PM, Banda Aceh–Rancangan Qanun BP2A yang kemudian diubah menjadi Raqan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dinilai sebagai langkah  set back. Hal ini mengingat BRA sendiri telah dibubarkan pada Januari 2013.

 

Demikian surat warta yang diterima redaksi Pikiran Merdeka dari sejumlah elemen sipil, Jumat (04/09/2015). Kalangan sipil ini mengatakan, semestinya memasuki 10 tahun kedua perdamaian Aceh, Pemerintah Aceh telah berbicara tentang implementasi program pembangunan berkeadilan yang terintegrasi di dalam SKPA dan SKPK, termasuk dengan melibatkan pemerintah pusat.

 

“Terkait dengan pembahasan raqan itu sendiri, sejauh ini kita menilai tidak partisipatif yang diindikasikan tidak melibatkan semua pihak bahkan pembahasan RDPU hanya dilakukan di tingkat provinsi,” tulis surat tersebut yang dikirim melalui email lembaga ACSTF.

 

Sejumlah lembaga yang mengatasnamakan masyarakat sipil tersebut, selain ACSTF, ada KontraS Aceh, MaTA, RPuK, Koalisi NGO HAM, LBH Banda Aceh, dan ICAIOS. Lembaga-lembaga ini menilai pembahasan Raqan BP2A sangat jauh dari upaya menguatkan damai yang sedang berlangsung di Aceh.

 

“Dengan membuat organisasi yang sangat gemuk, seperti yang ditawarkan, mengindikasikan tidak berkontribusi positif untuk pemenuhan keadilan, baik terhadap penyelesaian masa lalu maupun agenda pembangunan ke depan,” katanya.

 

Dalam hal ini, lembaga masyarakat sipil tersebut menawarkan dua pilihan. Pertama, Pemerintah Aceh mendorong implementasi Qanun KKR, karena qanun ini dapat mengungkapkan kebenaran atas masa lalu dan pemenuhan keadilan bagi korban dan mantan kombatan secara bermartabat, sekaligus merekonsiliasikan seluruh komponen masyarakat dan pemerintah.

 

Kedua, memastikan keberlangsungan perdamaian di Aceh, cukup dengan membentuk unit khusus penguatan damai Aceh, yang berfungsi: koordinasi, pengawasan, dan evaluasi.

 

[PM004]

Komentar