Mistik Tari Pedang

Mistik Tari Pedang
Penari Pedang pada awal pertunjukkan. Tampak pedang mereka berada di atas rumput di samping mereka membuka jurus.

Dua pria itu saling menghunuskan pedang dan menebas satu sama lainnya. Walau masing-masing mereka terkena bacokan namun tidak satupun yang terluka. Keduanya meliuk-liuk dan menghantam dalam alunan gendang saramo.

Apa yang mereka lakukan itu bukanlah pertunjukkan kekuatan dan kebolehan, hanyalah seni bermain pedang yang dilakoni dan dilestarikan masyarakat Simeulue Barat ketika menyambut tamu-tamu agung yang pertama berkunjung ke daerah mereka

Setiap daerah di Aceh banyak memiliki khas kedaerahan masing-masing termasuk seninya, salah satunya tari pedang di Simeulue Barat, Kabupaten Simeulue ini. Tari penuh mistik dan histori  itu diselingi alunan tabuhan gendang saramo.

Penari Pedang pada awal pertunjukkan. Tampak pedang mereka berada di atas rumput di samping mereka membuka jurus.

Tari itu jarang dipertunjukkan kecuali pada momen-momen tertentu saja, seperti Selasa, 10 Oktober 2012. Hari itu, Panglima Komando Daerah Militer ( Pangdam) Iskandan Muda (IM), Mayor Jendral Zahari Siregar melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) ke Kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Kecamatan Simeulue Barat, Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh.

Sore hari itu sekira pukul 18.00 WIB, rombongan Panglima yang didampingi Bupati Simeulue, Riswan NS dan sejumlah petinggi TNI dari Kodam IM memasuki halaman kantor Koramil.  Lima langkah Panglima dan rombongan masuk pekarangan kantor, Panglima dikalungi bunga oleh panitia penjemput.

Beberapa saat kemudian suara gendang saramo (istilah Simeulue Barat) terdengar ditabuh dua  pria di sisi arena pertunjukan. Keduanya  duduk bersila di atas tikar plastik berada di sebelah kiri rombongan. Dua orang berpakaian seragam kuning kecoklat-coklatan dan berpeci putih, muncul di hadapan rombongan. Masing-masing memegang sebilah pedang.

Pedang kemudian mereka letakkan di atas rumput berjarak sekitar tiga meter dari posisi rombongan berdiri. Keduanya lantas membungkukkan badan ke arah rombongan dan masyarakat serta penonton sebagai tanda penghormatan kepada para tamu.

Gendang saramo terus menabuh kencang berirama teratur dan heroik. Kedua pesilat (tukang silek-bahasa Simeulue Barat) saling memberi isyarat bahwa adegan akan dimulai. Mereka langsung beraksi saling menyerang dengan tangan kosong dan memperlihatkan kebolehan dari berbagai jurus silat.

Tangan dan kaki mereka meliuk-liuk seirama tabuhan gendang. Di pertengahan adegan, gerakan keduanya  semaking cepat dan saling mendahului untuk memungut pedang yang sebelumnya diletakkan di atas rumput. Mereka kemudian saling menyerang dan mengarahkan pedang di tangan kanan mereka yang seolah-olah saling membunuh sesama mereka.

Ayunan pedang tampak nyaris menyentuh tubuh kedua pesilat. Rombongan Panglima dan masyarakat yang hadir di

Penari Peudang mengayunkan pedang mereka dan saling mengintai. Adegan ini setelah pedang yang ditaruh di atas rumput mereka ambil dan dipegang.

acara itu terkesima melihat adegan, tak ada yang bersorak ketika itu. Berselang sepuluh  menit adegan berlangsung, tabuhan gendang terdengar melemah, ketukannya lambat. Tabuhan itu, sebagai isyarat pertunjukkan tari pedang telah berakhir.

Kedua penari kemudian langsung menyalami Pangdam IM dan rombongan satu persatu. Rombongan lalu dipersilahkan masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan. Adegan tari pedang hanya berlangsung sepuluh menit namun tampak memukau rombongan dan penonton.

Pangdam IM  Zahari Siregar merasa kagum atas adegan tari pedang yang menyambut kedatangannya. Kekagumannya itu, ia sampaikan pada awal sambutannya di hadapan unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) dan utusan masyarakat Kecamatan Simeulue Barat.

Kata Pangdam, tari pedang harus dipertahankan dan dilestarikan. Dirinyapun  siap membantu Bupati Simeulue untuk mengusulkan agar tarian itu bisa ditampilkan dalam acara-acara seni dan budaya, baik tingkat Provinsi Aceh maupun Nasional.

“Jangan sampai tari pedang itu dilupakan. Kita harus lestarikan seni budaya, adat-istiadat yang sudah ada sejak dulu kala. Tarian tadi luar biasa dan tidak ada di tempat lain,” kata Zahari Siregar. Tepuk  tangan pun bergemuruh dari masyarakat yang berhadir di halaman Kantor Koramil.

Bupati Simeulue Riswan NS menambahkan, tari pedang itu ia lihat saat penyambutan dirinya ketika kunjungan kerja pertama ke Kecamatan Simeulue Barat, paska dilantik menjadi bupati. “Saya kemudian mengusulkan kepada Camat, agar saat kedatangan Pangdam IM ke Simeulue Barat juga bisa disambut dengan tari pedang. Alhamdulillah terkabul,” kata Riswan kepada Panglima.

