Ketika Tukang Traktor Nyaleg

Ketika Tukang Traktor Nyaleg
Ketika Tukang Traktor Nyaleg

Banda Aceh—Lelaki itu berjalan pelan di pematang sawah. Mengenakan seragam kerja lengkap dengan topi dan sepatu boots, ia menuju traktor tangan yang terparkir di bawah pohon kayu. Dengan sigap, mesin traktor ia hidupkan.

Tak menunggu lama, traktor tangan ia bawa ke tengah satu petak sawah. Panasnya sengatan mentari tak menyurutkan semangatnya untuk membajak sawah siang itu. Ia membajaknya secara perlahan-lahan. Sesekali ia menambah kecepatan traktor dan lain kali ia kurangi kecepatannya. Lumpur mulai mengotori hampir seluruh pakaiannya.

Berselang beberapa saat kemudian, sepetak sawah selesai ia bajak. Peluh membasahi wajah lelaki tersebut. Usai istirahat sejenak di bawah rindangnya pohon, ia melanjutkan aktivitasnya. Menjelang sore, ia baru pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar 2 kilometer.

Lelaki itu adalah Tgk Bahraini, warga Desa Cot Lamme, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Ia sudah menggeluti profesi sebagai operator traktor sejak setahun lalu. Sebelumnya ia berprofesi sebagai teknisi servis handphone maupun komputer di Pasar Lam Ateuk, Aceh Besar.

“Saya berhenti dari servis handphone dan komputer karena tidak sanggup bayar sewa toko,” kata Bahraini saat ditemui wartawan di tempatnya membajak sawah, akhir pekan lalu.

Profesi baru itu digeluti Bahraini dengan penuh semangat. Saban hari, ia mampu membajak beberapa petak sawah milik warga kampungnya. Untuk membajak sawah, Bahraini memasang tarif sebesar Rp 1,2 juta per hektare. Tahun ini, ia hanya dapat jatah membajak sawah sebanyak 7 hektare.

“Setelah selesai bajak sawah, pemiliknya kadang ada yang kasih uang setengah dan ada juga yang kasih uang nanti setelah panen,” jelas lelaki kelahiran 35 tahun silam itu.

Bahraini membeli traktor bekas itu setahun lalu dari seorang warga yang menjualnya seharga Rp 11 juta. Ia harus giat bekerja sebagai operator traktor untuk membalikkan modal pembelian mobil bajak sawah tersebut. Karena saat itu, ia membeli traktor dengan modal 5 mayam emas yang disimpannya untuk keperluan lain. Jika pelanggannya banyak, dalam setahun Bahraini sudah bisa membalikkan modal.

Selain operator traktor, Bahraini juga mengisi waktu luangnya dengan berkebun dan mengajar ngaji anak-anak. Di kebunnya yang terletak tak jauh dari persawahan, ia tanami aneka macam sayuran dan berbagai tanaman lain. Sayuran yang sudah siap panen itu kemudian ia jual ke salah satu pasar di kawasan Aceh Besar dengan menggunakan becak motor miliknya. Bahraini tidak menjual sendiri sayuran itu di pasaran, melainkan ia titipkan pada pedagang yang saban pagi menjual di sana.

Selain itu, suami Husna (31) ini juga mengisi waktu luang dengan mengajar ngaji anak-anak di beberapa pesantren dan yayasan di kawasan Aceh Besar. Maklum, lelaki yang hanya menamatkan bangku sekolah hingga SMP ini pernah menimba ilmu di Pesantren Ruhul Fata Seulimum, Aceh Besar selama 9 tahun. Sehingga ia diberikan ijazah setingkat Madrasah Aliyah yang dikeluarkan Departemen Agama.

“Saya mengaji di sana hingga tamat. Ijazah yang diberikan untuk saya itu setingkat MAN,” ungkap ayah dua anak ini.

