Tgk Faisal Ali (Wakil Ketua MPU Aceh). Foto: aceh.tribunnews.com

 

Di Aceh, fenomena kemunculan ISIS kian mengkhawatirkan. Menurut Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk Faisal Ali, riak ISIS di Aceh masih sebatas simpatisan.

“Ia tidak termasuk dalam organisasi, tapi dia simpati pada pergerakan ISIS dan mempengaruhi orang lain untuk setuju dengan gerakan ISIS. Mereka melakukan kampanye-kampanye positif tentang ISIS, ini yang kita khawatirkan,” ujar Tgk Faisal kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (15/7) pekan lalu.

Paham ISIS, sebut Faisal Ali, sudah jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Berita-berita yang muncul mengenai gerakan ekstrimis yang didalangi ISIS juga semakin marak, tidak hanya di Timur Tengah, tapi di Eropa bahkan sudah merambah ke Asia Tenggara. Namun ia tak menampik apapun bentuk paham dan ideologi pasti punya penganutnya masing-masing.

“Seperti ISIS yang jelas-jelas membunuh sesama muslim dan menghancurkan makam nabi-nabi, ini kan jelas sekali bertentangan dengan ajaran Islam, tapi penganutnya tetap ada,” tutur ulama yang akrab disapa Lem Faisal ini.

Menurut dia, umumnya yang mudah terjerat paham radikal semacam ini adalah mereka yang tingkat ilmu pengetahuan agamanya masih terbatas. “Mereka (ISIS) menawarkan konsep masuk surga dengan jalan pintas, mereka yang pengetahuannya terbatas mudah dicekoki paham seperti ini.”

Meski tidak diketahui pasti berapa banyak simpatisan ISIS di Aceh, namun Tgk Faisal tetap mendesak polisi untuk mengusut tuntas segala potensi keberadaan gerakan ekstremis itu. Selain penindakan tegas, juga perlu upaya penyadaran yang bersifat persuasif agar masyarakat lebih terdidik dalam menyikapi fenomena ISIS.

“Ulama di Aceh tak henti-hentinya mengkampanyekan kebenaran. Tapi yang dibutuhkan segera saat ini adalah penegakan hukum oleh kepolisian. Siapa saja mencurigakan, harap dipantau. Selain itu kita perlu lakukan penyadaran secara persuasif,” ujarnya.

Terkait ciri-ciri anggota ISIS yang dibeberkan polisi, Tgk Faisal menyebut itu bukanlah tanda yang mutlak harus dibenarkan. “Kebetulan, banyak anggota ISIS yang selama ini ditangkap mereka mengenakan gamis, berjenggot, tapi itu bukan ciri-ciri mutlak.” Katanya.

Ia sedikit khawatir, lantaran bersarung dan mengenakan gamis telah jadi gaya masyarakat Aceh sehari-hari, termasuk gaya kehidupan santri di dayah-dayah. “Karena itu, polisi harus benar-benar mendalami dan menelusuri sosok yang dicurigai terlibat dalam gerakan radikal, agar tidak jadi preseden buruk di masyarakat.”

Lembaga pendidikan juga perlu disoroti. Terutama lembaga luar yang mulai marak masuk ke Aceh dengan skema pembiayaan gratis.  “Perlu dicari tahu secara mendalam. Perlu keseriusan masyarakat untuk mendalami bagaimana profil lembaga itu, siapa ustadnya, darimana mereka memperoleh dana, apa yang diajarkan, ini semua perlu dikaji. Jadi jangan tergiur karena gratis begitu saja. Bukan tidak boleh, tapi perlu ditelusuri,” tegas Tgk Faisal.

 

DAYAH SEBAGAI BENTENG

Sebagai upaya membendung pengaruh radikalisme di kalangan masyarakat Aceh, maka generasi muda juga perlu menempuh pendidikan agama ke dayah. Hal itu disampaikan akademisi UIN Ar-Raniry, Jabbar Sabil.

“Dayah masih sangat vital perannya. Dayah itu memberikan pendidikan dengan pola-pola yang sangat ekonomis. Di sistem pembelajarannya, memang teungku-teungku itu saling dukung, tidak butuh biaya pendidikan yang begitu besar,” terang Jabbar.

Tgk Faisal pun mengutarakan hal senada. Dayah merupakan benteng kehidupan keagamaan di Aceh. “Nilai yang diajarkan di dayah sudah secara turun temurun di Aceh. Nilai yang terkandung dalam ajaran ulama kita, Syekh Abdurrauf As-Singkili, Nuruddin Ar-Raniry, itu yang sudah dipastikan aman dari unsur radikalisme. Ini yang perlu dilanjutkan, harus terus dibumikan di Aceh untuk generasi muda Aceh,” harapnya.

Masyarakat Aceh sejak lama mewarisi Islam yang moderat. Pola pikir yang terbangun di Aceh itu, sebut Jabbar Sabil, tidak akan mudah tersulut dengan gerakan semacam ISIS. “Yang mudah termakan paham seperti itu hanya mereka yang memiliki pola pikir ekstrem, suka menyalahkan satu sama lain,” ujarnya.

Jabbar juga mencotohkan, dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional yang sekian lama telah menjadi bagian dari identitas kehidupan masyarakat Aceh. “Semuanya menganut aliran Ahl Sunnah Wal Jamaah. Misalnya Asy’Ari, Almaturidi, itu telah menjadi landasan yang dipegang. Itu ideologi yang sangat moderat,” tukasnya.

Gerakan-gerakan radikal terkadang mendapatkan momentumnya di kalangan generasi muda. Penularan pahamnya kerap dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun, di Aceh gerakan terselubung semacam ini mudah terdeteksi karena pola interaksi masyarakat yang masih solid. “Jadi akan cepat ketahuan,” imbuhnya.

Pola pikir ekstrem, lanjut Jabbar, dipicu oleh dorongan emosional. Tidak menutup kemungkinan ada anak-anak muda yang pendidikannya tidak matang. Lalu bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran kritis namun tidak mendapat konfirmasi yang memadai.

“Dan itu kebanyakan dipicu persentuhan dengan pihak luar. Entah mengikuti diskusi, kadang mereka memang sempat mengambil pendidikan di luar negeri, bersentuhan dengan pemikiran ekstrem, lalu pulang ke Aceh dan menyebarkannya ke orang yang lain. Itu mungkin sekali, tapi di Aceh saya pikir masih sedikit,” pungkasnya.[]

Komentar