Tari pedang ini sudah berkembang di Pulau Simeulue sejak masa Belanda menjajah Indonesia. Masyarakat Simeulue Barat menyebutnya ‘besilek’ (silat). Pada awalnya, tarian itu bukan sebatas hiburan semata tetapi benar-benar sebagai senjata (ahli silat dengan bersenjata pedang) untuk membela diri dari serangan musuh (penjajah).

Pesilat harus memahami berbagai jurus untuk menahan serangan lawan yang bersenjata tajam (pedang) dan harus pintar memainkan pedang ketika berhadapan dengan lawan atau musuh. Pada masa Belanda hingga masuknya Jepang, setiap pemuda di Simeulue Barat wajib belajar ilmu silat pedang ini, temasuk ilmu kebal tubuh (tidak tembus besi).

 “Jika tidak bisa silat pedang dan ilmu besi, resikonya bisa tidak diterima menjadi menantu ketika meminang anak perempuan di kampung mereka,” kata Salman (70) warga Desa Babul Makmur, Kecamatan Simeulue Barat, Kabupaten Simeulue.

Faktor tersebut, kata Salman, masyarakat Simeulue khususnya Simeulue Barat saat itu harus belajar jurus silat pedang ini dibaringi ilmu kebal yang kemudian mewariskan ilmu bela diri tersebut, secara turun-temurun kepada anak cucu mereka.

Salman yang lahir Tahun 1940 atau dua tahun sebelum masuk Jepang ke Indonesia ini, mengaku bukan seorang pesilat karena ia tidak belajar silat pedang tersebut. Namun demikian, sejarah silat ini pernah ia dengan dari penuturan dua guru silat pedang yang ia kenal di desanya.

Kedua guru silat itu yaitu; Nyak Ransak dan Sia Banda, warga Desa Malasin, Kecamatan Simeule Barat. Keduanya sudah meninggal dunia puluhan tahun silam. Menurut dia, kedua guru ini bisa dikatakan merupakan guru silat terakhir yang ada di desa itu.

“Murid kedua guru ini juga sudah meninggal dunia. Kalaupun ada murid lain, mungkin mereka tinggal di desa lain di Simeulue dan sudah berusia lanjut,” katanya.

Masih menurut Salman, sesuai keterangan kedua guru silat tersebut bahwa untuk mendapatkan ilmu silat pedang ini tidaklah mudah. Selain menghabiskan waktu lama, tidak semua murid yang ikut belajar bisa lulus mendapatlan ilmu penutup dari sang guru.

Dua penabuh gendang saramo (istilah Simeulue Barat). Suara gendang diikuti oleh penari dalam membuka berbagai jurus silat.

Pada waktu penutupan, sang murid harus melawan gurunya dalam sebuah ring kecil di lapangan terbuka yang dipagari kayu.  “Kalau sudah mengimbangi guru, baru bisa lulus,” katanya.

Dikatakannya, dalam silat ini banyak istilah-istilah yang harus dipahami murid. Ada langkah ampek (langkah empat). Langkah ampek ini, dimana posisi lawan sudah sangat dekat sehingga siapa yang cepat menghunuskan pedang dia akan selamat.

Beriring dengan rumitnya mempelajari silat pedang ini, dibaringi Indonesia sudah merdeka dari penjajah sehingga generasi penerus silat ini semakin sedikit. Namun demikian, untuk melestarikan budaya masa lalu itu, silat pedang selanjutnya dijadikan sebagai sebuah permainan seni yang pertunjukkannya diiringi tabuhan gendang saramo dan dipertunjukkan pada momen-momen tertentu.

 “Tarian yang dipertunjukkan para pesilat dalam momen-momen itu, merupakan gambaran silat penutup dari sang guru di masa lalu. Semoga permainan atau tarian ini terus dilestarikan masyarakat Simeulue Barat khususnya dan Simeulue pada umumnya,” harap Salman.

Tari berjurus silat di Kabupaten Simeulue terdapat dua bentuk yakni silat pedang dan silat gelombang dua belas.

Silat pedang ini dilakoni perorangan atau satu lawan satu dan pada dasarnya hanya terdapat di Kecamatan Simeulue Barat, Kecamatan Alafan dan Salang.

Sementara untuk silat gelombang dua belas, beranggotakan dua belas orang atau sistem kelompok. Jenis kelompok ini lebih dikenal dan dilestarikan di Kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah, dan Tepah Selatan.

Seni atau jurus kedua jenis permainan silat ini hampir serupa. Hanya saja, untuk gelombang dua belas tidak memakai pedang namun juga diiringi tabuhan gendang.[Juli Amin]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Meniti Lumpe, Jembatan Maut di Kaki Leuser
Masyarakat di kaki Gunung Leuser harus melewati Lumpe untuk menyeberangi sungai saat hendak berkebun. |Anuar Syahadat

Meniti Lumpe, Jembatan Maut di Kaki Leuser

Kapolda Aceh
Irjen Pol Ahmad Haydar akan menggantikan Irjen Wahyu Widada sebagai Kapolda Aceh secara resmi, Selasa, 10 Agustus 2021 | Repro

Kapolda Aceh Resmi Berganti Hari Ini