PM, BANDA ACEH – Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, secara resmi menyampaikan permintaan maaf kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), terkait kesaksiannya di persidangan uji materil UU Pemilu.
Permintaan maaf Mendagri tersebut teruang dalam surat bernomor 480/4627/SJ dengan kop surat Kemendagri yang ditujukan kepada DPRA.
Surat dengan perihal Klarifikasi Pemberitaan di Media Elektronik yang ditandatangani oleh Plt Sekretasi Jendral Kemendagri Drs Hadi Prabowo MM, juga tetera tembusan kepada Presiden RI, Mendagri, Menkumham, Ketua MK, Ketua Pansus RUU Pemilu, Ketua KPU dan Ketua Bawaslu.
Baca: Cabut 2 Pasal dalam UUPA, Mendagri Sebut Telah Berkonsultasi dengan DPRA
Ketua Badan Legislasi DPRA, Iskandar Usman Selasa (10/10) sore tadi, kepada awak media membenarkan perihal surat tersebut dan membacakan surat tersebut di hadapan awak media.
Isi Adapun surat itu sehubungan dengan maraknya pemberitaan di media tentang pernyataan Tjahjo dalam sidang di Mahkamah Konstitusi pada 25 September lalu.
Sidang itu merupakan lanjutan dari permohonan Judicial Review UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan Pemohon, Kautsar dan Samsul Bahri selaku anggota DPRA diwakili tim kuasa hukumnya Kamaruddin SH.
Pada persidangan lalu, Mendagri menyatakan bahwa sebelum mencabut dua pasal dalam UUPA, pemerintah terlebih dahulu sudah berkonsultasi dengan DPRA.
“Dalam hal pernyataan Mendagri pada sidang di MK tanggal 25 September 2017 sebagai hal yang dianggap keliru, kami menyampaikan permohonan maaf,” demikian pernyataan Mendagri di poin nomor empat dalam surat tersebut.
Dalam surat tersebut, ia juga meminta kepada Pemerintahan Aceh agar bersinergi dengan Pemerintah Pusat dalam menjaga ketenteraman dan stabillitas pemerintahan yang kondusif.
Terkait: Ketua Fraksi PA: Mendagri Jangan Asal Cuap Saja, Mana Buktinya..,
Selain permintaan maaf, isi surat tersebut juga meluruskan sejumlah hal terkait pencabutan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 ini. Dikatakan, pencabutan pasl 57 ayat (1), (2), dan (4) UUPA demi mencegah terjadinya dualisme dalam mekanisme kelembagaan penyelenggaraan Pemilu di Aceh.
“Hal itu sebagai konsekuensi logis pembaharuan hukum berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu secara ‘serentak’, termasuk pada UUPA khusus pengaturan terkait kelembagaan penyelenggaraan Pemilu,” ungkapnya.
Sebelumnya, terbit Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang kemudian menjadi pedoman umum penyelenggaraan Pemilu di Indonesia seceara keseluruhan. Hal itu berdampak pada peraturan yang yang ada sebelum Undang-Undang ini terbit, termasuk UUPA.
“Yakni berdampak pada sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Pemerintahan Aceh dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi,” urai Mendagri yang dalam surat tersebut diwakili Sekretaris Jenderal Hadi Prabowo.
Pihaknya juga meyakinkan bahwa pencabutan pasal-pasal UUPA itu tanpa bermaksud mengurangi kewenangan dan kekhususan Aceh. “Melainkan untuk penguatan kelembagaan yang berdampak pada KIP Aceh dan Panwaslih tingkat provinsi, kabupaten dan kota.”()
Belum ada komentar