Dari kiri ke kanan, Fatar Yani Abdurrahman, Nanang Abdul Manaf dan Marjolijn Wajong menegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk meningkatkan produksi migas nasional selain dengan melakukan eksplorasi dan penggunaan teknologi EOR.

Jakarta — Optimasi proyek hulu migas yang akan berproduksi dalam enam tahun mendatang menjadi peluang untuk memenuhi target energi primer 2025.

Di sisi lain, meningkatnya impor minyak bumi tidak bisa dihindari mengingat pertumbuhan konsumsi energi masyarakat. Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Fatar Yani Abdurrahman,mengatakan percepatan produksi proyek-proyek yang saat ini sedang dikerjakan sebagai solusi utama memenuhi pasokan energi primer mendatang.

Pasalnya, lanjut dia, hingga saat ini relatif belum ada lagi ditemukan giant discovery untuk minyak bumi. SKK Migas saat ini sedang berupaya mencapai produksi nasional sebesar 1 juta barrel oil per day (BOPD) dalam enam tahun mendatang.

Hal itu merupakan tantangan tersendiri juga bagi kontraktor migas untuk agresif mencari wilayah eksplorasi. “Sekarang yang kita lakukan adalah mempercepat onstream production.

Kedua, dari sisi produksi dapat mengandalkan Enhanced Oil Recovery (EOR) dan work over. Kalau kita do nothing, makanya nanti tidak bisa dapat apa-apa,” tegas Fatar saat hadir pada acara Media Briefing bertajuk “Memenuhi Target Energi Primer Hingga 2025”, yang digelar Indonesian Petroleum Association (IPA), di Jakarta, Kamis (8/8).

Acara Media Briefing ini dilaksanakan untuk mendukung penyelenggaraan Pameran dan Konvensi IPA ke-43 Tahun 2019 yang akan diadakan di Jakarta Convention Centre, pada 4-6 September 2019.

Fatar menambahkan, untuk mempercepat proyek hulu migas diperlukan kecepatan pengambilan keputusan dari KKKS. Pasalnya, lebih dari 20 wilayah kerja (WK) Migas akan dikelola oleh KKKS baru dengan komposisi 60 persen merupakan mature asset.

“Sekarang temuan gas kita naik, seperti yang kita lihat di Masela. Begitu juga proyek laut dalam (IDD) yang merupakan potensi besar, dan rencananya sudah berproduksi pada 2025,” tambahnya.

“Hingga 2027 nanti setidaknya ada 42 proyek hulu migas yang akan menambah produksi sebesar 1,1 juta barrel oil equivalent per day (BOEPD). Proyek-proyek tersebut akan mendatangkan investasi senilai USD 43,3 miliar,” jelas Fatar.

Dari sisi konsumsi, SKK Migas merekomendasikan adanya upaya konversi dari gas menjadi listrik untuk mengurangi impor minyak ataupun BBM ke depannya. Sehingga banyaknya temuan cadangan gas dapat dimanfaatkan secara optimal untuk keperluan domestik.

Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditetapkan Pemerintah pada 2017 yang lalu, kontribusi minyak dan gas bumi untuk energi primer pada 2025 masih relatif tinggi. Bauran energi primer dari fossil sebesar 47% dari migas, yaitu terdiri dari 25 persen untuk minyak dan 22 persen untuk gas bumi.

Dalam konteks optimasi produksi minyak bumi, terdapat hal yang mengejutkan karena perkiraan produksi minyak bumi berdasarkan RUEN berbeda cukup signifikan dengan realisasi terkini.

Berdasarkan RUEN, produksi minyak bumi pada 2019 diperkirakan berada di bawah 600.000 BOPD. Sementara data SKK Migas menunjukkan produksi minyak saat ini masih berada pada angka 759.000 bopd per Juni 2019.

Pada kesempatan yang sama, Direktur IPA, Nanang Abdul Manaf, menegaskan tantangan untuk memenuhi kebutuhan energi primer yang ada harus dipandang dengan optimis. Menurut dia, tidak ada kata lain untuk meningkatkan produksi selain melakukan eksplorasi dan penggunaan teknologi EOR.

“Karena migas sudah ada di lapangan tersebut, maka harus dipikirkan bagaimana meningkatkan recovery factor. Kondisi primary sebesar 25-35 persen, berarti masih sisa sekitar 75-70 persen yang harus diangkat. Nah, untuk mengangkatnya diperlukan teknologi,” ujarnya.

Dari 60 basin atau cekungan yang ada di Indonesia, lanjut Nanang, saat ini baru sekitar 16 cekungan yang dimanfaatkan. Dia menjelaskan bahwa investor migas sangat berharap penyelenggaraan perizinan untuk investasi di Indonesia dibuat lebih sederhana dan berada di bawah satu payung kelembagaan sehingga terjadi kolaborasi antar instansi yang terkait dan proses perizinan berjalan lebih cepat.

Diakui oleh Nanang, saat ini masih ditemukan adanya kebijakan yang tumpang tindih antara instansi yang satu dengan lainnya, termasuk antara Pemerintah Pusat dan daerah. Dengan kondisi tersebut, fokus investor mencari migas pun akan terganggu karena ada beban pengurusan perizinan yang bertambah.

Pemerintah seyogyanya memahami bahwa investor memiliki pilihan untuk menaruh investasinya di mana, apakah di Indonesia atau negara lainnya.

“Investor global bisa memilih akan berinvestasi dimana. Negara-negara lain juga menginginkan investasi itu. Sebagai investor, kita ingin berhadapan dengan aturan yang simpel, dan satu payung [lembaga] saja,” katanya.

Komentar