Pasca Damai, Begini Aceh di Mata Sastrawan Indonesia

Pasca Damai, Begini Aceh di Mata Sastrawan Indonesia
Dok. For-JAK

PM, Jakarta – Forum Jurnalis Aceh Jakarta (For-JAK) meluncurkan buku berjudul ‘Seperti Belanda: Dari Konflik Aceh ke MoU Helsinki’, dibarengi dengan diskusi bertajuk “Aceh di Mata Sastrawan Indonesia”, yang berlangsung secara virtual, Sabtu (24/102020) malam.

“Aceh bagai sebuah negeri yang terpisah dari Nusantara, sebagaimana Papua yang bertubuh raksasa itu. Nama Aceh bagi saya ketika SD atau SMP memang terdengar religius dan memiliki pahlawan yang gagah berani meskipun di antara mereka adalah perempuan: Tjut Njak Dhien dan Tjut Meutia. Belanda tak pernah menang di sana,” kata sastrawan Kurnia Effendi saat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.

Kurnia turut prihatin dengan konflik disusul tsunami yang menerjang Aceh pada akhir 2004, sebelum berseminya damai. Masalah Aceh selama ini cenderung dilihat dari sisi politik saja.

“Aceh yang digempur berbagai cobaan dan ujian sehingga lukanya tak pernah sembuh itu, lebih banyak dipandang dengan dan dari kacamata politik. Ada kepentingan-kepentingan yang seolah di luar jangkauan tangan sastra,” ujar penulis buku ‘Bercinta di Bawah Bulan’ itu.

Kurnia menilai bahwa Aceh kaya akan sastra dan puisi. “Puisi di Aceh, menggurat dalam serupa luka yang membenam. Tidak tersembuhkan atau dengan kata lain, baik tersirat maupun tersurat, puisi tentang Aceh tentu tak akan habis dibaca zaman.”

Menurut Kurnia, puisi saja ternyata tak cukup untuk menggambarkan Aceh secara utuh. “Aceh adalah puisi itu sendiri yang tubuh dan belulangnya sudah remuk berulang-ulang. Komunitas literasi tumbuh di mana-mana dan yang cukup ternama adalah Gapena. Di sana, pada sebuah malam, Leo Kristi menyampaikan kepada teman-teman penyair, bahwa karya yang baik akan bergema panjang. Saya kira, representasi Aceh dalam sejarahnya akan bergema lebih panjang lagi,” ujarnya.

Pengamat sosial politik sekaligus penikmat sastra, Fachry Ali mengatakan bahwa ruang ekspresi yang berkembang di Aceh secara sosiologis menggambarkan situasi kesejarahan yang mengungkapkan dua jalur arus sejarah; politik dan ideologi.

Jalur politik dilihat dari benturan antara kekuatan di Aceh dengan di luar Aceh. Adapun puisi yang lahir akibat benturan politik dan ideologi ini menentukan cita rasa ungkapan khas Serambi Makkah seperti hikayat Prang Sabil.

“Hikayat Prang Sabil yang kita tahu adalah respons intelektual keagamaan terhadap situasi peperangan Aceh, di mana Aceh pada waktu itu 1880-an hampir tidak punya kans untuk menang melawan Belanda yang dimulai 1873. Bahkan elit-elit penguasa Aceh sudah lebih memperlihatkan kecenderungan menyerah yang tampil mengambil kepemimpinan itu adalah ulama,” kata Fachry yang juga tokoh Aceh di Jakarta ini.

“Dan ulama tidak punya modal lain kecuali agama. Hikayat prang sabil adalah respons keagamaan yang bersifat intelektual untuk memberikan jawaban terhadap realitas peperangan Aceh.”

Sementara penulis novel ‘Samudera Pasai’ Putra Gara mengapresiasi peluncuran buku ‘Seperti Belanda: Dari Konflik Aceh ke MoU Helsinki’. Menulis Aceh, kata dia, memang tak pernah habis. Pasalnya, provinsi ujung barat Sumatera itu adalah narasi yang dimaknai menjadi sebuah ruhaniah.

“Konflik Aceh adalah kehidupan yang menjadi catatan tersendiri, karena saya pernah menulis di catatan lama bahwa saya membawa Aceh dalam sebongkah dendam yang nyata,” katanya.

Dia berharap, buku antologi puisi ini dapat menampilkan keterbukaan Aceh meskipun lanjutnya, menulis Aceh tidak akan pernah selesai.

Dalam diskusi dipandu oleh sastrawan sekaligus Pembina For-JAK, Fikar W Eda, juga menghadirkan narasumber penyair dan penulis buku ‘Doa Ikan Kecil’ Ni Wayan Idayati. Diskusi ini dibuka dengan pembacaan hikayat tentang Aceh oleh Agus Nuramal alias Agus PMTOH. Kemudian menampilkan testimoni dari beberapa sastrawan dan penyair ternama Indonesia terhadap buku ‘Seperti Belanda: Dari Konflik Aceh ke MoU Helsinki’.

Inisiator sekaligus PO peluncuran buku ‘Seperti Belanda: Dari Konflik Aceh ke MoU Helsinki’, Saifullah S alias Pilo Poly mengatakan, secara pribadi dan kelembagaan For-JAK mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung acara ini.

“Terima kasih kepada sponsor sehingga buku ini akhirnya tercetak bang Nasir Djamil, bang Hamdani Bantasyam, bang Teuku Dedek dan Badan Penghubung Pemerintah Aceh,” kata Pilo yang juga pengurus For-JAK. Ia juga menyampaikan hal serupa kepada pihak lainnya, terutama kepada inisiator buku Seperti Belanda lainnya, yakni Murizal Hamzah karena pembuatan buku tersebut awalnya dari diskusi antara dirinya dan jurnalis Aceh tersebut.

“Juga kepada pemateri yang hebat-hebat, Putra Gara, bapak Fachry Ali, dan Mas Kurnia Effendi serta Ni Wayan Idayati dan moderator kita, bang Fikar W Eda,” kata dia.

Sejumlah sastrawan terlibat membacakan puisi, diantaranya Salma Yoga S mewakili Aceh, Raudah Jambak (Sumut), Dheni Kurnia (Riau), Syarifuddin Arifin (Sumut), Rida K. Liamsi (Kepri), Pringadi Abdi Surya (Sumsel), Willy Ana (Bengkulu), Irawan Sandhya Wiraatmadja (DKI Jakarta), D Zawawi Imron (Jawa Timur), Zulfaisal Putera (Kalimantan Selatan), dan Sonsonjan A. Khan (Brunai Darussalam).(*)

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait