Jakarta – Sekretaris Kabinet Pramono Anung menekankan mengenai pentingnya kritik dan saran bagi pemerintah. Meski begitu, buzzer kerap menyerang para pengkritik pemerintah, termasuk salah satunya pers.
Dewan Pers turut berkomentar mengenai fenomena tersebut. Buzzer dinilai dapat membahayakan kebebasan pers.
“Kehadiran dari para pendengung (buzzer) itu menjadi membahayakan bagi kebebasan pers,” ujar Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Arif Zulkifli, kepada detikcom, Selasa (9/2/2021).
Pada praktiknya, kata Arif, buzzer tidak mengkritik berita yang disiarkan oleh pers. Namun, buzzer kerap melancarkan serangan kepada pers itu sendiri. “Salah satu syarat kritik yang sehat adalah pengkritik itu tidak boleh anonim jadi harus jelas Siapa yang mengkritik,” ucap Arif.
“Kalau tidak clear siapa para pendengung ini, ini akun-akun anonim begitu maka tidak bisa dipertanggungjawabkan,” tuturnya.
Dalam beberapa kasus, buzzer juga menyerang jurnalis yang membuat berita. Hal tersebut, kata Arif, dimaksud untuk menurunkan kredibilitas dari media, bukan mendebat konten yang disajikan media.
“Mereka tidak melakukan itu (debat terkait konten pers) tetapi berusaha mencederai kredibilitas dari si wartawan. Saya mengatakan ini sebagai upaya killing the messenger, jadi pembawa pesannya yang berusaha dipersoalkan,” imbuh Arif.
Dalam beberapa kasus, kehadiran buzzer ini dinilai menguntungkan pemerintah. Namun Arif menuturkan tidak pernah ada bukti bahwa pemerintah menggerakkan buzzer.
“Tidak pernah ada bukti bahwa para buzzer itu digerakkan oleh pemerintah itu problemnya selalu itu jadi bersembunyi dibalik anonimitas, bersembunyi di balik kebebasan di dalam media sosial,” imbuh Arif.
“Jadi saran saya adalah menurut saya di satu pihak pemerintah mendengarkan kritik dari pers di lain pihak pemerintah memang mestinya membantu pers supaya bisa hidup dalam lingkungan yang tidak represif dalam hal ini dari serangan-serangan yang anda katakan tadi, doxing tadi. Realnya bagaimana ya kalau ada laporan soal doxing ya diproses pelakunya harus ditemukan,” jelas Arif.
Anggota Dewan Pers Asep Setiawan sependapat dengan Arif. Kehadiran buzzer dianggap mengganggu kebebasan pers. “Buzzer mengganggu kemerdekaan pers karena fungsi pers kontrol sosial,” jelas Asep.
Sikap Asep memilih tegas terhadap buzzer. Ia meminta buzzer ditiadakan.
“Sebaiknya buzzer ini ditiadakan saja karena pemerintah sudah ada pejabat humas yang menjawab jika kritik pers perlu direspons, atau dari para pemangku jabatan publik langsung,” lanjutnya.
Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menekankan mengenai pentingnya kritik dan saran bagi pemerintah. Menurut Pramono, kritik yang keras dan terbuka akan membuat pembangunan lebih terarah.
Sebagai negara demokrasi, kata dia lagi, kebebasan pers merupakan tiang utama untuk menjaga demokrasi tetap berlangsung. Bagi pemerintah, kebebasan pers adalah sesuatu yang wajib dijaga dan bagi pemerintah kebebasan pers, kritik, saran, masukan itu seperti jamu, menguatkan pemerintah.
“Dan kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar,” kata Pramono saat menyampaikan ucapan selamat Hari Pers Nasional 2021 seperti ditayangkan akun YouTube Sekretariat Kabinet, Selasa (9/2/2021).
Sumber: DETIK
Belum ada komentar