Oleh Khairil Akbar
^Mahasiswa Pasca pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan merupakan alumni dari jurusan Hukum Pidana Islam UIN Ar-Raniry.
Dua kali tulisan Zahlul Pasha terkait dengan KKR Aceh dimuat oleh Serambi Indonesia dalam rentan waktu yang tidak terlalu jauh. Dari tulisannya kita disadarkan bahwa secara subtantif KKR Aceh masih punya banyak masalah. Terlihat dari tulisan itu bahwa Zahlul masih belum puas dan boleh jadi masih menyimpan banyak amunisi untuk mengkritik KKR Aceh. Semangat mengkritik melalui tulisan ini patut diapresiasi sekalipun masih memiliki titik lemah.
Atas dasar itulah saya mencoba melengkapi, yang di sisi lain turut mengkritik pula tulisan tersebut. Sebagai sahabat, saya tahu persis bahwa Zahlul memang begitu berkonsentrasi dalam masalah ini. Namun, sebagai manusia tentu Zahlul juga bisa salah, atau barangkali lupa.
Pertama, sejauh amatan penulis, Zahlul tidak atau belum juga menulis (klarifikasi) apa-apa, baik kepada Serambi, maupun di akun media sosial pribadinya. Klarifikasi dimaksud berkaitan dengan pengutipan pasal yang keliru, yaitu Pasal 30 huruf (b) yang menurutnya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (30) Qanun KKR Aceh. Masalahnya pasal tersbut tidak ada. Pasal 30 hanya berisi dua ayat, tanpa huruf. Sesuai komentarnya pada penulis, pasal yang ia maksud ternyata adalah Pasal 20 huruf (b). Agar lebis jelas, penulis utarakan bahwa Pasal 1 ayat 30 dan Pasal 20 huruf (b) sebenarnya memiliki hubungan antara umum dan khusus, di mana Pasal terakhir merupakan terjemahan lebih lanjut dari pasal 1 ayat (30) mengenai pengungkapan kebenaran.
Hanya saja, benar dikatakan Zahlul, dalam Pasal 1 ayat (30) tertulis secara ekspilisit bahwa pengungkapan kebanaran—yang merupakan bagian dari tugas KKR (Pasal 8)—hanya melingkupi pelanggaran HAM tidak berat, sedangkan Pasal 20 huruf (b) berbicara lain.
Kedua (dan yang kedua kalinya pula Zahlul menuliskannya), KKR Aceh ditempatkannya sebagai lembaga (komisi) alternatif dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Dalam hukum, istilah alternatif punya konsekuensi yang berbeda dengan istilah lainnya. “Alternatif” mengacu pada pilihan yang saling mengesampingkan. Dalam masalah ini, posisi demikian seolah menjelaskan, bila sudah melalui KKR, berarti Pengadilan HAM tidak lagi berperan. Artinya, menempatkan KKR sebagai lembaga alternatif dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM selain akan melukai perasaan korban karena kenyataannya KKR tidak dapat memberi keadilan (menghukum), juga telah dinyatakan inkonstitusinal oleh MK (dimuat pula dalam putusan Nomor 020/PUU-IV/2006). Karena problem ini pulalah UU KKR kehilangan jantungnya dan akhirnya mati; tidak berlaku sama sekali.
Penulis menilai bahwa menempatkan KKR Aceh sebagai alternatif dalam kasus ini, sama saja dengan membunuh KKR untuk kedua kalinya. Maksudnya, ketika KKR Nasional (sebagai induk) dinyatakan inkonstitusional karena posisinya sebagai lembaga alternatif, kita malah menjerumuskan KKR Aceh untuk turut menangung nasib yang sama (dengan KKR Nasional) karena posisinya yang juga lembaga alternatif. Padahal, pembentukan Qanun KKR Aceh itu telah menyesuaikan diri terhadap Pasal 44 UU KKR yang inkonestitusional tadi. Dengan kata lain, KKR di Aceh bukanlah lembaga alternatif di mana bila Pelanggaran HAM yang berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh KKR Aceh, perkaranya masih dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM (Pasal 48 ayat (2)).
