Telah dipublikasikan di Tabloid Pikiran Merdeka Terbitan Cetak Edisi I (10-17 Agustus 2015).
Nisan Aceh, batu penanda makam para pembesar dan ulama di zaman gemilang. Dihiasi pahatan indah berseni tinggi, beraksara Arab atau Jawi. Tersebar di seluruh Aceh, Nusantara, Malaysia, dan negeri lain.
Bagi sebagian peminat sejarah, seni, dan budaya di Aceh akrab dengan nama Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh). Mapesa merupakan sebuah organisasi yang unik dan mengagumkan, muncul untuk membangkitkan semangat dan kesadaran semua pihak dari berbagai kelas sosial.
Kumpulan aktivis pejuang penyelamatan benda bersejarah ini punya sebuah grup di jejaring sosial facebok.com yang bernama Sahabat Mapesa. Kini Sahabat Mapesa memiliki anggota hampir mencapai 40.000 orang.
Di Aceh, Sahabat Mapesa merupakan grup facebook.com yang paling aktif dan memiliki anggota terbanyak. Di dalam grup ini, anggotanya bisa menyampaikan hal apa saja yang berkenaan dengan sejarah.
Di dunia nyata, Mapesa dikenal sebagai pejuang data sejarah Aceh yang terdapat di nisan-nisan tua melalui kegiatan meuseuraya-nya. Foto-foto kegiatan yang dilaksanakan pada setiap hari Minggu ini disiarkan di grup Sahabat Mapesa serta ke berbagai media lainnya. Selain itu, Mapesa sering menanggapi kegiatan pemerintah di dalam bidang penyelamatan benda bersejarah dan menyarankan kebijakan yang lebih baik.
Meuseuraya (gotong-royong -red) yang pertama kali dilakukan oleh Mapesa berlangsung pada tahun 2012. Ada sekitar 20 orang yang rutin ikut meuseuraya ini secara suka rela. Mereka terpanggil oleh kegemilangan masa silam. Secara berkelanjutan, kegiatan yang dikhususkan pada hari Minggu itu berlangsung sampai masuk tahun 2014.
Pada waktu itu, meuseuraya telah dilaksanakan sekitar dua puluh kali. Karena beberapa kendala, kegiatan tersebut dihentikan sementara. Meuseuraya pada periode pertama ini hanya sebatas membersihkan semak belukar yang menutupi batu nisan bertulis aksara Arab atau Jawi di komplek makam bersejarah.
Pada akhir 2014 meuseuraya dimulai kembali. Kali ini bukan sekedar membersihkan semak belukar yang menyelimuti batu, namun meuseuraya mulai dilakukan secara lebih terarah. Setelah semak belukar dibersihkan, maka nisan itu terlihat dengan jelas. Lalu para aktivis kebudayaan pun menggali batu yang rebah dan menanamnya kembali. Kemudian, nisan-nisan yang terpahat kaligrafi beraksara Jawi atau Arab itu disiram dengan air dan disikat sampai bersih.
Maka di depan mata, terpampanglah hasil karya seni yang maha indah, berisi data sejarah Aceh, dipahat dengan hati-hati sehingga menghasilkan prasasti bernilai seni tinggi. Namun hanya satu orang yang ahli membaca tulisan indah di batu itu. Dialah Taqiyuddin Muhammad, seorang filsuf lulusan Universitas Al Azhar, Kairo. Selain Taqiyuddin, ada arkeolog Deddy Satria yang mengarahkan Mapesa.
Pada bulan Februari 2015, Mapesa menambah kegiatan. Komunitas ini mulai mengadakan acara “Diskusi Akhir Pekan Mapesa” pada setiap hari Sabtu. Kegiatan yang diisi oleh tokoh budaya ini difasilitasi tempat oleh BPNB (Banda Pelestarian Nilai Budaya) Aceh. Makanan dan minuman ringan untuk hadirin pernah diberikan oleh Disbudpar (Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata) Kota Banda Aceh.
Mengapa Mapesa Lahir?
