Foto: PM/Oviyandi Emnur

Komunitas tari dan teater asal Filipina menghentakkan Banda Aceh, awal Agustus 2017. Mereka menguak sisi buruk mengkonversi alam secara berlebihan.     

Bunyi karinding pelan-pelan mengisi senyapnya ruangan. Dalam hitungan sekian menit, gemerincing terdengar kemudian, ketika sang pemusik latar menghentak-hentakan kakinya. Ia tampak piawai memainkan dua bebunyian secara tunggal. Memaku perhatian penonton ke arah lampu sorot yang hanya tertuju padanya.

Tak lama, gendang ditabuh pemusik yang lain. Ruangan yang tadinya gelap mendadak benderang. Suasana lalu riuh. Segerombolan penari laki-laki dan perempuan muncul, berderap masuk ke dalam. Semua berpakaian adat. Mereka menarikan Takik, tarian tradisional Filipina dengan iringan nyanyian suka cita.

Keriangan ini merupakan bagian prolog. Menyajikan gambaran tradisional masyarakat desa yang teduh, jauh dari hiruk pikuk modernitas. Para penari tampil dengan bersahaja. Nyanyian khidmat terus dilantunkan. Isinya ucapan terimakasih yang mendalam pada kabunian, sebutan mereka kepada sang pencipta atas anugerah seisi alam yang memberi berkah.

Malang, berkah berupa pepohonan, emas, tembaga, dan air yang semula menghidupi, mulai punah. Musababnya, keberadaan tambang emas yang mengubah banyak hal di sana.

Inilah pesan yang ditampilkan dalam Teater Balitok, gambaran tentang rakusnya perusahaan tambang emas yang merusak lingkungan dan sosial masyarakat di sekitarnya. Adalah Cordillera, komunitas tari dan teater asal pulau Luzon, Filipina yang pada Rabu (2/8) sore itu memukau ratusan penonton di gedung Sultan Selim II, Banda Aceh. Mereka menampilkan teater bertajuk Balitok, yang bermakna ‘Deru Mesin Dari Gunung’.

Balitok mengisahkan era demam emas yang melanda kawasan itu sejak penaklukan Spanyol pada abad 16. Eksploitasi emas terus berlanjut, setelah beberapa masa beralih tangan ke perusahaan multinasional ketika Filipina dijajah Amerika Serikat. Semua ini berlangsung selama berabad-abad.

Dalam keseluruhan plot, teater Balitok mampu secara utuh menampilkan banyak sisi dari kehidupan masyarakat di kawasan tambang Cordillera. Tak luput ditampilkan, mitos yang melegenda tentang Doligan yang mencuri piring emas milik para arwah pelindung gua tempat penduduk beristirahat. Konon, para arwah yang marah lalu mengurung Doligan dalam gua dan mengutuknya menjadi batu. Kutukan ini pula yang kemudian menjadi pelajaran bagi siapa saja yang secara serakah mencuri emas di Cordillera.

Diceritakan pula, sejak dahulu kala menambang telah menjadi pekerjaan penduduk di Cordillera. Bedanya, dulu masyarakat menambang dengan cara tradisional dan hanya mengambil apa yang dibutuhkan. Semua itu berubah sejak perusahaan datang dan mengambil emas secara berlebihan.

Pergolakan yang disajikan Balitok kerap memacu emosi penonton. Di satu adegan bercerita tentang runtuhnya terowongan tambang hingga menimbun para pekerja. Lalu berlanjut pada sisi dilematis antara bahaya tambang dengan keuntungan finansial yang telah mereka peroleh sebagai pekerja perusahaan.

“Bencana sering terjadi di sini. Satu waktu pernah terowongan runtuh, kami terjebak selama enam hari di dalamnya. Kami sangat lapar, lantas kami makan pakaian kami dan minum kencing kami sendiri,” ucap seorang pekerja tambang.

“Jadi bagaimana pula tambang itu berguna untukmu,” tanya warga.

“Aku beruntung, mampu menyekolahkan anak-anak. Beberapa dari mereka malah sudah selesai, kami punya listrik dan tempat tinggal gratis,” jawab penambang tadi.

Lalu ada kalimat lainnya seperti, “Aku tahu sejak awal bertambang itu bahaya, tapi aku ingin cari uang untuk keluargaku.”

Beberapa adegan kocak juga disuguhi. Seperti percakapan ngawur tentang cerita kencan bersama perempuan tua, sembari para pekerja tambang masuk ke dalam terowongan. Namun tak lama, kelakar itu mendadak berubah menyeramkan saat adegan gempa terjadi dan terowongan tambang runtuh.

