21 April merupakan hari yang disepakati sebagai hari Kartini. Nama Kartini, yang digunakan untuk memperingati hari ini adalah nama seseorang yang dianggap sebagai tokoh emansipasi wanita Indonesia. Tidak hanya itu, apresiasi terhadap wanita yang memiliki nama lengkap Raden Ajeng Kartini ini juga diwujudkan melalui diciptakannya sebuah lagu kebangsaan yang diberi judul dengan namanya, Ibu Kita Kartini. Namun pernahkah muncul di benak kita semua, siapa sih Kartini itu? Apa sih hebatnya dia sehingga tanggal lahirnya diperingati setiap tahun?
Oleh: Zoehelmy Husein
Dulu sekitar dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof Dr Harsya W Bachtiar pernah menggugat penobatan Kartini sebagai Pahlawan Nasional. Menurutnya, Kartini bukanlah satu-satunya pejuang emansipasi wanita di Indonesia, apalagi jika penobatannya sebagai Pahlawan Emansipasi tidak terlepas buku yang berisi surat yang dikirimkannya kepada sahabat-sahabat Belandanya, Door Duisternis tot Licht yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terangdan diterbitkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1911.
Di sini bukan berarti penulis tidak menghargai jasa-jasa Kartini sehingga namanya tak perlu dikenang, atau ingin menggugat eksistensi Kartini yang telah menjadi icon emansipasi wanita Indonesia. Penulis hanya mencoba untuk mengajak para pembaca untuk berpikir kritis, kira-kira ada apa di balik penobatan Kartini sebagai Ibu Emansipasi Wanita Indonesia. Di sinilah letak pentingnya sejarah, sejarah juga diperlukan untuk menata masa depan. Maka tak salah jika Soekarno mengeluarkan statement “Jas Merah”, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Terkait dengan sejarah, bagaimana sejarah RA Kartini sehingga ia dinobatkan sebagai tokoh emansipasi wanita? Apa saja yang telah dilakukannya sehingga ia bisa ditokohkan sedemikian rupa? Apakah hanya Kartini satu-satunya dan tidak ada wanita lain yang menjadi penggebrak emansipasi wanita? Bahkan tidak hanya Kartini saja, kenapa harus Boedi Utomo yang menjadi organisasi pelopor pergerakan di Indonesia?
Bukankah organisasi nasional pertama di Indonesia adalah Sarikat Islam? Kenapa harus Ki Hadjar Dewantara yang dinobatkan menjadi Bapak Pendidikan, kenapa bukan KH. Ahmad Dahlan? Kenapa harus ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani yang menjadi jargon pendidikan Indonesia, padahal dalam Sumpah Pemuda telah disepakati bahwa kita berbahasa satu, bahasa Indonesia. Coba tanyakan pada guru-guru yang mengajar di desa-desa pelosok, apakah mereka paham makna jargon pendidikan itu? Kenapa tidak dipilih jargon yang menggunakan bahasa Indonesia saja agar bisa dipahami oleh semua orang Indonesia?
Baca Juga: Perempuan Aceh di Masa Lampau
Kembali kepada Hari Kartini, sebagaimana yang telah disampaikan di awal tadi bahwa popularitas yang didapat Kartini hanya karena buku yang berisi surat-surat yang ditulis untuk sahabat Belandanya yang berisikan gagasan-gagasan kritis tentang keinginannya untuk memajukan wanita-wanita Indonesia dari segi pendidikan. Hanya karena itu ia dianggap sebagai seorang yang berpikiran maju pada zamannya dan tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.
Padahal buku yang diterbitkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda itu sendiri tak lepas dari kotroversi. Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan bahwa JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda saat itu yang memprakarsai terbitnya buku itu dan merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit ketika pemerintahan kolonial Belanda tengah menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya.
