Dipicu konflik internal berkepanjangan, pelayanan pasien di Rumah Sakit Teungku Fakinah berlangsung pincang. Dibutuhkan peran pemerintah menyehatkannya.
Tak ada lalu-lalang pasien maupun perawat ketika Pikiran Merdeka mendatangi Rumah Sakit Fakinah di Jalan Jenderal Sudirman, Banda Aceh, Sabtu (14/01/17) pekan lalu.
Suasana di rumah sakit swasta itu tak seperti biasanya yang hiruk-pikuk. Kini hanya terlihat sejumlah pria berpakaian bebas di halaman dekat pintu masuk dan beberapa di ruang Yayasan Teungku Fakinah.
“Pelayanan pasien sudah jalan sejak seminggu lalu, tapi hanya untuk pasien umum, tidak untuk pasien BPJS,” kata seorang petugas medis saat ditanyai Pikiran Merdeka.
Apotik di kompleks rumah sakit itu tetap buka. Namun aktivitas pelayanan rumah sakit seperti tiada. Pintu keluar RS bahkan digembok, hanya bisa keluar dari gerbang masuk.
Kondisi RS Fakinah ‘yang sakit’ tersebut tak lepas dari perseteruan kubu Yayasan Teungku Fakinah dengan kubu Direktur Rumah Sakit Teungku Fakinah, sejak empat bulan terakhir.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Aceh, Dr Tawaddin SH, secara pribadi menyayangkan konflik internal itu membuat terhentinya pelayanan rumah sakit bagi pasien dengan BPJS Kesehatan.
Selain dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri, kata dia, kasus perseteruan itu bisa diakhiri dengan mediasi. “Pemerintah Aceh harus memediasi dua pihak tersebut, seharusnya Dinas Kesehatan Aceh dapat mengambil peran ini,” tuturnya kepada Pikiran Merdeka, akhir pekan lalu.
Dia menerangkan, Kantor Perwakilan Ombudsman RI Aceh pada November 2016, sempat didatangi oleh sejumlah tenaga medis dari RS Teungku Fakinah. “Mereka entah untuk konsultasi, entah melaporkan perkara itu,” sebutnya.
Namun setelah diperiksa, pihak Ombdusman tak berwenang menengahi kasus tersebut. Sebab, perseteruan antara kubu yayasan (Siti Maryam) dengan kubu direktur (dr Saleh Suratno) terletak pada sengket hak.
Baca: ‘Kudeta Linggis’ Gaya Fakinah
Ombudsman, jelasnya, hanya menangani konflik pelayanan publik pada lembaga yang sumber keuangannya berasal dari APBN/APBD. “Kita hanya berwenang untuk aspek administrasi, sedangkan Fakinah itu milik swasta,” tegasnya.
Secara pribadi dia berharap, dua pihak bertikat mau berdamai, terlebih konflik itu telah menghentikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
YAYASAN VS DIREKTUR
Perseteruan antara kubu Yayasan Teungku Fakinah dengan Direktur Rumah Sakit Fakinah Saleh Suratno sudah berlangsung lama. Pada April 2011, Saleh Suratno diberhentikan dari jabatan Direktur Rumah Sakit Teungku Fakinah dan Akademi Perawatan Teungku Fakinah.
Keputusan itu tak diterima Saleh. Ia menempuh jalur hukum dengan menggugat surat keputusan pemberhentian yang dikeluarkan Siti Maryam Ibrahim sebagai ketua yayasan. Gugatan itu dimenangkan Saleh di Mahkamah Agung pada 11 Oktober 2016.
Mahkamah kemudian memutuskan Siti Maryam untuk membayar ganti rugi materiil dan immateriil kepada Saleh Suratno. Mahkamah juga hukum istri mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan itu kembalikan penguasaan atau kepengurusan rumah sakit dan Akper Teungku Fakinah kepada Saleh Suratno. Maryam juga diminta mahkamah tidak melakukan gangguan-gangguan yang dapat merugikan operasional rumah sakit dan akademi itu.