Tak kalah mendebarkan terlihat saat adegan keributan ditampilkan, antara warga petani dan perusahaan yang dikawal aparat kemanan. Muncul seorang yang bernama Kevin Kiwing, berperan sebagai pengacara perusahaan. Usahanya untuk membujuk warga dengan janji-janji infrastruktur serta sarana penghidupan warga, ditolak tegas oleh warga. Perkelahian pun terjadi. Cerita itu berujung kemenangan warga di pengadilan atas perusahaan tambang tersebut. Meski kebahagiaan itu juga tak mengubah banyak kerugian yang dialami. Timbul penyesalan, seperti yang sempat diungkapkan salah seorang penambang.

“Mengapa aku menjadi penambang? Sementara dulu aku bahagia di sekolah. Ini semua karena teman-teman yang mengajakku. Katanya aku akan dibayar cukup banyak dari pekerjaan ini, aku lalu memilih keluar dari sekolah,” ucapnya.

Foto: PM/Oviyandi Emnur

PENGALAMAN HIDUP

Seniman sekaligus sutradara teater Balitok, Setsu Hanasaki mengatakan rangkaian naskah diperoleh berdasarkan wawancara para aktor dengan penambang rakyat di dataran tinggi Cordillera. Para penambang itu mengambil alih pertambangan emas dari perusahaan-perusaan multinasional setelah perang dunia kedua berakhir.

“Namun mereka tetap saja berhadapan dengan lingkungan yang sudah rusak, juga pencemaran akibat bahan-bahan kimia,” kata Setsu kepada Pikiran Merdeka, sehari sebelum pertunjukan.

Para pemeran Balitok adalah remaja yang sebagian besarnya hidup di lingkungan tambang. Bahkan ada yang keluarganya sendiri bekerja sebagai penambang di Cordillera. Semula tidak mudah untuk mengkreasikan apa yang selama ini mereka alami ke dalam bentuk seni drama. Namun seiring waktu, latihan serta riset yang dilakukan secara mandiri, mereka akhirnya memiliki modal untuk menjiwai peran dalam teater.

“Mereka semua bukanlah seniman profesional. Tapi hebatnya mereka punya potensi, sumber daya, dan mereka permah tinggal di lingkungan pertambangan, mereka punya rasa sensitifitas, tahu bagaimana hidup di wilayah penambangan, itu faktor pendukungnya,” sebut Setsu.

Hal senada diiyakan Amory Damgas, 18 tahun. Pemuda Cordillera ini benar-benar menjiwai perannya sebagai seorang kepala keluarga dalam teater Balitok. Kepada Pikiran Merdeka ia menuturkan, teater Balitok ingin memberi gambaran pada penonton tentang situasi yang timbul akibat pertambangan. Balitok tidak mengarahkan pesan mengenai tindakan yang harus dilakukan dalam merespon eksplotasi alam.

“Bagi kami, penonton terhibur dan mendapat pelajaran berharga tentang kesadaran menjaga alam, itu sudah lebih dari cukup,” ujar Damgas kepada Pikiran Merdeka, beberapa saat usai pertunjukan.

Namun, ada kekhawatiran yang masih mengusik pikirannya. Damgas hidup di lingkungan tambang. Ia menyaksikan langsung bagaimana remaja di sana lebih memilih bekerja menjadi penambang dengan mengabaikan bangku sekolahnya. Belum lagi air sungai setempat yang tercemar bahan kimia hingga mengancam kesehatan warga.

“Di Cordillera, remaja dari usia 13-15 tahun banyak berhenti sekolah, mereka memutuskan untuk menjadi penambang karena tergiur keuntungan, semua kerana uang. Mereka tidak lagi pergi ke sekolah. Mereka mulai mabuk-mabukan dan mengkonsumsi narkoba, tak ada masa depan, ini efek terburuk yang pernah ada,” ucap Damgas.

Ia meyakinkan, apapun yang pernah disampaikan perusahaan tambang mengenai keuntungan bagi rakyat, tidak sepenuhnya benar. “Paling penting kami sadari bahwa pertambangan yang ada selama ini semata untuk kepentingan perusahaan asing, bukan masyarakat Filipina, mereka hanya pekerja yang mencari emas, kemudian diberikan untuk perusahaan,” tegasnya.

Salah seorang penonton, Rahman Hakim mengapresiasi teater Balitok. Pimpinan SDIT Quantum School ini menyempatkan diri untuk menyaksikan teater yang disajikan remaja Filipina itu. Bagi Rahman, Balitok adalah cerminan dari apa yang terjadi di Aceh. Selama hampir dua jam, Balitok menyajikan banyak sisi. Tidak hanya bahaya tambang, namun juga dilema yang melanda ketika warga tak punya pilihan pekerjaan lain selain menambang untuk menghidupi keluarga.

