Megumi Sugimoto dari Kyusu University Jepang (kanan) beberapa saat sebelum mengisi materi diskusi di AJI Banda Aceh, Kamis (27/12). (Ist)

PM, Banda Aceh – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh menggelar diskusi terkait membangun gerakan literasi kebencanaan, di aula kantor AJI Banda Aceh, Kamis (27/12). Diskusi itu menghadirkan dua narasumber, yaitu Ahmad Arif jurnalis spesialis bencana Harian Kompas, dan Megumi Sugimoto dari Kyusu University Jepang.

Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan bagi masyarakat tentang betapa pentingnya pendidikan kebencanaan agar mengurangi resiko terhadap bencana. Ahmad Arif menyebutkan, tingkat literasi di Indonesia masih sangat buruk ketimbang negara lain.

“Literasi bukan hanya membaca, tapi memahaminya bagaimana pendidikan kebencanaan. Lantaran rendah, makanya hoaks sangat cepat menyebar di Indonesia,” ujarnya.

Berdasarkan hasil catatannya, para ahli geologi dan arkelogi telah menemukan jejak tsunami di Aceh. Ini membuktikan tsunami telah beberapa kali menerjang provinsi ujung barat Indonesia itu. Namun karena pengaruh literasi yang terputus menimbulkan ketidaktahuan masyarakat Indonesia ketika gempa besar disusul gelombang tsunami.

Arif mencontohkan, seperti  kampung runtuh di Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah. Tsunami yang menerjang pesisir Palu pada 28 September 2018 lalu ternyata jauh sebelumnya tsunami juga pernah terjadi di sana.

Cerita tentang tsunami masa lalu itupun ditulis Arif 2012 lalu. Orang Palu menyebut Bombatalu untuk tsunami dan nalodo untuk likuefaksi. Tapi pengalaman itu tidak mampu menyelamatkan masyarakat disaat tsunami menerjang pesisir Sulteng September 2018 lalu.

“Padahal di Palu masih banyak saksi hidup yang pernah merasakan tsunami masa lalu, namun pengtahuan ini yang tidak dirawat oleh warga di sana,” sebut Arif.

Namun demikian, kata Arif, cerita ini berbanding terbalik dengan masyarakat Kepulauan Simeulue, Aceh. Mereka di sana masih menjaga erat kearifan lokal literasi kebencanaan.

“Pengetahuan lokal masih dijaga diwariskan secara turun temurun. Misalnya di disebut Smong untuk tsunami.  Ini yang membuat masyarakat di sana bisa selamat walaupun rumahnya hancur,” imbuhnya.

Ahmad Arif tak menampik literasi di Indonesia sangat buruk. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh World’s Most Literate Nations tahun 2006. Indonesia peringkat ke 60 dari 61 negara yang diteliti.

“Sehingga kita kurang tau mana hoax dan benar. Sehingga ketidaktahuan dan memahami ini menjadi masalah,” jelasnya.

Ahmad Arif menyebutkan, lemahnya literasi di Indonesia membuat banyak orang tidak mengetahui Indonesia rawan terhadap gempa dan tsunami. Terutama di Aceh, bahwa sebelumnya pernah terjadi tsunami.

Sementara itu, menurut Megumi Sugimoto kelemahan di Indonesia adalah kurangnya media dalam hal menyampaikan pengetahuan tentang gempa dan tsunami. Di negaranya, banyak channel yang memberikan informasi tentang hal-hal berkaitan dengan tsunami.

“Kalau di Jepang banyak channel untuk menginformasikan tsunami seperti televisi, radio, dan telepon,” kata Megumi.

Kasus tsunami Palu misalnya, Megumi melihat tidak ada tanda-tanda peringatan sebelum tsunami itu menerjang pesisir. Padahal setelah tahun 2004 Indonesia bekerjasama dengan Jerman untuk mengadakan sistem peringatan tsunami. Namun di banyak kasus sistem ini kemudian dirusak dan dicuri sehingga tidak berfungsi ketika terjadi gempa.

“Parahnya lagi sistem yang ada di Indonesia hanya fokus pada tsunami akibat gempa. Di Jepang juga ada kasus yang sama tetapi tidak cukup hanya sistem peringatan tsunami yang dijadikan isu ketika terjadi bencana, tapi juga berapa cepat tsunami itu datang,” tuturnya.

Selain itu, Megumi juga menceritakan pengalaman kejadian di Tohoku tahun 2011,  kawasan yang diprediksi tsunami kecil nyatanya lebih luas dari itu. Padahal di sana sudah dibangun talud untuk menghalau ombak. Prediksi sainstik juga tidak terlalu benar, bahkan escape buildingpun terkena dampak tsunami dan tidak aman.

“Ini di luar prediksi sainstik, sebanyak 26 orang menjadi korban di escape building. Dalam kasus itu bahkan peneliti belum bisa prediksi berapa kekuatan gempa yang terjadi. Infrastruktur yang dibangun untuk kebencaan tidak cukup, tetapi harus dibangun kesadaran masyarakat salah satunya melalui Tugu tsunami,” ungkapnya.

“Tugu pertanda pernah terjadi tsunami di suatu daerah itu penting untuk mengingatkan generasi ke depan. Sehingga bila kembali terjadi tsunami bisa mengurangi jatuh korban,” tambahnya. [Rel]

Komentar