Dara Mantee Nazar Djeumpa
Memeluk Dara Mantee. Ilustrasi: Nurhadi/Pikiran Merdeka

Oleh Nazar Djeumpa

Gadis itu meringkuk dengan tangan memeluk kedua kaki. Menyembunyikan wajah diantara lutut. Hanya sesekali matanya tajam mengawasi. Memandang penuh curiga. Cahaya matahari petang menembus kerimbunan belukar, hinggap di wajah. Tepat diantara alis tebalnya yang tersambung menyatu. Ketakutan begitu nyata merona.

Manyak menjulurkan tangannya. Gadis itu bukan menggapai. Malah beringsut mundur. Kembali Manyak menyodorkan. Gadis itu beranjak. Hendak berdiri mencoba untuk lari kiranya. Namun roboh. Gadis itu masih berusaha menghindar tetapi esotnya terhenti. Punggungnya membentur bebatuan. Kundai terlepas, rambut teramat panjang kembali tergerai.

“Aku akan memberimu kehidupan yang lain.” Ujar Manyak. Gadis itu tak menjawab. Hanya sorot matanya semakin tajam penuh curiga. Manyak sigap merengkuh. Gadis itu meronta-ronta sekuatnya. Namun, gelalarnya melemah dalam rengkuhan Manyak.

***

Dua hari sudah gadis itu di sana. Seisi kampung kini gempar. Semua warga menggunjing tentang gadis aneh yang dibawa pulang oleh Manyak. Gadis yang tak bisa berbicara. Bermacam dugaan menyeruak. Menjadi bahasan tak bertepi.

Malam ini, para warga berkumpul di halaman rumah Pang Abah, Abi si Manyak. Hendak menyaksikan langsung gadis itu. Warga dari kampung seberang pun ikut memadati kolong rumah panggung itu.

Tetua kampung mempersilakan Pawang Kaoy untuk menjumpai Pang Abah. Pawang Kaoy seorang pengelana yang baru beberapa hari lalu kembali ke kemukiman ini.

“Manyak menjumpai gadis itu di ceuraceuk (air terjun_red). Bersembunyi diantara batu-batu besar. Terbawa arus. Entah darimana dia berasal.” Ujar Pang Abah sembari mempersilakan Pawang Kaoy mendekati gadis itu.

Namun Pang Kaoy begitu tercengang. Terloncat mundur. Dia menunjuk dan tergagap berujar, “Itu Dara Mantee. Lihatlah, alisnya terangkai. Saling menyambung.” Warga berpandang-pandangan, riuh-rendah saling berbicara sesama.

“Petikkan aku jeruk purut berangkai tiga. Aku hendak mengujinya.” Ujar Pawang Kaoy.

Warga kembali saling pandang. Tak lama kemudian seseorang datang membawa serangkai seperti yang dimintakan. Pawang Kaoy menenteng dan mendekatkan ke gadis itu. Gadis itu melenggakkan kepala yang sedari tadi disembunyikan diantara kedua lutut, memastikan tebaran bebau. Ia menjerit histeris. Penuh ketakutan.

Sigap Manyak menepak tangan Pawang Kaoy yang masih menenteng. Bergegas memeluk si gadis. Menenangkannya. Gadis itu meratap dalam sedu-sedan. Baru kali ini Manyak mendengar dia berbicara. Dalam bahasa yang tak dimengerti oleh semua yang di sana.

“Dia tidak bisu. Dia benar manusia,” ucap seseorang.

“Tapi dia bukan puak kita, bahasanya aneh,” sahut yang lain.

“Nah. Jelas dia Dara Mantee. Penghuni rimba belantara. Mereka menjauhi jeruk purut pada malam purnama. Karena mereka yakin akan berubah menjadi harimau apabila terciprat pada saat bulan penuh.” Pawang Kaoy memberi penjelasan. Warga kampung terhenyak. Saling pandang.

“Beberapa tahun lalu aku bermukim di Seumileuk. Kami menyembunyikan seorang dari mereka diantara kami, menjadikannya seperti kita. Rupanya Holanda (Belanda_red) sedang mencari-cari puak Mantee. Karena kami tidak mau menunjukkan pada kaphe (kafir_red) itu, kami diusir dari Seumileuk. Tidak boleh lagi bermukim di sana. Rumah-rumah kami dibakar. Maka aku kembali ke sini.” Pawang Kaoy menjelaskan penuh ketakutan.

“Berarti dia harus diusir dari kampung kita,” ujar seseorang dari kerumunan. Beberapa yang lain bergumam mengiyakan.

“Jangan buang kembali dia ke rimba.” Manyak berteriak keras mencoba melawan usulan-usulan liar.

“Berarti kita serahkan saja gadis itu pada kaphe.”

“Tidak boleh.” Manyak kembali berteriak.

