PM, Banda Aceh – Pusat Studi Ilmu Pemerintahan (PSIP) bekerjasama dengan Lembaga Konsultasi dan Kajian Hukum (LKBH) di Universitas Syiah Kuala menggelar Dialog Akademia terkait pro dan kontra pelaksanaan Pergub Nomor 5 Tahun 2018 mengenai hukum jinayat. Dialog tersebut diadakan di Ruang Balai Senat Rektorat lantai II, Kamis (3/5).

Mengambil tema “Pro-Kontra Pelaksanaan Hukuman Cambuk di Lapas/Rutan: Suatu Upaya Mencari Solusi dan Mengakhiri Polemik”, acara ini berhasil mempertemukan pihak pemerintah, DPRA, cendikiawan, akademisi, hingga berbagai perwakilan dari organisasi Islam serta kalangan mahasiswa.

Wakil Rektor III Unsyiah, Dr Ir Alfiansyah Yulianur mengatakan, dialog ini penting untuk membuka ruang pendapat dari berbagai kalangan di masyarakat, khususnya mahasiswa mengenai Pergub No.5 Tahun 2018 yang didalamnya menjelaskan pemindahan lokasi eksekusi cambuk ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Pergub ini diketahui telah menuai kontroversi dalam satu bulan terakhir.

“Beberapa waktu lalu, mahasiswa dari kami juga ada yang berdemo menolak Pergub ini. Maka, penting melakukan dialog sebagai satu-satunya cara untuk melihat secara jernih suatu persoalan yang terjadi hari ini,” kata Alfiansyah dalam sambutannya.

Ia juga berharap, segala pendapat yang disampaikan dalam dialog ini bisa menjadi referensi bagi para pemangku kebijakan. Karena selama ini ia menyadari, minim sekali diskusi untuk membahas Pergub tersebut. Sehingga pro dan kontra terus bermunculan.

Guru besar UIN Ar-Raniry, Prof Rusydi Ali Muhammad dalam kesempatan tersebut memaparkan beberapa hal yang menjadi alasan munculnya pro dan kontra terkait Pergub cambuk ini. Bagi pihak yang mendukung Pergub, di antaranya kata dia, karena melihat banyaknya pelanggaran yang terjadi saat eksekusi cambuk dilakukan di tempat umum. Selain disaksikan anak-anak, eksekusi cambuk begitu mudah direkam dan disebarluaskan, sehingga dampak psikologis juga mendera keluarga dari pelaku jinayat.

“Penonton merekam, mempublikasikannya secara luas, sehingga anak-anak dan keluarga pelanggar itu juga menyaksikannya dan harus menanggung sanksi sosial selama bertahun-tahun, meski hukuman itu sendiri sudah usai,” ujar Rusydi.

Selain itu, maraknya peredaran video cambuk juga memperparah gejala Islamophobia di luar negeri, sehingga berpengaruh pada kenyamanan muslim lainnya di negara-negara seperti Eropa dan Amerika.

Sementara alasan bagi kalangan yang menolak Pergub tersebut, Rusydi melanjutkan, karena dengan eksekusi cambuk di Lapas, membuat masyarakat tak mengetahui uqubat itu terlaksana atau tidak. Karena terbatasnya akses bagi mereka.

“Kemudian, bagi yang menolak juga beralasan cambuk di Lapas yang dianggap sebagai tempat tertutup, tak akan lagi menimbulkan efek jera,” lanjut Rusydi.

Sementara, wakil dari DPRA, Tgk Musannif yang ikut menjadi pembicara dialog ini mengatakan bahwa pihaknya telah sepakat untuk mengajukan uji materi terhadap Pergub No.5 Tahun 2018 ke Mahkamah Agung. Hal itu telah diputuskan dalam rapat paripurna DPRA beberapa waktu lalu.

“Kita telah bahas itu dengan menampung masukan dari sejumlah pakar hukum di Badan Musyawarah DPRA,” jelas Musannif.

Dirinya juga menyanggah kegiatan rapat pembahasan Pergub yang pernah dipublikasikan Gubernur pada Februari lalu. Ia mengaku, rapat Forkopimda saat itu tidak membahas Pergub secara khusus.

“Hanya membahas sejumlah hal, seperti munculnya aturan di Aceh Besar tentang wajib jilbab bagi pramugari, munculnya LGBT, dan terakhir baru membahas maraknya keputusan cambuk bagi pelanggar syariat,” terang dia.