Meski uang hasil kerja kerasnya sebagai operator traktor hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari, Bahraini nekat maju sebagai Calon Legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DRPK) yang diusung Partai Nasional Aceh (PNA). Bukan tanpa alasan Bahraini terjun ke dunia politik, ia ingin menyuarakan suara-suara petani dan rakyat kecil yang selama ini tidak pernah didengar. Hal itulah yang membuatnya mencoba menjadi caleg walaupun keterbatasan dana.

“Saya tidak punya modal sedikitpun untuk nyaleg,” jelas Bahraini.

Strategi kampanye yang digunakan Bahraini tergolong unik dan berbeda dari caleg-caleg lain. Ia membuat sendiri alat peraga kampanye untuk dipasang di daerah pemilihannya. Mulai dari mengelem poster yang ia cetak di salah satu tempat percetakan, hingga kemudian memasang di sejumlah tempat ia kerjakan sendiri. Bahraini tidak banyak menggunakan tim sukses dalam berkampanye. Hal itu karena ia tidak sanggup menggaji tim sukses yang bekerja untuk dirinya.

Saat mentari pagi mulai tersenyum, Bahraini berangkat dari rumah dengan menggunakan becak motor ke sejumlah tempat. Di dalam becak itu, terdapat alat peraga kampanye miliknya. Bahraini kemudian memasang satu persatu alat-alat peraga kampanye miliknya seperti poster di tempat-tempat yang dianggapnya banyak dilalui warga.

Usai memasang poster di pagi hari, Bahraini melanjutkan aktivitasnya sebagai seorang petani dan operator hand traktor. Setelah pakaiannya ia ganti dengan pakaian ‘dinas’ bertani, Bahraini kemudian terjun kembali ke sawah bersama petani-petani lainnya. Ia kadang bertani hingga siang hari dan kadang pula hingga sore.

Saat mentari sudah mulai tenggelam, Bahraini buru-buru pulang ke rumah untuk mengambil becak. Setelah menghidupkan becak mesin, ia berkeliling ke kawasan yang disinggahinya pagi hari saat memasang poster kampanye miliknya. Bahraini kemudian mencabut satu persatu alat peraga kampanye yang telah dipasangnya pada pagi hari. Begitulah saban hari ia lakukan.

“Ini saya lakukan karena saya tidak punya uang untuk kampanye. Kalau saya cabut malam, poster saya tidak banyak yang hilang sehingga tidak banyak membutuhkan biaya lagi,” ungkap Bahraini.

Maklum beberapa bulan menjelang pemilu, banyak alat peraga kampanye yang dipasang caleg di sejumlah tempat di Aceh hilang dan dirusak pada malam hari. Caleg yang menjadi korban penghilangan dan perusakan alat peraga kampanye ini hanya bisa pasrah dengan ulah segelintir orang yang belum diketahui identitasnya tersebut. Hal itu juga menjadi pertimbangan Bahraini untuk mencabut poster dirinya saat sore hari.

“Kalau hilang dan harus cetak poster lagi, saya tidak punya uang,” ujar Bahraini.

Walaupun sudah menjadi caleg, Bahraini tidak terlalu menyibukkan diri dengan berkampanye ke kampung-kampung. Ia masih memilih bertani dan berkebun bersama petani lainnya. “Mata pencarian saya sekarang hanya bertani dan caleg itu bukan sebuah pekerjaan,” ungkapnya.

Menurut Bahraini, istri sangat mendukung dirinya maju ke dunia politik meski berlatar belakang petani. Selain sang istri, sejumlah warga yang berprofesi petani juga mendukung Bahraini untuk memajukan petani kecil.

Mentari siang beranjak naik. Bahraini mengakhiri pekerjaannya usai azan Asar berkumandang di masjid. Setelah memarkirkan kembali traktor, ia bergegas pulang ke rumah. “Saya berkeinginan untuk memajukan petani dan rakyat kecil,” tutupnya.(dtc)

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait