Oleh: Akbar Rafsanjani*
Kamis lalu, dalam perjalanan di Chicago, Amerika Serikat, saya mengikuti teman untuk singgah di sebuah toko game yang legendaris di kawasan Mount Prospect, Games Plus.
Games Plus adalah toko fisik “FLGS” (friendly local game store) yang telah beroperasi sejak tahun 1982, yang artinya telah lebih dari 40 tahun. Seperti banyak toko game di Amerika Serikat, Games Plus bukan hanya tempat jual-beli hiburan, tetapi menyerupai museum budaya permainan taktis.
Di dalamnya tersusun rak-rak berisi miniatur logam dan resin. Karakter fantasi, pasukan futuristik, tank mini, dan ksatria bersenjata lengkap terpajang gagah dalam bungkusan plastik.
Ada juga majalah-majalah game klasik seperti Wargamer’s Digest, lembaran-lembaran peta medan tempur, kartu taktis, hingga buku peraturan dengan sistem perhitungan yang nyaris matematis. Ruangannya penuh dengan sejarah kecil dari perang imajinatif dan strategi kompleks yang dimainkan selama berjam-jam di atas meja.
Saya terpaku pada bagian yang menampilkan buku-buku wargame, yang secara teknis menjelaskan logika peperangan seperti pergerakan tank dalam koordinat buatan, serangan udara berdasarkan probabilitas, blokade laut, distribusi logistik, bahkan model pengambilan keputusan komandan lapangan.
Peta-peta artifisial itu dirancang bukan untuk meniru geografi nyata, melainkan untuk menciptakan medan uji coba dari skenario hipotetik. Sebuah laboratorium perang tempat taktik dan strategi diuji oleh para pemain, bukan tentara sungguhan.
Di luar tampilan mainan dan ilustrasi perang, saya mulai melihat toko ini sebagai ruang eksperimen sosial mikro, tempat imajinasi militer dan teori kekuasaan dipraktekkan melalui permainan.
Saat itulah muncul sebuah gagasan bahwa game bukan hanya representasi atau hiburan, tetapi berpotensi menjadi alat eksperimen ilmiah dalam ilmu sosial.
Sama seperti para neuroscientist menggunakan tikus untuk menguji teori tentang kesadaran melalui stimulasi otak dan reaksi tubuh, kita mungkin bisa menggunakan game untuk menguji teori sosial tentang demokrasi, ketimpangan, otoritarianisme, resistansi, dan lain-lain.
Game menciptakan dunia tertutup yang dikendalikan oleh aturan (seperti laboratorium) tetapi di dalamnya hidup agen (player) yang memiliki kehendak, preferensi, dan kapasitas adaptif.
Dalam pemahaman ini game adalah tikus sosial virtual, tempat di mana teori tidak hanya dijelaskan, tetapi dihidupkan, dimainkan, dan diuji.
Dalam tradisi ilmu alam, eksperimen adalah metode utama untuk membuktikan atau menggugurkan hipotesis. Biologi molekuler memiliki tikus percobaan, fisika memiliki akselerator partikel, dan kimia memiliki ruang isolasi laboratorium. Namun bagaimana dengan ilmu sosial?
Ilmu sosial terutama teori politik, ekonomi, dan sosiologi, kerap dikritik karena tidak memiliki metode eksperimen yang cukup ketat. Realitas sosial terlalu kompleks dan terlalu bergantung pada konteks historis untuk diuji seperti eksperimen laboratorium.
Akan tetapi, sejak berkembangnya komputer dan teknologi simulasi, muncul pendekatan baru, agent-based modeling dan game-based simulation sebagai alat bantu ilmiah.
Dalam pendekatan ini, game (baik berbentuk video game, wargame, maupun role-playing game) dapat diposisikan sebagai arena eksperimen sosial, di mana teori-teori besar tentang kekuasaan, masyarakat, atau ideologi dapat diuji, diamati, dan dimodifikasi secara terkontrol.