“Saya pernah ke Aceh Jaya, di sana saya melihat langsung bagaimana tambang emas telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat di sana. Beberapa anak lahir dengan organ yang tidak sempurna akibat warga mengkonsumsi air sumur yang telah dicemari merkuri, dan bagi saya, faktor ekonomi lah yang utama, kerusakan lingkungan hanya salah satu eksesnya,” ujar pria yang akrab disapa Ayah Rahman ini.

Nilai tambah dari acara tersebut, sambungnya, penonton juga diajak untuk berani tampil di panggung memerankan ulang adegan tersebut. “Setelah teater, para penonton diminta menyampaikan apa pesan moral yang mereka tangkap dari drama tersebut, ada proses interaktif, dimana beberapa penonton diajak ke panggung untuk me-replay drama. Setelah itu mereka diminta semacam refleksi terhadap adegan yang mereka perankan, menarik sekali,” ucapnya.

Merangkai naskah Balitok, Sutradara Setsu Hanasaki tak sendirian. Dibantu rekannya yang juga seniman asal Jepang Toshihisa Yoshida, mereka bernaung dalam sebuah lembaga swadaya Cordillera Green Network. Lembaga ini berjuang untuk pemulihan lingkungan di daerah tersebut. Dalam kegiatannya, mereka kerap menggunakan pendekatan seni. Selain memberikan pengetahuan tentang tambang ilegal, lembaga tersebut juga melakukan proyek penanaman pohon di pinggiran gunung Cordillera.

“Sebelumnya kami membuat riset, melibatkan orang-orang muda Filipina. Kita berkumpul di sebuah komunitas yang mengajarkan anak-anak muda di Asia untuk lebih sadar lingkungan,” kata Setsu. Balitok sendiri telah lebih dulu dipentaskan di Manila dan beberapa kota lainnya di Filipina. Di semua tempat, mereka menggelar pertunjukan Balitok secara gratis. Teater ini hasil kerjasama dari tiga negara, Jepang, Indonesia, dan Filipina.

Foto: PM/Oviyandi Emnur

REUNI TIKAR PANDAN

Setsu bukan kali pertama datang ke Aceh. Di tahun 2006, bersama Japan Foundation ia menjalankan sejumlah program terkait rekonsiliasi paska konflik dan musibah Tsunami. Selain Banda Aceh, ia juga menyambangi Pidie, Aceh Utara dan Takengon. Setahun setelahnya, Setsu bertemu dan menjalin kerjasama dengan Komunitas Tikar Pandan, lembaga pusat kajian  dan pemberdayaan rakyat yang telah berdiri di Aceh sejak tahun 2002 silam.

“Waktu itu kita juga merangkul pemuda setempat untuk berkreasi dalam bidang yang sama, teater. Mereka semua ikut andil dalam proses rekonsiliasi dengan pendekatan seni,” ia bercerita.

Kerjasama tersebut kembali terjalin di Teater Balitok. Fasilitator Fauzan Santa menyebutkan, isu lingkungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Tikar Pandan. Balitok menjadi semacam percikan dari apa yang ia sebut ‘gerakan kebudayaan’, sebuah semangat yang mereka bangun sejak masa awal Tikar Pandan. Gerakan ini telah melibatkan para seniman, pegiat sosial, mahasiswa, penulis, dan siapapun yang tergerak merespon mandeknya kebudayaan.

“Tikar Pandan sendiri sudah berkiprah di Aceh sejak konflik lalu, kita konsen mengulas isu-isu kemanusiaan dan lingkungan hidup. Semua itu melalui pendekatan-pendekatan kesenian, karena wilayah ini lah yang jarang disentuh,” kata Kepala Sekolah menulis Dokarim, salah satu badan otonom di Tikar Pandan ini.

Dalam rutinitasnya, Tikar Pandan telah dikenal lewat berbagai forum diskusi, pemutaran film, sekolah menulis, termasuk galeri seni rupa dan sejumlah pementasan. Teater juga jadi salah satu media dalam menyuarakan gagasan mereka. “Dengan harapan apa yang kita sampaikan tak sekedar hiburan tapi mengajak berpikir lebih jauh dalam merespon sebuah isu,” tandas Fauzan Santa.[]

Baca Juga: Pementasan Teater “Deru Mesin dari Gunung”

Reporter: Fuadi Mardhatillah

Komentar