudian melaporkan kepada Irwandi Yusuf selaku gubernur masa itu, bahwa beasiswa tersebut merupakan program dari usulan 24 anggota DPR Aceh. Sementara jumlah penerima beasiswa mencapai 938 mahasiswa, terdiri 825 penerima usulan Anggota DPR Aceh dan 86 orang permohonan secara mandiri.
Pengadaan beasiswa ini kemudian mendadak ramai setelah beberapa mahasiswa mengeluhkan jumlah uang yang diterima, tidak sesuai dengan data yang diumumkan. Dugaan itu kemudian ditindaklanjuti dengan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh. Berdasarkan Laporan Hasil Audit BPKP terkait Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) Nomor SR-1333/PW01/5/2021 tertanggal 21 Juni 2021 diketahui kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp10 miliar, atau mencapai 46,50 persen dari anggaran total sebesar Rp21,7 miliar.
Kasus beasiswa belum selesai, Irwandi Yusuf justru kena OTT KPK. Pucuk pimpinan daerah kemudian berganti kepada Nova Iriansyah selaku pelaksana tugas (Plt).
Namun hingga saat ini, pihak kepolisian baru memintai keterangan dari enam anggota DPR Aceh dalam kasus Begal Beasiswa Mahasiswa Aceh tersebut. Mereka adalah IUA yang mengusulkan 341 orang atau 40 persen dari total keseluruhan penerima, selanjutnya DS yang mengusulkan 18 orang, MS 54 orang, dan YH 18 orang. Selain mereka ada pula nama AA yang juga diduga berkaitan dengan kasus itu, kemudian HY, serta beberapa orang lain yang tidak lagi menjabat sebagai anggota DPRA.
Kasus begal beasiswa belum kelar, Aceh kembali dihebohkan dengan dugaan korupsi di proyek pengadaan sapi. Pada tahun 2017, Pemerintah Aceh mengucurkan dana Rp3,4 miliar untuk proyek pengadaan sapi di UPTD Saree, Aceh Besar. Anggaran tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2017.
Setelah melakukan penyidikan selama setahun, Kepolisian Daerah Aceh menetapkan sembilan tersangka dalam kasus pengadaan, penggemukan, dan pembenihan sapi di Unit Pelaksana Teknis Daerah Inseminasi Buatan dan Inkubator (UPTD-IBI) Saree, Kabupaten Aceh Besar. Program ini berada di bawah Dinas Peternakan Aceh.
“Penetapan tersangka baru diumumkan oleh Direktur Kriminal Khusus Polda Aceh Komisaris Besar Sony Sonjaya, Rabu, Agustus 2021,” kata Agussalim.
Para tersangka adalah ZA, SS, AK, DW, AH, IPS, dan HA. Mereka adalah aparatur sipil negera. Sedangkan dua tersangka lain adalah rekanan/swasta yakni KW dan SY. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Wilayah Aceh, menemukan kerugian negara mencapai Rp 1,2 miliar.
Nova Iriansyah kemudian dikukuhkan sebagai Gubernur Aceh definitif tahun 2018. Dalam pemerintahannya, Nova menjalankan berbagai program “Aceh Hebat” seperti tagline yang sempat digadang-gadang dalam kampanye bersama pasangannya, Irwandi Yusuf. Nova bahkan menamakan tiga unit kapal yang baru dipesan menggunakan duit APBA dengan “Kapal Aceh Hebat 1, 2 dan 3.”
“Ironisnya juga (pembangunan) kapal tersebut sempat terhembus isu kuat dugaan beraroma “rasuah”. Namun sampai hari ini belum ada kejelasan kepastian resmi (kasus) nya yang terpublis,” ujar Agussalim.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku masih terus mengumpulkan sejumlah bukti adanya dugaan korupsi dalam pembelian Kapal Roro Aceh Hebat tersebut. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyebut, lembaganya memang tengah melakukan penyelidikan kasus itu. “Namun, dia belum dapat menyampaikan secara detail kasus tersebut,” kata Agussalim lagi.
Selain itu, kata Agussalim, KPK juga sedang melirik pembangunan Gedung Oncology Center RSUDZA dengan skema kontrak multiyears. Penyelidik KPK, menurut Agussalim, bahkan telah meminta keterangan mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh Azharuddin terkait proyek multiyears (tahun jamak) Aceh tersebut, Jumat, 25 Juni 2021.
“Proses permintaan keterangan tersebut berlangsung di lantai tiga Gedung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh, seperti yang terpublis di media beberapa waktu lalu,” beber Agussalim.
“Di samping itu, berdasarkan hasil analisis yang kami lakukan berdasarkan informasi yang terkuak ke publik, 23 Juni 2021 bahwa KPK juga sedang melirik beberapa kasus, seperti perihal pembangunan jalan dengan skema Multi Years Contract (MYC), bantuan hibah dan bansos, serta anggaran refocusing masa pandemic,” ungkap Agussalim lagi.