Game dalam hal ini berfungsi layaknya tikus percobaan. Tetapi bukan untuk biologi, melainkan untuk teori sosial.
Joshua M. Epstein, seorang pionir dalam bidang agent-based computational modeling, memperkenalkan paradigma penting yang disebut generative social science.
Tujuan pendekatan ini bukan hanya memverifikasi model dengan data, tetapi menghasilkan fenomena sosial dari bawah, dari aksi agen-agen individual dalam sistem tertentu.
Menurut Epstein, penjelasan ilmiah dalam ilmu sosial tidak lengkap jika kita hanya menyebut korelasi atau sebab-akibat statis.
Sebaliknya, kita perlu menunjukkan bagaimana fenomena sosial tertentu dapat dihasilkan dari seperangkat aturan dasar dan interaksi antar agen. Ini yang ia sebut dengan pendekatan generative.
“To the extent that you can grow the phenomenon you seek to explain, you have in fact explained it.”
(Epstein, 2007)
Misalnya, alih-alih hanya menyatakan bahwa segregasi rasial muncul karena preferensi minoritas, Epstein membangun model (inspirasi dari Thomas Schelling) di mana agen individu memilih tinggal di lingkungan yang mayoritas tetangganya punya kesamaan ras. Hasilnya, meskipun setiap agen bersifat toleran, model tetap menghasilkan segregasi total.
Game seperti model komputer Epstein, memungkinkan kita menciptakan dunia miniatur di mana struktur sosial, hukum, dan kekuasaan bisa diatur dan dimodifikasi.
Pemain atau agen bertindak sesuai dengan insentif, batasan, dan persepsi yang diberikan. Ini membuat game menjadi alat yang bukan hanya representasional, tapi juga eksperimental.
Democracy 3 (Positech Games)
Untuk memahami potensi game sebagai eksperimen sosial, mari kita lihat secara teknis bagaimana Democracy 3 memodelkan dunia sosial dan politik.
Game ini bekerja berdasarkan graph-based causal simulation. Setiap keputusan kebijakan memiliki efek sebab-akibat terhadap sejumlah variabel sosial, ekonomi, dan politik yang saling terhubung secara sistematis.

Setiap elemen dalam game seperti unemployment, GDP, crime, education, health, pollution, religious membership, hingga voter happiness direpresentasikan sebagai node dalam jaringan dinamis.
Node ini terhubung lewat panah kausal. Misalnya, income tax → menurunkan middle class happiness, tapi menaikkan government revenue.
Beberapa node adalah input langsung dari kebijakan pemain, sementara yang lain adalah hasil dari interaksi antara variabel lain. Hubungan antar-node berbasis fungsi non-linear sigmoid. Artinya efek dari suatu kebijakan bisa bersifat kecil pada awalnya, lalu tiba-tiba naik drastis, atau sebaliknya, mengalami plateau.
Ini persis seperti model dinamis dalam agent-based modeling yang dijelaskan Epstein bahwa dinamika kompleks muncul dari aturan sederhana dan hubungan antar agen.
Pemain tidak berinteraksi dengan masyarakat secara homogen, melainkan dengan segmen pemilih yang memiliki preferensi ideologis tertentu, sosialis, liberal, kapitalis, patriot, relijius, environmentalis, motorist, dan serikat.
Setiap warga negara bisa tergolong dalam beberapa kategori sekaligus misalnya, religious environmentalist socialist. Preferensi mereka terhadap suatu kebijakan bergantung pada ideologi dan kepentingan ekonomi, yang mencerminkan realitas masyarakat pluralistik.
Efek dari kebijakan dinilai berdasarkan seberapa jauh suatu tindakan memuaskan atau mengecewakan segmen pemilih tertentu. Pemain harus menjaga legitimasi elektoral, sambil berusaha mempertahankan keseimbangan fiskal dan stabilitas sosial.
Democracy 3 tidak hanya menghitung opini pemilih, tetapi juga potensi kudeta militer jika ketidakpuasan terlalu tinggi dan anggaran pertahanan kecil, ancaman terorisme jika kebijakan tidak memperhatikan kelompok minoritas atau menindas kebebasan sipil, dan tekanan lobi juga donor kampanye dari industri atau kelompok kepentingan tertentu.
Sistem ini membentuk struktur tekanan multidimensi yang terus berubah sesuai dengan tindakan pemain. Layaknya medan gaya sosial-politik yang dijelaskan Epstein dalam model interaktif antar agen.
Namun, meski kompleks game ini tetap memiliki batas representasi, seperti tidak ada ras, gender, atau klasifikasi kolonial sebagai faktor politik eksplisit.
Ketimpangan struktural ditampilkan hanya dalam bentuk angka (poverty level, wealth inequality) tanpa dinamika kelas sosial yang dialektis.
Partai politik dan institusi parlemen tidak memiliki karakteristik ideologis riil, yang artinya pemain bukan mewakili sayap kiri atau kanan secara eksplisit, melainkan menjadi teknokrat netral dengan kontrol penuh.
Perlu dicatat bahwa dalam game, pemain tidak bersifat pasif seperti tikus laboratorium. Mereka memiliki intensi, strategi, bahkan keinginan untuk melawan sistem. Inilah yang membedakan simulasi sosial dalam game dengan eksperimen biologi.
Justru karena pemain sadar dan aktif, game bisa menjadi ruang dialektis antara struktur (rules) dan agensi (player improvisation). Dalam istilah Epstein, “the agents are not passive rule-followers, but complex actors with memory, goals, and adaptive capacity”.
Karena itu, game tidak hanya mensimulasikan masyarakat, tetapi memungkinkan kita memodifikasi, mengganggu, dan merancang ulang struktur sosial, mirip dengan eksperimen pikiran (thought experiments) dalam filsafat.
Dengan pendekatan generatif dan simulatif ini, game dapat membantu mengatasi masalah utama dalam ilmu sosial. Masalah keterbatasan observasi, seperti banyak fenomena sosial (misalnya revolusi, ketimpangan jangka panjang) yang sulit diamati secara langsung.
Masalah uji hipotesis, teori sosiologis atau politis bisa diuji melalui replikasi eksperimental dalam simulasi game. Masalah prediksi dan kompleksitas, melalui iterasi dan simulasi berulang, game bisa menghasilkan wawasan prediktif atas sistem kompleks.
Epstein menyebut ini sebagai computational thought experiments, cara baru memahami dinamika sosial yang sulit diuji dalam dunia nyata karena alasan etis, waktu, atau skala.
Dengan demikian, game sebagai bentuk generative modeling memberi kita peluang untuk menumbuhkan teori sosial, bukan sekadar membahasnya secara naratif atau deskriptif.
Melalui game, kita dapat mengobservasi bagaimana sistem sosial berkembang, konflik muncul, dan kekuasaan bekerja dalam format eksperimental yang dapat diulang dan dimodifikasi.
Analogi awal dengan tikus laboratorium memang bukan sekadar metafora. Jika dalam ilmu saraf, tikus memungkinkan kita memahami otak manusia, maka dalam ilmu sosial, game adalah tikus percobaan bagi teori masyarakat.
Dan seperti tikus dalam eksperimen Pavlov atau Skinner, respon-respon dalam dunia simulasi ini membuka ruang bagi pengetahuan yang tak dapat dijangkau oleh teori semata.
Barangkali, seminar filsafat politik tidak hanya dilaksanakan di ruang kelas, tapi juga di layar komputer, di mana teori diuji bukan hanya lewat argumen, tapi lewat permainan yang dimainkan secara kritis.
Dengan begitu, filsafat belum mati, dan game yang menyelamatkannya. []
*Akbar Rafsanjani punya minat pada teknologi dan melihatnya dari perspektif kelas pekerja. Sekarang ia bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat.
Belum ada komentar