Perseteruan itu mestinya telah berakhir. Namun, pihak yayasan anggap kepemimpinan Saleh tak sah secara undang-undang yayasan. Berbanding terbalik dengan kubu Saleh yang mengklaim putusan Mahkamah Agung membuat pengelolaan rumah sakit tak lagi berkaitan dengan yayasan.
Tertunggaknya gaji karyawan semenjak dipimpin Saleh, dijadikan ‘senjata’ oleh pihak yayasan untuk menggoyang kursi direktur RS Teungku Fakinah itu.
Kepala Keuangan RS Fakinah, Dina Andriana, kepada Pikiran Merdeka mengatakan jasa paramedis tertunggak pada Oktober–Desember 2016, akibat konflik internal tersebut.
Baca: Baca Somasi Kedua Untuk Yayasan Fakinah
Sementara Saleh Suratno melalui kuasa hukumnya, Safaruddin mengatakan persoalan gaji bukan kesalahan manajemen yang kini dipimpin kliennya. Penyebab tertunggaknya gaji karena manajemen hingga kini belum terima kucuran dana dari BPJS Banda Aceh.
“Manajemen telah menyampaikan masalah itu kepada para dokter, perawat dan pekerja lainnya. Bahkan para dokter dan perawat sudah dua kali difasilitasi manajemen untuk menemui BPJS Banda Aceh,” sebutnya kepada Pikiran Merdeka, beberapa waktu lalu.
Seharusnya dana telah masuk ke kas rumah sakit sejak Oktober 2016. Beredar kabar, kata Safaruddin, manajemen telah diberitahukan BPJS bahwa dana telah dikirim ke rekening yayasan.
Namun saat hal itu ditanyakan ke yayasan, sambungnya, mereka malah menolak membayar gaji para perawat. Padahal sebelumnya yayasan telah bikin surat pernyataan membayar seluruh gaji pegawai RS Fakinah.
Menurut Safaruddin, kepemimpinan baru rumah sakit per 11 Oktober 2016 jelas tak miliki sangkut-paut lagi dengan yayasan. Putusan Mahkamah Agung pada saat itu juga dibarengi dengan eksekusi seluruh manajemen rumah sakit untuk diambil alih di bawah kepemimpinan Saleh Suratno.
Tapi Yayasan Teungku Fakinah, punya alibi sendiri. Melalui kuasa hukum mereka, Teuku Yusrizal mengatakan dana BPJS yang telah cair sengaja tak diberikan ke manajemen baru karena menganggap direktur baru tak sah menurut Undang-undang Yayasan Nomor 31.
Regulasi itu melarang semua pihak menjabat tiga jabatan sekaligus di waktu bersamaan karena bakal mengganggu pihak lain. “Yayasan sudah memecat dia (Saleh Suratno) sebelumnya karena menyalahi aturan tersebut,” sebut Yusrizal.
Selain menjabat Direktur Rumah Sakit Fakinah, Saleh Suratno juga merangkap Direktur Akademi Keperawatan Fakinah dan salah seorang Pembina Yayasan Teungku Fakinah.
Pemecatan Saleh, kata dia, pernah dimusyawarahkan yayasan pada 1 Oktober 2016. Musyawarah itu membahas putusan Mahkamah Agung dan solusi tunggakan pajak rumah sakit tahun 2010 senilai Rp2 miliar lebih.
Menurutnya, musyawarah itu hanya dihadiri kubu yayasan, sedangkan pihak direktur absen meskipun sudah diberikan undangann. Pun demikian, yayasan tetap melaksanakan rapat hingga selesai.
Pada 11 Oktober 2016, sebutnya, yayasan resmi pecat Saleh Suratno dari Direktur Rumah Sakit Fakinah dan Akper Fakinah. Keputusan pemecatan dikeluarkan tak lama usai pelaksanaan eksekusi ambil alih jabatan yang diperintahkan Mahkamah Agung kepada Pengadilan Negeri Banda Aceh. Sehari kemudian, dr Syamaun Ibrahim diangkat sebagai Direktur RS Fakinah.
