Pemerintah Abaikan Leuser, Nyawa Rakyat Aceh Terancam

Perambahan hutan di Nagan Raya
Perambahan hutan di Nagan Raya, di sekitar PT Perkebunan Nusantara 1 Lamie Palm Oil Area. Foto: Dok. HAkA

Bahaya laten menanti lima juta penduduk Aceh jika pemerintah tetap menghapus nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser dari kawasan strategis nasional dalam Qanun Rencana Tata Ruang dan Wilayah Aceh.

Oleh Makmur Dimila

“Kakek pernah bilang sama saya, hutan, air, ini harus dijaga, dia bilang,” ujar Abu Kari (60), dari dalam rumah kayunya di pedalaman Gayo Lues. “Sekarang, hutan banyak sudah botak.”

Hutan Aceh selama ini banyak gundul karena menurut tetua yang sering disapa Aman Jarum dan Pendekar Leuser itu, manusia tak paham lagi tata ruang yang nenek moyang dulu terapkan untuk menyelamatkan hutan.

Abu Kari tegaskan saat ini memang hutan dan air tak terasa sebagai suatu kebutuhan utama. “Yang perlu hutan itu, yang perlu air itu, orangnya belum lahir.” Pria berkumis tebal itu menumpahkan emosinya, terlihat dalam video dokumenter yang dirilis Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), 18 Januari 2016.

Kekecewaan Abu Kari dilandasi oleh terancamnya kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) akibat dihilangkannya kawasan seluas 2,6 juta hektare itu dari salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh tahun 2013 – 2033.

Diperjuangkan Sejak Masa Belanda

Abu Kari Pendekar Leuser
Abu Kari asal Gayo Lues yang juga digelar sebagai Pendekar Leuser atas kontribusinya merawat hutan. Foto: Pikiran Merdeka

Di Aceh, KEL disangga oleh empat kabupaten: Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Barat (bertambah Nagan Raya semenjak pemekaran), dan Gayo Lues. Dalam kawasan itu bersemi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) seluas 792.675 ha.

TNGL ialah paru-paru dunia yang menjadi tempat hidupnya keanekaragaman hayati. Setidaknya ia menjadi habitat bagi 130 jenis mamalia atau 1/32 dari keseluruhan jenis mamalia di dunia.

Menurut Lembaga Aksi Nyata Konservasi Hutan Tropis Sumatera atau Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera), KEL menyediakan fungsi pendukung kehidupan untuk pengembangan yang bisa mendukung sekitar 4 juta orang di sekitarnya, seperti persediaan air bersih, pengendali banjir dan erosi, perlindungan plasma nutfah, pengaturan iklim lokal, penyerap karbon, perikanan air tawar dan kecantikan alami untuk mendukung pariwisata.

Melihat pentingnya menjaga kawasan itu, pada 1928, para pemimpin lokal di Gayo, Alas, dan Aceh Selatan, melobi Pemerintah Hindia Belanda untuk lestarikan hutan di bagian barat Sungai Tripa dan Sungai Alas, yang kini juga masuk dalam KEL.

Perjuangan pelestarian Leuser dimantapkan dengan Deklarasi Tapaktuan pada 6 Februari 1934. Kala itu wakil masyarakat Aceh dan utusan Pemerintah Belanda mencapai kesepakatan yang disebut Deklarasi Tapaktuan, untuk selamanya melindungi Kawasan Suaka Margasatwa Gunung Leuser di tengah-tengah KEL.

Pemerintah Pusat akhirnya menanggapi sejumlah upaya masyarakat Aceh menjaga Leuser dengan memberikan wewenang pengelolaan KEL kepada Pemerintah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan, dan pemanfaatan secara lestari; berdasarkan UU No. 11/2006. Dua tahun kemudian, Pemerintah dengan PP No. 26/2008 menetapkan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional.

Sejak itu, masyarakat yang menopang hidup di KEL merasa aman-aman saja, hingga disahkannya Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013 – 2033.

“Sungguh mengejutkan kami,” ujar Direktur Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Farwiza Farhan, kepada Pikiran Merdeka. “Qanun itu justru menghilangkan KEL dalam KSN, bertolak belakang dengan yang kita dorong saat proses penyusunan draf qanun itu.”

Ia menyebutkan, para aktivis lingkungan dilibatkan dalam menyusun draf Qanun RTRWA tersebut. Mereka desak agar nomenklatur KEL dimasukkan dalam KSN seperti tercantum dalam PP No. 26/2008.