“Lantas bagaimana jika perkampungan kita juga dibakar oleh kaphe-kaphe itu?”

“Siapa yang akan bertanggungjawab?” Ucap yang lain. Warga semakin risau.

Tiba-tiba, Utoh Amat menerobos kerumunan. Dia termengah-mengah. Tangan kanan memegang lutut. Tangan yang lain menunjuk ke arah dia datang dari keremangan cahaya purnama.

“Ramai Holanda sedang menyeberang sungai. Berarah kemari,” ujar Utoh Amat.

Warga tersentak. Jika kini sedang menyeberang sungai, berarti sudah sangat dekat. Terkira lama tak sampai tuntas menguliti kulit kerbau, para serdadu kaplat (keparat_red) itu sudah tiba kemari. Atau bisa lebih cepat. Semua tahu, para serdadu berkulit hitam dan coklat itu sangatlah ligat. Makan dan tidur saja mereka mampu sembari berjalan.

“Tenang-tenang…., wareh lon (kaumku_red).” Sekonyong-sekonyong sebait suara berat mengalihkan perhatian warga untuk memaling.

Itu Pang Abah. Berbicara dengan dua tangan terangkat mencoba redakan kehebohan.

“Perkara Dara Mantee serahkan saja kepadaku. Anggap saja tidak pernah terjadi apapun di kampung kita dalam dua hari ini. Wareh lon semua, jika nanti Holanda bertanya, menggeleng saja. Sekarang, pulanglah sebelum para kaplat itu tiba,” tegas Pang Abah.

Warga kini menjadi sedikit tenang. Namun bukan bubar teratur. Semua berlarian tak menentu arah. Beberapa orang telah mematikan dan mencabuti obor-obor penerang. Hanya temaram purnama tersisa di halaman.

Abi mendekati Manyak yang masih memeluk si gadis itu, menyentuh pundak dan berkata, “Nyak, bawalah gadis itu menjauh. Lakukan yang terbaik, anakku. Demi negeri ini.”

Si gadis tak paham yang diucapkan Abi. Namun dia mengerti, sesuatu yang ganjil akan terjadi. Bias resah merona nyata menghadirkan ketakutan yang luar biasa pada wajah gadis itu. Isaknya semakin menjadi-jadi.

Manyak menatap lekat mata Abi. Lantas meraih peudeung oen joek yang disodorkan. Peudeung oen joek itu—pedang tipis yang dapat menggulung dan konon ketajamannya mampu memotong batang pinang dalam sekali tebas— kebanggaan Abi. Warisan turun-temurun yang dipakai buyut Abi mengawal Sultan.

Kini Abi menyerahkan pusaka itu pada anak tunggalnya, Manyak. Berarti Abi memerintahkan sesuatu. Sekarang Manyak mengerti apa yang harus dilakukan. Manyak memegang erat tangan gadis itu dan menghentaknya.

Manyak terus berlari sekuat tenaga. Dengan terengah-engah sampai pula ke ceuraceuk. Dalam kelelahan perlahan menapaki jalanan setapak mendaki, mengarah ke bagian teratas. Manyak berdiri menggenggam peudeung oen joek diantara batu-batu yang membendung aliran sungai kecil yang kemudian jatuh dari sela-selanya menjadi gemericik teladas.

Manyak menukikkan pandangan ke arah perkampungan di bawah sana. Tidak ada yang membubung. Holanda belum tiba kiranya. Mungkin juga Holanda sedang bergegas ke ceuraceuk ini. Menyusulnya.

Manyak menatap lekat wajah gadis itu. Terlempai sudah dengan air mata mengucur. Memasrahi nasib. Isak si gadis telah menghilang kini. Sedari terdampar di ceuraceuk ini ia sudah tidak lagi berharap tetap hidup. Kakinya mengucurkan darah akibat tersayat batuan cadas.

Peudeung oen joek yang sedari tadi digenggami Manyak kini telah diselipkan pada balutan kain sarung di pinggang. Dengan mengucapkan Bismillah dan megapal Waqulja Alhaqqu Wazahaqal Bathil Innal Bathilaka Nazahuqa, Manyak melangkah memasuki rimba yang berpagar pohon-pohon besar. Menggendong Dara Mantee.[]

Nazar Djeumpa bernama asli Muhammad Nazar, kelahiran Bireuen, 26 Februari 1981. Ia berpulang ke Rahmatullah pada 30 Maret 2016, sehari setelah mengirimkan naskah cerpen ini ke email redaksi Pikiran Merdeka. Cerpen ini didedikasikan untuk Nazar Djeumpa atas sumbangsihnya mewarnai literasi sastra di Aceh. Selamat jalan kawan.

*Diterbitkan di Rubrik SASTRA Tabloid Pikiran Merdeka edisi 118 (4 – 10 April 2016)

Komentar