Sedangkan draf Pergub itu, aku Musannif, sama sekali tak pernah dibagikan dalam rapat tersebut. Karena inilah, ia menilai banyak hal yang janggal dalam proses pengesahannya.

Menanggapi hal itu, Kabid Bina Hukum dan Hak Asasi Manusia Dinas Syariat Islam, Syukri M Yusuf menyampaikan bahwa pembahasan Pergub telah dilakukan sejak satu tahun terakhir.

Pergub No.5 Tahun 2018 yang disahkan kemarin, jelas Syukri, merupakan turunan dari dua Qanun, yakni Qanun No.7 Tahun 2013 dan Qanun No.6 Tahun 2014.

“Dalam beberapa pasal telah diamanatkan untuk menerbitkan Pergub yang memuat teknis dari pelaksanaan Qanun tersebut,” kata Syukri.

Setelah melangsungkan beberapa pertemuan, tahap finalisasi pembahasan Pergub ini sendiri telah dilaksanakan pada tanggal 18 Januari lalu. Tahapan ini sendiri penting ia klarifikasi, untuk menjawab tudingan segelintir pihak bahwa pengesahan Pergub cambuk terkait dengan munculnya sejumlah kasus pelanggaran syariat belakangan ini.

“Ada yang menyebutkan karena kasus prostitusi online kemarin, maka sengaja muncul Pergub, ini sangat keliru, pembahasan Pergub sudah dilakukan sejak lama,” kata Syukri.

Prof Yusni Sabi: Semangat Uqubat Cambuk adalah Pertaubatan

Meneruskan penjelasan Rusydi, Prof Yusni Sabi yang juga guru besar UIN Ar-Raniry menyampaikan, polemik Pergub cambuk yang disahkan beberapa waktu lalu kini telah digiring sedemikian rupa.

“Semakin dibuat ngeri, entah untuk konsumsi siapa, siapa yang disasar kita tidak tahu,” kata Yusni mengawali penyampaiannya.

Yusni mengingatkan, masyarakat Aceh telah memperjuangkan syariat dengan peperangan sejak akhir 1950-an. Kendati belum berhasil, pada tahun 2005 Aceh berhasil menelurkan Pergub yang mengatur tentang hukuman cambuk.

“Ingatlah, kita ingin bersyariat ini supaya hidup kita damai, aman, tenteram. Tapi hingga capaian yang kita peroleh hari ini, kita malah terus meributkan tiap butir aturannya, ini kan aneh,” sesal Yusni.

“Kita tidak tahu, apakah para pelaksana aturan ini yang tak ikhlas, atau karena ini dijadikan produk politik, maka hanya simbolisme semata,” timpalnya.

Soal pro dan kontra yang bermunculan, Yusni memberi pandangannya. Menurut dia, dengan mempertontonkan cambuk, selama ini masyarakat terjebak dalam perilaku ‘mempestakan’ kegagalan Syariat.

“Harusnya, syariat itu berhasil ketika semakin minim orang yang dihukum. Artinya semua sudah hidup bersyariat, tak ada lagi yang mabuk, berjudi dan sebagainya,” ujarnya.

Kegagalan cara pandang ini pula, sebut Yusni, yang serta merta membuat Aceh dikenal dunia karena praktik hukuman cambuk saja.

“Aceh bukan dikenal karena taraf pendidikan, kesejahteraan, dan pencegahan korupsi, padahal Syariat seharusnya menyasar pada pembenahan masalah-masalah semacam ini,” tambahnya.

Terakhir dirinya menyampaikan, dalam Islam, tujuan dari cambuk adalah pertaubatan untuk menghapus dosa terdakwa, sehingga ia bisa kembali menjadi bagian dari masyarakat. Namun, dengan merekam video eksekusi tersebut dan menyebarluaskannya, terdakwa sulit memulihkan nama baiknya.

Dalam dialog ini, sebagian besar pembicara sepakat perlu adanya komunikasi yang baik antara eksekutif dan legislatif dalam menyikapi beragam persoalan di Aceh. Hal ini untuk membantu mencegah reaksi negatif yang muncul di tengah masyarakat.

“Ini menjadi acuan bagi masyarakat dalam merespon berbagai masalah di Aceh. Masyarakat perlu diedukasi dengan baik, khususnya pada masalah Pergub cambuk ini,” kata wakil ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Aceh, Prof Hasbi Amiruddin.

Komentar