Tapi ketika disahkan, aspirasi mereka tak diakomodir. Para aktivis sempat demo mempertanyakannya. “Kata Dewan, ‘ada kok dimasukkan KEL dalam Qanun RTRW Aceh’. Tapi nyatanya tidak ada begitu kita lihat qanun yang sudah disahkan. Kita merasa ditipu mentah-mentah,” ujar Farwiza. Semenjak itulah, upaya menyelematkan KEL dimulai.

Dihilangkan dalam RTRW Aceh

Kawasan Ekosistem Leuser dari udara
Kawasan Ekosistem Leuser direkam dari udara, 19 November 2013. Foto: Paul Hilton/Dok. HAkA

Aktivis GeRAM dalam siaran persnya, melalui tiga kuasa hukum mereka, menjelaskan, Qanun No. 19/2013 tentang RTRW Aceh yang ditetapkan di Banda Aceh pada 31 Desember 2013 dan diundangkan di Banda Aceh pada 3 Maret 2014, dibentuk tanpa lebih dulu menindaklanjuti hasil evaluasi Mendagri RI melalui Keputusan Mendagri RI Nomor 650-441 Tahun 2014 tertanggal 14 Februari 2014 yang ditujukan kepada Gubernur Aceh.

Dalam draf hasil evaluasi Mendagri itu, Pemerintah Aceh diminta perbaiki beberapa substansi. Salah satunya dalam Bab VII Pasal 47 ayat (2) terkait Penetapan Kawasan Aceh.

Pasal tersebut berbunyi, “penetapan Kawasan Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Aceh meliputi: a, kawasan industri Lhokseumawe; b, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang; c, kawasan pengembangan ekonomi terpadu (kapet) Bandar Aceh Darussalam; dan d, kawasan perbatasan laut RI dengan negara tetangga termasuk Pulau Rondo.”

Mendagri dalam draf evaluasinya meminta Pemerintah Aceh tambahkan satu poin lagi untuk ayat (1) tersebut, yaitu (e), Kawasan Ekosistem Leuser, sesuai dengan PP No. 26/2008 tentang RTRW Nasional, di Aceh terdapat 5 KSN yang telah ditetapkan, termasuk KEL.

Namun hasil evaluasi Mendagri itu tak digubris Gubernur dan DPR Aceh. Tindakan tersebut melanggar Pasal 14 ayat (4) Peraturan Mendagri No. 28/2008 tentang tata cara evaluasi rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang daerah.

Pasal itu berbunyi, “Gubernur menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan melaporkan hasilnya kepada Menteri Dalam Negeri paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak diterimanya Keputusan Menteri Dalam Negeri.”

Namun, Mendagri pun dinilai lalai menerbitkan dan menyampaikan hasil evaluasinya terhadap Raqan RTRW Aceh tahun 2013-2033 yang disampaikan Gubernur Aceh pada 18 Desember 2013 dan diterima Kemendagri pada 20 Desember 2013.

Mendagri baru membalas hasil evaluasinya pada 20 Februari 2014, sehingga melewati batas waktu 15 hari kerja dihitung sejak diterimanya Raqan RTRW Aceh 2013-2033. Keterlambatan itu melanggar ketentuan Pasal 14 ayat (3) Peraturan Mendagri No. 28/2008 tentag tata cara evaluasi rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang daerah.

GeRAM menyatakan, Mendagri membiarkan perbuatan melawan hukum oleh Gubernur dan DPR Aceh atas pengesahan Raqan RTRW Aceh 2013-2033 menjadi Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013-2033 tanpa lebih dulu menindaklanjuti hasil evaluasi.

Menggugat ke Jakarta

Foto kiriman Aceh Info (@acehinfo) pada

Pada 21 Januari 2016, Abu Kari terlihat di halaman Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bersama delapan perwakilan elemen masyarakat Aceh lainnya yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM).

Aktivis GeRAM dibantu kuasa hukum dari Kantor Hukum Evi Susanti & C0 (ESCo) mendaftarkan gugatan ke PN Jakpus. “Kami menggugat Mendagri segera membatalkan qanun atau peraturan daerah tersebut karena tidak mengakomodir kawasan strategis penyelamatan lingkungan hidup di Aceh,” kata Dahlan, anggota GeRAM asal Lhokseumawe.