Terbengkalainya situs sejarah di Aceh telah memunculkan sekumpulan anak muda yang prihatin dan berteriak lantang. Mereka adalah Zulfakri, Muhajir Ibnu Marzuki, Muhammad Zikri, Deki Kartika, dan kawan-kawan lainnya yang saat itu tercatat sebagai mahasiswa tehnik sipil Unsyiah (Universitas Syiah Kuala).
Keprihatinan tersebut mereka diskusikan di kantin fakultasnya. Pada tahun 2009, salah seorang penggerak komunitas itu, Muhajir Ibnu Marzuki, membuat sebuah grup di jejaring sosial facebook.com bernama GPPSA (Generasi Penerus dan Peduli Sejarah Aceh).
Pada tahun 2011 di dalam rapat di Balai Museum Rumoh Aceh, grup facebook.com GPPSA diganti nama menjadi Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh).
Nama itu ditawarkan oleh Laila Abdul Jalil yang kala itu merupakan staf Museum Aceh. Laila diundang melalui grup facebook.com. Mujiburrizal, yang kini menjadi Duta Museum Aceh pun turut hadir. Pada 2012, Mapesa didaftarkan di notaris sebagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Saat diwawancarai di Kantin SMEA, Lampineung, pada Selasa 4 Agustus 2014, Ketua Mapesa periode 2013-2015, Muhajir Ibnu Marzuki, mengatakan, banyak artefak yang mendesak diselamatkan. Makam-makam ulama terkena abrasi, benteng-benteng kerajaan Aceh yang masih tinggal terabaikan.
“Mesjid-mesjid tua ada yang tidak terurus. Bahkan istana kesultanan pun hilang tanpa jejak. Semua pihak mestilah merawat, melestarikan budaya dan bukti sejarah Aceh. Untuk mewujudkan cita-cita besar inilah, Mapesa didirikan,” kata Muhajir.
“Mewujudkan kembali peradaban dan kemuliaan Aceh adalah semangat dan ruh Mapesa. Kita membangun kesadaran masyarakat terhadap sejarah Aceh,” kata Muhajir.
Program ke Depan:
Ke depan, Mapesa akan mengadakan seminar secara rutin, minimal empat kali dalam setahun.
“Semoga nisan yang sudah dibersihkan dan didata akan dijadikan bahan penelitian. Batu nisan Aceh menjadi objek penting bagi peneliti luar negeri. Selama ini, peneliti terkendala dengan kondisi nisan yang berada di hutan hutan belantara dan rebah tertanam,” kata Muhajir yang kini merupakan sekjen Ormas Al Kahar.
Mapesa melihat ada beberapa peneliti, baik dari dalam maupun dari luar negeri, mendapatkan gelar akademik yang tinggi karena meneliti nisan Aceh.
Seorang pemuda, turunan panglima di Kampung Turki, Bitai, Banda Aceh, yang bergabung dengan Mapesa sejak 2012, Mizuar Mahdi, menceritakan bagaimana awalnya ia tertarik dengan nisan Aceh.
“Jiwa saya terpanggil untuk menyelamatkan nisan-nisan itu. Saya mengharapkan semua situs penting yang telah dikaji ini agar segera didaftarkan sebagai situs budaya supaya bisa disaksikan oleh generasi selanjutnya,” kata Mizuar Mahdi yang merupakan sekretaris Mapesa dalam periode pimpinan Muhajir.
Nisan Aceh merupakan harta penting yang ditinggakan oleh indatu. Tinggalan tersebut berisi pesan kepada anak cucu di masa sekarang dan ke depan. Nisan Aceh adalah pustaka sejarah, tempat bercermin kita pada karya pendahulu.
“Selain penanda makam, nisan-nisan ini memuat informasi penting seperti penanggalan peristiwa, nama tokoh, dan apa yang terjadi di suatu masa. Kita akan membantu peneliti yang ingin mengetahui tentang nisan-nisan ini lebih jauh. Mapesa telah membentuk tim pemandu jalan (guide -ing) bagi mereka,” kata Mizuar Mahdi yang dikenal sebagai Duta Nisan Aceh.
Belum ada komentar