Kasus Saiful Mahdi, Cermin Retak Kebebasan Akademik

Kasus Saiful Mahdi, Cermin Retak Kebebasan Akademik
Saiful Mahdi, saat didampingi kuasa hukum dan perwakilan elemen sipil di Polresta Banda Aceh, 2019 lalu. (Ist)

PM, Banda Aceh – Polemik terkait aduan Dekan Fakutas Teknik Universitas Syiah Kuala terhadap DR Saiful Mahdi kini jadi perbincangan hangat. Dosen MIPA Unsiversitas Syiah Kuala ini tengah menyandang status tersangka atas kasus pencemaran nama baik dengan jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Senin lalu (2/9), Saiful menjalani pemeriksaan perdananya sebagai tersangka, di Polresta Banda Aceh. Ia semula dilaporkan oleh Dekan Fakuktas Teknik Unsyiah, Taufik Saidi akibat cuitannya di grup WhatsApp ‘Unsyiah Kita’, Maret 2019. Saiful saat itu mengkritik keras rekrutmen CPNS di Fakultas Teknis Unsyiah yang dinilainya bermasalah. Protes itu ditujukan kepada segenap jajaran pimpinan Fakultas Teknik.

Buntutnya, Saiful Mahdi dipanggil oleh Komisi F Senat Unsyiah untuk dimintai klarifikasi perihal postingan tersebut. Pemanggilan didasarkan pada laporan Dekan Fakultas Teknik kepada Senat Unsyiah.

Pada 6 Mei 2019, Saiful Mahdi menerima surat dari Rektor Unsyiah yang memintanya agar menyampaikan Permohonan maaf secara tertulis kepada Pimpinan fakultas tersebut. Saiful  Mahdi pun membalas surat tersebut.  Ia keberatan lantaran tak pernah mendapat penjelasan terkait apa kesalahan yang diperbuatnya.

Sejak itulah kasus ini berlanjut ke kepolisian. Awal Juli lalu, Saiful Mahdi akhirnya memenuhi panggilan pertama nya di Polresta Banda Aceh. Ia masih diperiksa sebagai saksi, kala itu. Dekan Fakultas Teknik Unsyiah melaporkan Saiful dalam perkara dugaan tindak pidana Pencemaran Nama Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dua kali diperiksa sebagai saksi, kepolisian lantas menetapkan status Saiful menjadi tersangka pada30 Agustus lalu. Pemeriksaannya sebagai tersangka baru dimulai pada Senin (2/9) lalu.

Syahrul, kuasa hukum Saiful dari LBH Banda Aceh mengatakan, kasus ini dalam waktu dekat bakal dilimpahkan ke kejaksaan. Karena itu, untuk kepentingan proses hukum pihaknya mengajukan permohonan informasi publik kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Unsyiah.

Adapun informasi yang dimohonkan adalah sebagai berikut: Statuta Universitas Syiah Kuala, Kode Etik Civitas Akademika Universitas Syiah Kuala, Pedoman Kebebasan Akademik, Mimbar Akademik, dan Otonomi Keilmuan Unsyiah, Pedoman Sidang Etik Unsyiah, Salinan Surat Ketua Senat No. T/302/UN11.1/TP.02.02/2019 tanggal 22 April 2019 tentang Pelanggaran Etika Akademik, dan terakhir, salinan risalah Rapat Komisi F Senat Unsyiah tentang klarifikasi dari Saiful Mahdi.

“Kita juga meminta Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk melakukan investigasi dan evaluasi terhadap mekanisme penyelesaian kasus ini, sesuai dengan tembusan surat Dr. Saiful Mahdi tanggal 15 Mei 2019 tentang keberatan atas Teguran Pelanggaran Etika Akademik oleh Rektor Unsyiah,” ujar Syahrul, Kamis (5/9/2019).

Di sisi lain, Rektor Unsyiah Prof Samsul Rizal mengaku tetap mengacu pada putusan senat dalam menyikapi masalah ini. Ia mengatakan, Senat telah memutuskan bahwa tudingan Saiful adalah pelanggaran etik. Karena itu Saiful harus meminta maaf, sesuai putusan Senat. Bahkan menurutnya, komentar Saiful Mahdi bukanlah hasil analisa akademik.

“Itu bukan hasil analisis akademik, tapi tuduhan, beda antara kebebasan akademik dengan fitnah dan hoaks,” ujar Samsul kepada awak media, Senin lalu.