Hal ini sesuai dengan prinsip kerja KKR Aceh sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 huruf (d) dan (i). Bila prinsip menolak pengampunan (impunitas) pada huruf (d) ditujukan agar pelaku kejahatan HAM berat tetap harus diproses dan diadili, maka prinsip komplementer pada huruf (i) Pasal a quo lebih menegaskan bahwa KKR adalah persyaratan atas pengungkapan atau secara umum adalah penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM. Itu sebabnya mengapa Bhatara Ibnu Reza mengatakan, ke depan, KKR tidak boleh dimulai dengan prasangka bahwa kebenaran (truth) dan keadilan (justice) adalah alternatif-alternatif pilihan penyelesaian pelanggaran masa lalu. Sebab, kebenaran bukanlah salah satu bentuk alternatif namun sebagai persyaratan utama untuk pencapaian keadilan (hukumonline.com, 25/6/2003).
Ketiga, ketika Zahlul berbicara soal indepedensi KKR Aceh kiranya ada kesan gegabah dan menuding. Zahlul mengatakan pembentukan KKR Aceh merupakan pengakuan diam-diam bahwa sistem peradilan umum tak dapat diharapkan terlalu banyak untuk menyelesaikan berbagai kejahatan terhadap HAM yang pengoperasiannya berada dalam wilayah pengaruh politik. Zahlul berharap agar pengaruh politik—sebagaimana yang ia tuduhkan—tidak masuk ke dalam KKR Aceh. Bila itu terjadi, lanjutnya, maka KKR Aceh akan sama dan tidak ada bedanya dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Kekhawatiran berlebihan ini yang menurut penulis membuat Zahlul keluar jauh dan menyimpang dari kebenaran.
Setidaknya pandangan Zahlul dapat dibantah dengan alasan berikut: Pertama, kejahatan HAM berat bukan ranahnya peradilan umum. Kecuali Zahlul punya klasifikasi tersendiri menganai apa itu peradilan umum, yang mungkin Pengadilan HAM ad hoc ia masukkan kedalamnya. Dalam Qanun KKR, Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang ada di Aceh. Kedua, tidak benar bahwa peradilan dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik. Hal ini dikarenan poisi peradilan (yudikatif) yang setara dengan eksekutif dan legislatif berdasarkan UUD 45. Hakim bahkan sangat bebas karena posisinya yang juga dapat menafsirkan bahkan menemukan hukum baru. Yang mungkin diserang dari kekuasaan yudikatif itu malah indepedensi personal hakimnya. Sedangkan KKR justru lebih rentan dari itu. Baru-baru ini KKR Aceh bahkan sudah terkendala soal logistik yang artinya secara finansial (fungsi budgeting) KKR Aceh belum independen.
Terakhir, KKR, terlebih di Aceh, tidak dapat disamakan dengan KPK dan komisi-komisi negara lainnya. Apalagi mengasumsikan bahwa kerja KKR lebih jauh dari peradilan umum. Pembentukan KKR kiranya hanya karena persyaratan legal dari sebuah pembuktian yang terlalu ketat di samping alasan lain. Adapun logika bobroknya penegakan hukum tidak dapat diterima dalam hal ini karena KKR Aceh justru akan sangat membutuhkan lembaga-lembaga lain seperti Pengadilan HAM untuk merekomendasikan langkah-langkah legal demi tercegahnya keberulangan pelanggaran HAM masa lalu. Dalam laporannya, KKR Aceh bahkan harus membuat rekomendasi demi perlindungan hak asasi manusia di antaranya berisi tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM (Pasal 16 ayat (4) huruf (d)). Sebagai penutup, tulisan ini bisa jadi juga terdapat banyak kelemahan yang perlu diluruskan pula.[]
Belum ada komentar