Tujuh anggota GeRAM lainnya yaitu Sarbunis dari Aceh Selatan, Najaruddin dari Nagan Raya, Efendi dari Aceh Besar, Farwiza Farhan dari Banda Aceh, Juarsyah dari Bener Berah, Kamal Faisal dari Aceh Tamiang, dan Muhammad Ansari Sidik dari Aceh Tenggara.

Najaruddin mengungkapkan, jika KEL tak masuk dalam Qanun Aceh No. 19/2013 tentang RTRW Aceh, hutan gambut rawa Tripa yang merupakan bagian dari KEL terancam berubah fungsi menjadi area perkebunan sawit. “Sekarang saja, sebagian hutan rawa gambut Tripa sudah jadi kebun sawit,” katanya.

Nurul Ikhsan, salah satu dari tiga kuasa hukum GeRAM menyatakan, gugatan terhadap Mendagri itu menggunakan mekanisme citizen lawsuit atau gugatan warga negara.

Selain Mendagri, sebutnya, sembilan warga Aceh itu juga menggugat Gubernur Aceh dan DPR Aceh untuk segera merevisi Qanun Aceh No. 19/2013 tentang RTRW Aceh.

Mawardi Ismail pakar hukum senior Unsyiah melihat, proses pembentukan Qanun No. 19/2013 tentang RTRW Aceh itu sudah bermasalah semenjak disahkan. Ketika kemudian GeRAM menggugat melalui citizen lawsuit, menurutnya, itu memang hak warga negara dengan upaya hukum yang ada.

“Kita harus menghormati itu (upaya GeRAM_red) dan itu menjadi pendidikan hukum bagi masyarakat, bahwa tidak melakukan cara yang anarkis dalam menyuarakan haknya,” katanya kepada Pikiran Merdeka.

Mawardi terkait tak dimasukkannya nomenklatur KEL sebagai KSN dalam qanun itu menyatakan, pemerintah seakan-akan tak mengakui keberadaan KEL di Aceh, padahal empat KSN lainnya dimasukkan. Jika satu KSN yang sudah ditetapkan Pemerintah Pusat dimasukkan, seharusnya semua nomenklatur juga dimasukkan.

Terancam Gagal Mediasi

Kerusakan hutan gambut Tripa
Kerusakan hutan gambut Tripa di sekitar area PT Kalista Alam Palm Oil, direkam dari udara, 19 November 2013. Foto: Paul Hilton/Dok. HAkA

Para penggugat yaitu Abu Kari sc dengan para tergugat yaitu Mendagri, Gubernur Aceh, dan DPRA, telah mencapai kesepakatan bersama pada pertemuan mediasi pertama, 8 Maret 2016, di ruang mediasi PN Jakpus.

Usai mediasi pertama, para penggugat menawarkan perdamaian kepada para tergugat melalui mediator yang ditunjuk Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili Perkara Nomor 33/PDT.G/2016/PN JKT PST itu, dengan segera meninjau kembali untuk merevisi dan menyempurnakan Qanun Aceh No. 19/2013 tentang RTRW Aceh 2013 – 2033.

Para penggugat ingin memastikan dan memberi jaminan substansi Qanun RTRW Aceh hasil revisi untuk memasukkan klausul sekurang-kurangnya mengatur tentang kawasan hak kelola mukim dan atau masyarakat adat lainnya; kawasan hutan adat; kawasan rawa gambut yang dilindungi; kawasan ekosistem Leuser; kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan rentan bencana dan jalur evakuasi bencana; dan kawasan koridor satwa.

Mereka juga mengharapkan kepastian Mendagri intens mengawasi proses revisi qanun RTRW Aceh 2013 – 2033 dan memastikan hasil evaluasi Mendagri Nomor 650-551 Tahun 2014 Tanggal 14 Febuari 2014 tentang Evalusasi Raqan RTRW Aceh 2014 – 2034 agar dimasukkan dalam revisi qanun tersebut. Dengan pelaksanaan proses revisi paling lambat 31 Desember tahun 2016.

“Setelah melakukan mediasi kedua pada minggu lalu, pihak tergugat melalui pengacaranya cukup terbuka dengan tawaran revisi qanun itu. Mereka melihat kita menggugat bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kebaikan bersama bagi seluruh masyarakat Aceh,” ujar Farwiza.