Merespon sikap tersebut, LBH Banda Aceh mempertegas bahwa sebelum dilaporkan ke polisi, Saiful Mahdi tidak pernah disidangkan oleh Majelis Etik Unsyiah.

“Saiful tidak pernah diberitahukan tentang norma etik yang dilanggar akibat perbuatannya. Artinya, ia harus minta maaf atas kesalahan apa? Permintaan maaf yang dimaksud itupun jauh dari nuansa kekeluargaan, karena Dr. Saiful Mahdi dipaksa untuk minta maaf dan disertai dengan ancaman hukuman apabila tidak melakukannya.

Syahrul mengatakan, pemaksaan itu merupakan upaya penundukan dengan menggunakan kekuasaan. “Kampus merupakan pusat ilmu pengetahuan, seharusnya kritik dan pendapat itu diuji untuk menemukan kebenaran, bukan dihukum,” kata dia. Namun, Syahrul mengatakan masih membuka ruang mediasi untuk menyelesaikan persoalan ini. Dengan syarat, keduanya bisa saling memaafkan, bukan hanya sepihak saja.

Kritik Tak Layak Dikriminalisasi

Pelaporan pidana pencemaran nama baik yang mendera Saiful dianggap telah mengancam iklim kebebasan akademik di kampus. Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia (K2AI) dalam keterangan persnya, Kamis (5/9) mengatakan Saiful Mahdi harus mendapat perlindungan hukum. Hal itu sehubungan dengan upayanya dalam mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab.

Herlambang P Wiratraman, Ketua Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang mewakili K2KI menjelaskan, kritik merupakan bagian kebebasan ekspresi yang tak terpisahkan dengan prinsip kebebasan akademik. Karenanya, melaporkan Saiful Mahdi menggunakan UU ITE atas dasar kritik di Whatsapp grup, adalah sesuatu langkah hukum yang berlebihan.

“Pelaporan itu justru tidak akan pernah menciptakan iklim kebebasan akademik lebih baik,” ujar Herlambang.

Jika dilihat ke belakang, banyak kasus serupa yang memunculkan landmark decision, atau putusan istimewa yang menjadi rujukan pengetahuan dan berkontribusi dalam pengembangan hukum. Seperti kasus yang menimpa Prita Mulyasari (2010) dan Joko Hariono (2016).

“Kritik melalui media sosial grup, banyak yang telah dibebaskan peradilan karena hakikat media sosial grup tak penuhi unsur mencemarkan di ruang publik,” kata dia.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, UsmanHamid. Menurutnya, jerat UU ITE yang dialami Saiful adalah contoh konkrit dimana kampus melakukan kejahatandan pelanggaran HAM lewat otoritas yang seharusnya dipergunakan untuk melindungi kebebasan berekspresi.

“Kepolisian seharusnya jeli dalam memilah kasus-kasus yang mereka tangani, dimana seharusnya kasus seperti ini bisa diselesaikan secara internal kampus melalui mekanisme internal yang tersedia di lingkungan akademik,” ujar Usman.

Amnesty International mendesak kepolisian menghentikan kasus tersebut dengan menerbitkan SP3. Menurutnya, kritikan bukanlah bentuk pencemaran nama baik dan bukan juga bentuk pidana selama disampaikan dengan damai dan tanpa kekerasan.

“Universitas Syiah Kuala harus merehabilitasi nama baik Saiful Mahdi karena telah membiarkan dosen tersebut menjalani proses hukum yang tidak seharusnya dia jalani,” tegas Usman.

Ia menandaskan, “Otoritas kampus harus menerbitkan aturan internalyang bisa menjaminsuara-suara kritis dan kebebasan berekspresi agar tidak dibungkam di masa yang akan datang. Ini penting agar Universitas Syiah Kuala bisa menjadi rumah akademik yang mampu menumbuh kembangkan daya  kritis mahasiswa dan dosen.”

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Jembatan Harapan Masyarakat Ruyueng
Kepala BPM Aceh Zulkifli HS bersama Koordinator Wilayah Regional Management Consultan (RMC) 1 Jakarta Ismail A Zainuri, Direktur Kelembagaan dan Pelatihan Masyarakat Ditjen PMD Kemendag RI Drs Kun Wildan MBA (alm) dan Koordinator Provinsi RMC 1 Rusli Muhammad Ali, meninjau jembatan gelagar besi yang dibangun dengan dana PNMP dan BKPG. (Foto |Jalaluddin Ibrahim)

Jembatan Harapan Masyarakat Ruyueng