Menurut Agussalim, Ketua KPK juga menyampaikan bahwa pihaknya telah menangani14 kasus tindak pidana korupsi di Provinsi Aceh dengan berbagai modus. Hal itu disampaikan KPK saat mengisi kuliah umum di Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh pada Kamis, 25 Maret 2021 lalu.
Publik Aceh juga sempat dihebohkan dengan batalnya pembangunan 1.100 unit rumah dhuafa tahun 2019. Pembatalan pembangunan rumah itu mendapat sorotan dari banyak pihak. Bantuan rumah untuk fakir miskin yang ditargetkan rampung pada 2019 itu harus dibatalkan lantaran alasan keterbatasan waktu.
“Padahal dalam Qanun RPJM Aceh Nomor 1 Tahun 2019 jelas tersebut Pemerintah Aceh akan membangun Rumah Dhuafa sebanyak 30.000 unit periode 2018-2022, setiap tahun dibangun 6.000 unit. Kinerja Pemerintah Aceh sampai tahun ketiga (2018-2020) masih nol unit. Seharusnya sudah terbangun 18.000 unit. Kenyataannya, baru tahun 2021 ini direncanakan sejumlah 780 unit. Kesimpulannya, Qanun RPJM hanya sebatas dokumen untuk paparan materi seminar saja di ruang-ruang birokrasi,” jelas Agussalim.
Anehnya di sisi lain, mencuat pula berita adanya pembelian mobil dinas baru sebanyak 72 unit yang tersebar di 33 Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Anggaran pembelian mobil mencapai Rp 100 miliar lebih. Sementara mayoritas duit menggunakan APBA TA 2019.
“(Pembatalan pembangunan rumah dhuafa dan pembelian mobil dinas) terjadi di tahun yang sama. Cara Pemerintah Aceh dengan memprioritaskan pengadaan mobil baru yang sebagian besar diusulkan dalam APBA-P versus penundaan pembangunan rumah duafa, sungguh kebijakan yang tidak pro kepada rakyat dan masyarakat miskin. Belum lagi, adanya pos anggaran dalam bentuk hibah Pemerintah Aceh ke Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh. Dimana pengusulan anggaran untuk lembaga itu diduga bersumber dari APBA Perubahan 2019 sebesar Rp 2.854 miliar lebih,” ungkap Agussalim.
Parodi lain dipertontonkan lagi oleh Pemerintah Aceh pada tahun 2021 ini, seperti beredarnya pengadaan barang dan jasa pada rumah jabatan Ketua DPR Aceh dengan harga lebih Rp 1 miliar. Pekan terakhir Juli 2021 lalu, dianjutkan dengan bermunculan belanja hura-hura salah satu SKPA Pemerintah Aceh yang berencana membeli Hp atau android senilai Rp81 juta lebih.
“Anehnya hal itu terjadi di tengah kondisi Aceh masih dalam pademi covid-19.”
Apa yang dilakukan tersebut berbanding terbalik dengan realita data BPS yang menyebutkan Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera, dan menduduki rangking ke enam termiskin se-Indonesia. Padahal jika melirik sampel data tahun 2019 lalu, total APBA mencapai Rp17 triliun. Sementara APBK 23 Kabupaten dan Kota mencapai Rp30 triliun. Total keseluruhan duit yang mengalir ke Aceh mencapai Rp47 triliun dan jumlah tersebut belum termasuk anggaran di berbagai instansi vertikal bersumber dari APBN. “Namun, angka kemiskinan Aceh per September 2020 mencapai 15,43 persen,” kata Agussalim.
Aceh juga mendapat dana otonomi khusus sebesar kurang lebih Rp81 triliun sejak 2008 hingga 2020. Dana tersebut bahkan digelontorkan setiap tahunnya bersamaan dana bagi hasil migas.
Kenyataannya sampai hari ini, kata Agussalim, kondisi pembangunan di Aceh masih sangat memprihatinkan dalam segala bentuk sektor, terutama sektor minimnya lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi masyarakat menengah ke bawah (UMKM).
“Dari situ, dapat kita nilai bahwa selama ini menggambarkan mirisnya kondisi Kinerja Pemerintah Aceh terhadap keberlanjutan Pembangunan Aceh pada masa kini dan alan berdampak untuk masa mendatang,” ujar Agussalim.
Kumpulan Mahasiswa dan Pemuda Aceh di Jabodetabek kemudian menilai wajar adanya beberapa temuan Pansus DPRA terkait kelebihan bayar di belanja pembangunan Aceh tahun 2019. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh juga telah menerbitkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan Pemerintah Aceh tahun yang sama. Total belanja yang mengalami kelebihan bayar mencapai Rp23 miliar, disebutkan
tersebar di 18 satuan kerja perangkat Aceh (SKPA).
Dalam laporannya, BPK mengungkap 10 masalah pada pelaksanaan anggaran pembangunan Aceh di sejumlah SKPA. Masalah yang diungkap BPK tersebut terindikasi melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ke sepuluh temuan BPK terhadap laporan keuangan Pemerintah Aceh tahun anggaran 2019 seperti kelebihan pembayaran atas 15 paket pekerjaan pada 6 SKPA mencapai sekitar Rp2 miliar. Kelebihan pembayaran ini terjadi pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Pengairan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan.
Kemudian, terjadi post bidding dalam proses pengadaan pembangunan jembatan pada Dinas PUPR serta pembayaran 100 persen sebelum pekerjaan selesai dilaksanakan. Post bidding ini terjadi pada proses pengadaan Pekerjaan Pembangunan Jembatan Kilangan di Aceh Singkil oleh Pokja IV. Hasil kegiatan pengadaan tersebut akhirnya menetapkan PT MCA sebagai pemenang, sekaligus menjadi perusahaan pelaksana berdasarkan surat perjanjian nomor 31-AC/BANG/PUPR/APBA/2019 dengan nilai kontrak mencapai Rp42,95 miliar.
Selanjutnya kelebihan pembayaran gaji dan tunjangan serta tambahan penghasilan PNS yang dikenakan sanksi hukuman disiplin sekitar Rp368,28 juta. BPK, dalam laporannya menyebut, terdapat kelebihan pembayaran gaji dan tunjangan serta tambahan penghasilan terhadap sejumlah pegawai negeri sipil, baik yang diturunkan pangkatnya maupun yang diberhentikan secara tidak
hormat.
Temuan lain adalah terdapat ketidaksesuaian spesifikasi atas tiga paket pekerjaan di tiga SKPA sebesar Rp294 juta lebih. Lantas adanya PPh dan PPN atas pembatalan dua pekerjaan TA 2019 sebesar Rp1,91 miliar lebih belum disetor ke kas Pemerintah Aceh, selanjutnya terdapat dua paket pekerjaan pada dua SKPA terlambat dan belum dikenakan sanksi denda keterlambatan, “yaitu Dinas Pengairan dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral.”
Pembangunan Jembatan Alur Drien Jalan Lingkar Kota Langsa bersumber dari dana Otsus Aceh terlambat, namun pembayaran 100 persen (penuh) dilakukan sebelum pekerjaan selesai. Pekerjaan yang menelan anggaran sebesar Rp8,59 miliar lebih ini dilaksanakan oleh CV FP berdasarkan ikatan kontrak dengan penyedia pekerjaan yaitu Dinas PUPR Aceh bernomor 43-AC/BANG/PUPR/APBA/2019 tanggal 12 September 2019.
Ditambah lagi hasil pelaksanaan pekerjaan peningkatan jaringan irigasi DI Kuta Tinggi Kabupaten Aceh Tenggara tidak sesuai perencanaan. Hasil pekerjaan juga buruk karena terdapat kerusakan pada dinding bangunan. Pekerjaan ini dititipkan pada Dinas Pengairan Aceh dengan pelaksana CV WHK berdasarkan kontrak KU.602-A/KPA-UPTD.V/131/2019 tanggal 19 Mei 2019 yang nilainya mencapai Rp7,48 miliar lebih.
Selanjutnya potensi kelebihan pembayaran atas pekerjaan pemeliharaan berkala jalan Cunda Lhokseumawe sebesar Rp585 juta lebih. Pelaksanaan pekerjaan pada Dinas PUPR Aceh ini dilakukan oleh PT MGU berdasarkan kontrak nomor 17-AC/ PEMEL/ PUPR/ APBA/ 2019 dengan nilai kontrak Rp2,86 miliar lebih.
Temuan BPK ke 10 adalah terdapat pertanggungjawaban penggunaan dana hibah tidak sesuai ketentuan.
“Maka oleh karena demikian, kami dari Kumpulan Mahasiswa dan Pemuda Aceh di Wilayah Jabodetabek menyatakan sikap mosi tidak percaya kepada rezim pemerintahan Nova Iriansyah dengan memberikan rapor merah pemerintahan Aceh Hebat,” kata Agussalim, seraya mengatakan mahasiswa dan pemuda dari kumpulan itu beraviliasi di berbagai lembaga organisasi mahasiswa Aceh, antara lain Aliansi Pemuda Aceh Jakarta (APA- Jakarta), KMP Aceh Darussalam, Laskar Mahasiwa Pemuda Aceh Barat Daya (Lampu Abdya), Forum Komunikasi Pemuda Mahasiwa Bireuen, Mahasiswa FOBA, NAD Milenial Institut, Poros Kama, dan Gema Nusantara.[]
Belum ada komentar