Dugaan penyelewengan uang negara dalam proyek pembangunan Dermaga Sabang berlangsung hampir satu dekade. Dari 2004 hingga 2011, proyek tersebut menyumbang kerugian negara Rp313,34 miliar.

Pembangunan Dermaga Bongkar di Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Sabang dimulai pada 2004. Kala itu, Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) mendapat anggaran untuk pembangunan dermaga itu yang bersumber dari APBN.

Terkait: Giliran Dua Korporasi Jadi Tersangka Korupsi Dermaga Sabang

Untuk pelaksanaan pengadaan barang/jasa pembangunan konstruksi Dermaga Bongkar Sabang itu perlu dilakukan pelelangan. Namun, sebelum proses tender dilakukan, Kepala BPKS yang saat itu dijabat Zubir Sahim membuat kesepakatan dengan Heru Sulaksono selaku Kepala PT Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan Aceh.

Zubir dan Heru sepakat agar pembangunan Dermaga Sabang dilaksanakan oleh PT Nindya Karya. Untuk memuluskan proses realisasi hasil kesepakatan tersebut, perusahaan BUMN itu menggaet sebuah perusahaan lokal untuk bekerjasama. Pilihannya jatuh pada PT Tuah Sejati, sebuah perusahaan lokal di Banda Aceh.

Belakangan terjalin kerja sama operasional dalam bentuk Joint Operation (JO) antara PT Nindya Karya Cabang Sumut-Aceh dengan PT Tuah Sejati, sehingga lahirlah perusahan rekanan bernama Nindya Sejati JO.

Pada 2006, Kepala BPKS telah beralih ke tangan Syaiful Achmad. Dalam melaksanakan pekerjaan pembangunan Dermaga Sabang di tahun tersebut, Nindya Sejati JO mengalihkan pekerjaan utama atau mensubkontrakan kepada CV Saa Inti Karya Teknik dengan pembayaran Rp3,37 miliar untuk pekerjaan pile cap, balok, plat, plat injak dan pasangan batu di bawah plat injak dan pekerjaan tambahan seperti pekerjaan persiapan dan pekerjaan trestle (pekerjaan pemancangan).

Berikutnya dibayarkan kepada PT Wika Beton Rp1,223 miliar dan untuk operasional Nindya Sejati JO sebesar Rp748,81 juta, sehingga terjadi selisih pembayaran dari BPKS kepada Nindya Sejati JO sebesar Rp3,06 miliar. Kelebihan pembayaran itu mekerugikan keuangan negara Rp2,9 miliar.

Dalam melaksanakan proyek tersebut, pada 2007 Nindya Sejati JO mensubkontrakan dua pekerjaan kepada PT Budi Perkasa Alam (BPA) dengan nilai kontrak yang diperoleh PT BPA Rp3,916 miliar. Di tahun yang sama, Nindya Sejati JO juga memberikan empat pekerjaan kepada PT Swarna Baja Pacific (SBP) dengan bayaran Rp9,565 miliar. Akibat tindakan pihak Nindya Sejati JO itu, negara dirugikan Rp9,44 miliar.

Untuk pekerjaan pembangunan Dermaga Sabang Tahun Anggaran 2008, Nindya Sejati JO mensubkontrakkan kepada PT BPA dengan nilai subkontrak digelembungkan sebesar Rp783 juta sehingga menguntungkan sejumlah pihak yang berakibat merugikan keuangan negara Rp45 miliar.

Pada 2009, Nindya Sejati JO kembali mensubkontrakkan pekerjaan utamanya kepada PT BPA dan mensubkontrakkan pekerjaan pengadaan tiang pancang pipa baja dan pekerjaan blasting coating kepada PT Swarna Baja Pacific. Hal itu mengakibatkan kerugian negara Rp71,55 miliar.

Pembangunan Dermaga Sabang kembali dilanjutkan pada 2010. Lagi-lagi Nindya Sejati JO mensubkontraktorkan pekerjaan utamanya kepada PT BPA yang mengakibatkan kerugian negara Rp68,33 miliar.