Mediasi ketiga antara pihak penggugat dengan pihak tergugat kembali digelar di PN Jakpus pada 31 Maret 2016. Farwiza dan delapan penggugat lainnya dari GeRAM hadir di mediasi tertutup itu.

Namun, upaya resolusi konflik justru terhambat pada mediasi ketiga itu. Nurul Ikhsan dalam rilis ke media menjelaskan, upaya mediasi terancam gagal karena Edrian, kuasa hukum Gubernur Aceh, tetap bersikukuh dengan putusan Mahkamah Agung RI terkait gugatan uji materi Qanun RTRW.

Seperti dikutip Nurul Ikhsan, Edrian megatakan, keputusan Mahkamah Agung menyatakan tak ada pelanggaran dalam pembuatan qanun tersebut, setelah proses uji materi yang diajukan Walhi Aceh beberapa waktu lalu.

Menurut Farwiza yang dihubungi terpisah, mediasi akan dilanjutkan pada 6 April 2016. Jika akhirnya upaya mediasi gagal, para penggugat siap melanjutkan proses gugatan melalui mekanisme persidangan, hingga KEL masuk Qanun RTRW Aceh.

Kejutan Aktor Hollywood

DiCaprio visits Leuser Ecosystem in Aceh
Aktor Leonardo DiCaprio berpose dengan aktivis HAkA berlatar gajah sumatera di TNGL. Foto: Paul Hilton/Dok. HAkA

Minggu, 27 Maret 2016, masyarakat Ketambe, Kecamatan Badar, Aceh Tenggara, dikejutkan oleh kedatangan tiga aktor dunia: Leonardo DiCaprio, Adrien Brody, dan Fisher Stevens beserta kru dari Leonardo DiCaprio Foundation.

Mereka kemudian seberangi Sungai Alas menuju Taman Nasional Gunung Leuser. Di sana, Leo dan kawan-kawan bertemu dengan tiga orangutan sumatera (Pongo abelii), yang ditemui tak jauh dari Stasiun Penelitian Ketambe (Ketambe Research Station). Mereka juga bercengkerama dengan sejumlah spesies langka lainnya seperti gajah sumatera.

Kabar kunjungan aktor yang memerankan Jack Dawson dalam film Titanic dan kru Leonardo DiCaprio Foundation baru diketahui media massa sehari setelah mereka keluar TNGL.

Direktur HAkA, Farwiza, menjelaskan, kunjungan dua hari Leo ke TNGL merupakan kunjungan wisata lingkungan. Menurutnya, aktor peraih Piala Oscar ke-88 itu pun sudah memperhatikan potensi kerusakan hutan Aceh dan Sumatera sejak beberapa tahun terakhir.

“Setelah berkali-kali kita meminta untuk merevisi Qanun RTRW Aceh, Pemerintah Aceh yang kita pilih sendiri malah tak ada niat baik. Justru orang lain (Leo_red) yang berada sangat jauh disana datang kesini peduli kelestarian KEL,” ujar magister Manajemen Lingkungan di Universitas Queensland, Australia itu.

Yayasan Leonardo DiCaprio dalam kunjungan itu juga menyerahkan sejumlah donasi untuk melindungi keanekaragaman hayati di KEL melalui Yayasan HAkA dan Rainforest Action Network (RAN).

Farwiza menegaskan, kunjungan aktor Hollywood itu tidaklah dilihat dari berapa besar donasi diberikan. Karena seharusnya Pemerintah Aceh yang mengalokasikan dana untuk konservasi hutan Aceh.

“Ketika ada pihak luar yang datang membantu jangan dilihat dana berapa M (miliar_red). Nilai KEL itu lebih dari 300 juta dolar AS per tahun. Itu nilai yang tak terlihat ketika keberadaan KEL mampu melindungi masyarakat sekitar dari bencana.”

Kerugian akibat kerusakan hutan justru lebih besar dari nominal itu menurutnya, seperti ketika banjir di Aceh Tamiang pada 2006, dalam seminggu kerugian lebih dua kali lipat dari dana APBA.

Leo aktor sekaligus aktivis lingkungan yang gencar mengkampanyekan perubahan iklim dan keselamatan hutan. Melalui Leonardo DiCaprio Foundation, ia aktif mendukung kegiatan konservasi di seluruh dunia.[]

Diterbitkan di Rubrik NANGGROE Tabloid Pikiran Merdeka edisi 118 (4 – 10 April 2016)

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait