Bioskop Langit Gayo: Kisah Kehangatan di Tengah Dinginnya Jagong Jeget

WhatsApp Image 2025 07 07 at 13.18.18 e666b5d9
Warga menyaksikan film dokumenter yang diputar dalam program Gampong Film, di Desa Gegarang, Kecamatan Jagong Jeget, Aceh Tengah. [Ist]

Oleh: Putra Hidayatullah

Perjalanan ke Aceh Tengah cukup menghibur mata. Setelah meninggalkan Lhokseumawe, mobil yang kami kendarai menuju Jalan Salak, Minggu (29/6/2025).

Semula di kiri-kanan tampak pohon sawit dan kebun-kebun yang luas, kemudian pemandangan menjadi semakin indah ketika kami mulai mengalami tanjakan. Mulai terlihat gunung-gunung hijau menjulang.

Ketika mobil berhenti sebentar untuk tim beristirahat dan membuang air kecil, hawa sejuk terasa, terlebih ketika mencuci muka. Dingin mengalir di wajah.

Tanpa terasa Bener Meriah terlewati. Di tiap sisi berderet pohon-pohon kopi yang hijau pekat dan rindang. Udara terasa seperti keluar dari AC.

Memasuki wilayah Jagong Jeget, Aceh Tengah, mikrofon dihidupkan dan dari mobil layar tancap terdengar suara ajakan kepada warga.

“Ama, Ine, jangan lupa nanti malam kita sama-sama menonton layar tancap. Gratis. Ada hadiah menarik. Jangan lupa.” 

Mobil berhenti di depan kantor desa dengan halaman yang begitu luas. Desa Gegarang terletak jauh di atas kota Takengon. Tempat ini merupakan wilayah transmigrasi. Mereka sudah berada di sana sejak tahun 1980an.

Konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Republik Indonesia ikut berdampak terhadap wilayah tersebut. Ada juga warga dari suku Jawa harus meninggalkan kampung mereka.

Konflik melebar hingga ke ranah rasial. Korban jatuh dari kedua belah pihak. Pasca perjanjian damai tahun 2005 mereka kembali dan melanjutkan hidup sebagai petani di kampung Gegarang.

Mereka hidup berdampingan dengan orang-orang Gayo. Mereka bisa saling berkomunikasi dengan berbicara baik bahasa Gayo maupun bahasa Jawa juga bahasa indonesia.

Baca juga: Misbar Tak Selalu Bubar: Jejak Gampong Film Hadapi Badai di Lhokseumawe

Kami disambut hangat oleh pemuda dan para programmer lokal yang telah dilatih sebelumnya. Mereka terlihat kompak dan murah senyum.

Mereka mengajak semua menuju rumah Reje atau kepala desa yang telah menunggu di rumah yang terletak hanya sepelemparan batu dari kantor desa.

Kami bersalaman dan berbasa-basi sebelum kemudian menelpon aparat Babinsa, menanyakan apakah perlu izin keramaian. Lantaran melibatkan banyak warga dari beberapa desa maka Reje disarankan mengurus surat izin.

Sementara itu kami dipersilakan Pak Reje memasang layar. Di depan kantor desa bergelas-gelas kopi telah dihidangkan.

Tim Gampong Film dibantu para pemuda desa mengeluarkan potongan-potongan dan lipatan besi untuk dirakit menjadi kerangka layar.

Kali ini kami semakin terbiasa sehingga memakan waktu yang tidak lama seperti sebelumnya. Tidak ada keringat yang keluar sebab udara dingin semakin terasa.

Para pemuda menemani sampai semua peralatan selesai dipasang. Mulai dari layar, mixer dan sound, sampai bendera berwarna warni bertuliskan Aceh Film Festival.

Baca juga: Layar Dakwah di Ulee Alue: Film Sebagai Cahaya di Kaki Gunung

Usai magrib udara semakin dingin.

Ketika jam sudah menunjukkan pukul 20.30 orang-orang memenuhi lapangan. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, semua dari ragam usia.

Tidak hanya di halaman yang luas itu, orang-orang juga berdiri seperti berbaris di pinggir jalan yang lebih tinggi dari halaman di mana layar berada.

Mereka tampak seperti bayangan dalam gelap malam. Hanya api rokok yang bermunculan.

Bang Prak yang menjadi MC menyapa dengan bahasa lokal yang telah ia hafal sebelumnya. Penonton terlihat tertawa penuh semangat. Film pertama berjudul Sendal Bupati muncul di layar dan disambut dengan gelak tawa.

Usai film pertama, ada diskusi bertajuk korupsi yang juga seturut dengan tema film. Diskusi dipandu oleh seorang guru yang juga penulis kelahiran Takengon yaitu Nanda Winar Sagita.

Diskusi berlanjut dengan sesi tanya jawab dan kuis berhadiah yang memantik semangat penonton terutama anak-anak.

WhatsApp Image 2025 07 07 at 13.18.16 72517d0a
Warga menyaksikan film dokumenter yang diputar dalam program Gampong Film, di Desa Gegarang, Kecamatan Jagong Jeget, Aceh Tengah. [Ist]

Menjelang tengah waktu masih ada dua film lain yang akan diputar. Keduanya menceritakan tentang kehidupan petani di Gayo. Udara semakin dingin. Satu persatu penonton bangkit meninggalkan acara.

Bisa jadi karena udara yang dingin. Tidak pernah sebelumnya ada cara di luar rumah sampai jelang tengah malam.

Kemungkinan lain karena film selanjutnya yang tentang kopi itu memang sudah tentang kehidupan keseharian mereka sehingga tak lagi menimbulkan rasa penasaran.

Apa yang menjadi catatan penting dari pemutaran di Jagong Jeget adalah keakraban yang terbangun dengan warga. Ada rasa persaudaraan yang muncul menihilkan perbedaan ras, suku, dan lainnya.

Tim Gampong Film bermalam di rumah warga dan melanjutkan percakapan-percakapan yang hangat dengan pemilik rumah.

Jelang siang ada pula warga di kampung yang berbeda mengundang kami untuk menyantap makan siang yang telah disiapkan sebelum Tim Gampong Film tiba.

“Kita diperlakukan seperti saudara”.

Hasil kebun dihidangkan. Kopi yang nikmat, teh yang harum, buah markisah, dan hidangan lainnya mendarat di depan mata. Perut sudah terasa begitu penuh.

Perjalanan selanjutnya lumayan jauh, dari Aceh Tengah menuju Pidie, titik pemutaran layar tancap selanjutnya. Tim Gampong Film berfoto bersama, berpamitan, dan berangkat meninggalkan negeri di atas awan. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

442 Calon Pendamping Desa di Agara Ikuti Ujian Seleksi
Foto di salah satu ruangan SMA N 1 Kutacane saat peserta mengikuti ujian tertulis seleksi calon pendamping. |Pikiran Merdeka/Riki Hamdani

442 Calon Pendamping Desa di Agara Ikuti Ujian Seleksi