MOGOK DAN PERUSAKAN
Ratusan pegawai RS Fakinah tertunggak gaji itu lantas sepakat mogok kerja. Mereka beraksi memprotes manajemen Fakinah pada 20 Desember 2016. Para pegawai berkumpul di halaman rumah sakit, meminta Direktur RS Fakinah dr M Saleh Suratno datang menemui mereka.
“Saat itu, kami bukan tidak pro terhadap manajemen rumah sakit. Kami hanya ingin memperjelas kapan jasa kami akan dibayar,” ujar seorang perawat.
Kepala Keuangan RS Fakinah, Dina Andriana mengungkapkan, kubu lama tampaknya ingin kuasai kembali kepemimpinan rumah sakit tersebut. Sebab beberapa hari setelah aksi mogok para pegawai, kubu yayasan melakukan “kudeta”.
Baca: Seteru Direktur Versus Yayasan
Puluhan orang datang merangsek rumah sakit. “Saat itu kami didatangi mereka dengan membawa linggis. Mereka merusak ruang kepegawaian dan mencongkel pintu kaca ruang direktur dengan obeng,” ujarnya.
Tak hanya merusak beberapa fasilitas, kedatangan puluhan tokoh elit pimpinan lama juga untuk menguasai kembali tampuk kepemimpinan rumah sakit, ceritanya.
Manajemen baru langsung melaporkan insiden itu ke Kepolisian Resor Kota Banda Aceh. Beberapa polisi tiba di rumah sakit untuk mengamankan lokasi.
“Ini bukan sebuah kudeta, wajarlah kami ambil alih karena punya sendiri,” ujar Teuku Yusrizal, kuasa hukum Yayasan Teungku Fakinah, yang juga ikut dalam aksi itu.
Sementara itu, Polresta Banda Aceh menangani dua laporan perkara yang terjadi di RS Teungku Fakinah pada Desember 2016 dan awal Januari lalu. Polisi akan mengusut tindak pidana saja.
“Dari dua LP itu, satunya masih dalam proses penyelidikan, satu lagi sudah dilimpahkan ke JPU namun jaksa meminta dihadirkan dua saksi,” sebut Kapolresta Banda Aceh Kombespol Saladin melalui Kasatreskrim Kompol Raja Gunawan, Sabtu pekan lalu.
Kasus yang berlarut-larut itu membuat RS Fakinah melalui kuasa hukumnya Safaruddin surati Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 10 Januari 2017.
Safaruddin menyatakan, surat tersebut untuk meminta penarikan kembali surat Nomor PW/21676/DPR RI/XII/2016 yang ditujukan kepada Kapolri perihal penyampaian Surat Pimpinan Komisi III DPR RI terkait tindak lanjut RDPU Komisi III DPR RI yang ditandatangani oleh Wakil Ketua DPR RI/Korkopolhukam, Dr Fadli Zon.
Dalam surat setebal empat halaman itu, Safaruddin menegaskan, informasi Pihak Yayasan Fakinah yang disampaikan ke Pimpinan Komisi III DPR RI adalah tak benar dan merupakan fitnah juga telah memutar balikkan fakta.
Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) itu turut menyampaikan delapan item bukti sebagai alasan, di antaranya putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap, penetapan eksekusi Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Surat itu juga disampaikan bukti lain seperti perlawanan ekseskusi dari pihak yayasan yang sedang berjalan di pengadilan, perusakan yang dilakukan kubu yayasan, pengeluaran pasien, pengambilan klaim BPJS, dan dugaan tindak pidana yang dilakukan pihak Yayasan Teungku Fakinah.
Menurutnya, surat dikeluarkan Wakil DPR RI itu telah menimbulkan polemik. Bahkan dijadikan alat untuk merampas penguasaan RS Teungku Fakinah sehingga operasiaonalnya ditutup oleh pihak yayasan beberapa hari.
“Perlu kami sampaikan bahwa informasi tersebut tidak benar dan merupakan fitnah juga memutar balikkan fakta. Kami ingin sampaikan kepada Pimpinan Komisi III DPR RI tentang yang sebenarnya dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” tegasnya.[]
Belum ada komentar