Terakhir, dalam proyek pembangunan Dermaga Sabang tahun 2011, Nindya Sejati JO mensubkontrakkan lagi kepada PT BPA dan PT Mitra Mandala Jaya. Tindakan itu merugikan keuangan negara sebesar Rp116 miliar. Untuk pekerjaan tahun 2011, kasus ini telah mengantarkan mantan Bupati Bener Meriah Ruslan Abdul Gani ke bilik penjara dalam kapasitasnya sebagai Kepala BPKS kala itu.

ALIRAN DANA

Indikasi korupsi pada proyek pembangunan Dermaga Sabang diduga melibatkan banyak pihak dan dilakukan berjamaah sejak 2004. Dalam berkas dawaan terhadap Heru Sulaksono dan Ramadhany Ismy di Pengadilan Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu, terungkap bahwa total kerugian negara dalam proyek tersebut mencapai Rp313,34 miliar. Dana sebesar itu mengalir ke sejumlah orang dan perusahaan rekanan.

Selain kepada Ramadhany Ismy dan Heru Sulaksono, dana itu mengalir ke Teuku Syaiful Achmad, Sabir Said, M Taufik Reza, Zubir Sahim, Nasruddin Daud, Ruslan Abdul Gani, Ananta Sofwan, Zulkarnaen Nyak Abbar, Zaldy Noor, Pratomo Santosanengtyas, Pandu Lokiswara Salam, Askaris Chioe, Kamaruzaman, Suffi dan Lili Sudiono.

Sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, Ramadhany Ismy ditengarai meraup Rp3,2 miliar. Sementara Heru Sulaksono selaku Kuasa Nindya Sejati JO mendapatkan Rp34 miliar.

Pegawai PT Nindya Karya Cabang Sumut-Aceh yang ditunjuk sebagai Kepala Proyek Pembangunan Dermaga Sabang, Sabir Said mendapatkan aliran dana Rp12,72 miliar. Pegawai administrasi keuangan pada Nindya Sejati JO, Bayu Ardhianto mendapatkan Rp4,39 miliar dan Saiful Ma’ali menerima Rp1,22 miliar;

Berikutnya mengalir kepada Kepala BPKS yang merangkap kuasa pengguna anggaran 2006-2010, Teuku Syaiful Achmad Rp7,49 miliar. Dana tersebut dinikmati Direktur PT Tuah Sejati, Taufik Reza Rp1,35 miliar dan perwakilan PT Tuah Sejati, Zainuddin Hamid Rp7,53 miliar. Ruslan Abdul Gani yang menjabat Kepala BPKS pada 2011 juga menerima Rp100 juta dan tenaga lepas BPKS, Ananta Sofwan menerima Rp977,72 juta.

Sebelumnya, dana tersebut juga dinikmati pimpinan proyek tahun 2004, Zulkarnaen Nyak Abbas yang kebagian Rp100 juta.
Untuk korporasi, pihak yang diuntungkan dalam indikasi korupsi proyek tersebut adalah PT Nindya Karya Rp44,68 miliar, PT Tuah Sejati meraup Rp49,9 miliar, PT Budi Perkasa Alam kebagian Rp14,3 miliar, PT Swarna Baja Pacific mendapatkan Rp1,75 miliar dan pihak-pihak lainnya Rp129,54 miliar.

Sehingga, total kerugian negara pada proyek pembangunan Dermaga Sabang mencapai Rp313,34 miliar. Angka itu diperoleh dari selisih penerimaan riil dan biaya riil 2006-2011 Rp287,27 miliar, kekuarangan volume terpasang 2006-2011 Rp15,91 miliar, serta penggelembungan harga satuan dan volume pada kontrak subkontraktor Rp10,16 miliar.

[Kronologis ini termaktum dalam berkas dakwaan terhadap Heru Sulaksono dan Ramadhany Ismy di Pengadilan Tipikor Jakarta, beberapa waktu lalu]

Komentar