[quote]Oleh Hermawan Sulistyo[/quote]
APA sesungguhnya yang menyatukan berbagai golongan dan komunitas untuk membentuk sebuah negara-bangsa (nation-state)? Pertanyaan ini telah mengusik kalangan intelektual selama berabad-abad tanpa jawaban yang memadai. Pada masa depan pun tetap tidak akan ada jawaban yang memuaskan.
Berbagai teori telah diajukan. Yang paling banyak dianut sekarang adalah pandangan Benedict Anderson, yang diringkas sebagai imagined community. Pandangan ini meyakini, negara-bangsa “hanya” suatu komunitas besar yang “dibayangkan” sebagai sebuah keluarga. Jadi, orang Aceh, Jawa, Papua, dan sebagainya, seharusnya merasa sebagai bagian dari keluarga besar bernama Indonesia.
Persoalannya, bagaimana jika sebagian warga Papua, atau Aceh, atau lainnya, tidak lagi merasa menjadi anggota keluarga yang sama? Persoalan ini menyentuh isu yang jauh lebih serius dan mendalam dari sekadar sumber daya alam (SDA) setempat yang dikuras pusat, atau pembagian rezeki yang dirasa kurang adil.
Perasaan kebangsaan adalah rasa menjadi anggota dari keluarga yang sama. Rasa itu dibangun dari keyakinan akan pengalaman kesejarahan yang sama. Padahal, sejarah bukan sekadar pengalaman masa lampau, melainkan juga keyakinan akan mengalami pengalaman yang sama pada masa depan. Masa depan suatu saat juga akan menjadi masa lampau.
Selain soliditas sebagai “komunitas imajiner”, suatu nation-state juga dipengaruhi oleh lingkungan strategisnya (lingstra). Perjanjian Westphalia 1648 telah mencanangkan, negara modern harus berbasis teritorial. Padahal, kini banyak persoalan kepentingan “pragmatis” bangsa yang berkaitan dengan lingstranya.
Kasus negara-negara Schengen (Eropa Barat), misalnya, praktis telah meluruhkan batas-batas fisik negara anggotanya. Tanpa tanda-tanda perbatasan negara dan tanpa penjaga perbatasan atau imigrasi, komunitas di Prancis selatan sulit dibedakan dari Belgia utara karena sama-sama bule dan sama-sama berbahasa Prancis. Demikian pula dengan negara-negara Schengen lainnya.
Kini, kecenderungan penyatuan kawasan sudah hampir menjadi sesuatu yang given, atau diterima apa adanya sebagai keniscayaan sejarah. Namun, belum ada studi yang menjelaskan apakah kecenderungan itu seiring dengan derajat kesejahteraan warganya. Pertanyaan ini pantas diajukan mengingat negeri-negeri yang mengalami kontraksi atau “pengerutan” pada umumnya masih “berkembang” (eufemisme dari status negeri miskin).
Di bawah konteks seperti itu, lalu di manakah Indonesia sekarang berada? Di satu sisi, Indonesia mengikuti arus kecenderungan global akan integrasi kawasan. Indonesia bukan sekadar anggota ASEAN, melainkan inisiator utama pendiriannya. Kawasan Asia Tenggara telah menjadi extended family bangsa Indonesia, sebagaimana sesungguhnya telah dijalani selama berabad-abad sebelumnya, saat batas-batas negara modern belum dikenal.
Namun sebaliknya, sejak era reformasi 1998, negara Indonesia juga mengalami kontraksi. Sekitar 200 daerah otonom akibat “pemekaran” dibentuk atas basis-basis komunitas subetnik. Yang berlangsung memang tidak separah proses Balkanisasi pasca-Uni Soviet, tapi tetap saja tumbuh etno-nasionalisme yang menggerogoti rasa kebangsaan.
Indonesia tampak gamang berada di persimpangan jalan. Belum tegas memilih antara integrasi kawasan yang didorong oleh proses globalisasi (maraknya internet, arus modal yang tidak kenal batas negara, dan sebagainya) dengan kontraksi yang meluruhkan negara-bangsa. Indonesia memang masih belum selesai. Ia masih dalam proses “menjadi”.[suara karya]
*Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) – Jakarta
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Salam Silaturrahami kami sampaikan kepada segenap masyarakat Jakarta sehubungan banyaknya Pegadang gelap di BLOK M squer terutama di lantai 3 A pedagang koputer hati hati banyak penjual yang memberikan barang dagangan palsu dan banyak penipuan termasuk didalamnya kalau ada layanan hadiah itu semua tidak benar. Oleh karena itu kami menghimbau kepada segenap para konsumen untuk tidak belanja dan beli produk di Blok Squer lantai 3 A, barang barang berupa komputer dan lain lainya karena ada produk forsa yang sengaja di palsukan baik programnya maupun harganya,. Demikian himbauan kami sampaikan terima kasi jakarta 29 september 20121
Tertanda
Muhaimin Iskandar
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
telpon
02192829997