Namun tanpa harus menggunakan kontroversi itu sebagai argumen, berdasarkan fakta sejarah ada banyak wanita yang hidup sezaman dengan Kartini yang juga berpikiran sangat maju, bahkan penulis berani mengatakan jauh lebih maju dibandingkan Kartini. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini yang hanya mampu berwacana melalui “curhatan-curhatan” di dalam surat. Mereka telah berhasil mewujudkan ide-ide mereka dalam tindakan konkret yang manfaatnya lebih bisa dirasakan oleh masyarakat daripada sekedar berwacana.
Baca Juga Sejarah Panglima Teuku Nyak Makam
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita, ia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang bernama Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1910. Rohana Kudus (1884-1972) juga telah melakukan hal yang sama. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan untuk menghindari intimidasi dari pihak kolonial Belanda. Ia juga tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Jika Kartini hanya mampu menceritakan Sartika dan Rohana dalam surat, maka mereka sudah lebih jauh melangkah dengan mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana telah menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri mulai dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (Padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan) (Harsja W. Bachtiar: 1990).
Bahkan jika kita mau sedikit melirik sejarah pahlawan-pahlawan wanita di Aceh saja seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Laksamana Malahayati, Pocut Baren, Tgk Fakinah (selain pejuang juga seorang ulama wanita) tentu klaim mengenai keterbelakangan wanita di negeri kita ini perlu diklarifikasi kembali. Tapi kenapa nama mereka tidak disebut-sebut sebagai pejuang emansipasi wanita? Padahal yang telah mereka lakukan terlalu besar jika dibandingkan dengan yang telah dilakukan Kartini.
Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Laksamana Malahayati. Bahkan Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) Safiatuddin selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.
Berita Lainnya: Tjoet Nja’ Dhien, Masih Diburu Penikmat Sinema Dunia
Jadi, ada baiknya jika bangsa Indonesia bisa lebih berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Padahal ia tidak pernah sekalipun berjuang mengangkat senjata melawan penjajah dan wilayah perjuangan wacananya itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja. Mengapa bukan Rohana Kudus yang dijadikan tokoh emansipasi? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mau mengikuti kebijakan itu?
Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda, bahkan sampai ia ditangkap dan menghembuskan nafas terakhir di pengasingan. Apakah karena mereka bukan berasal dari etnis Jawa yang notabene merupakan etnis mayoritas di negeri ini? Inilah salah satu bentuk primordialisme yang telah mengakar berpuluh-puluh tahun. Disadari atau tidak bentuk primordialisme seperti inilah yang sering memicu konflik separatis di Indonesia.
Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: “Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia. Harum namanya…”, mungkin tidak akan pernah muncul yang namanya Gerakan Aceh Merdeka. Perlu ditegaskan, di sini kita bukan bertujuan untuk meratapi sejarah, yang telah lalu biarlah berlalu dan jangan pernah diungkit jika hanya akan memunculkan kembali luka lama. Kita hanya berusaha untuk bagaimana bisa menyongsong masa depan yang lebih baik, penuh perdamaian dan kesejahteraan, salah satunya dengan menghilangkan—atau paling tidak—meminimalisasi nilai-nilai primordial yang dapat memicu perpecahan dan konflik disintegrasi bangsa.[*]
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
kritikanku untuk tulisan anda:
1. saya amat tidak setuju dengan statemen anda:
“Coba tanyakan pada guru-guru yang mengajar di desa-desa pelosok, apakah mereka paham makna jargon pendidikan itu?”
jika anda menghargai sumpah pemuda dan melepaskan semua perbedaan dengan mengakui keutuhan bangsa ini, mengapa harus ada klasfikasi kualitas pengajar antara penduduk desa, kota, dsb..
secara tidak sadar dan sangat halus, anda membentuk sebuah opini publik, dan bersama-sama membuat stigma, bahwa desa dan kota berbeda tingkat pendidikanya…
2. kalimat ini:
“Hanya karena itu ia dianggap sebagai seorang yang berpikiran maju pada zamannya dan tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.”,,
ini adalah statemen untuk menganggap remeh sebuah jasa, yang sudah anda kemukakan di awal akan menghindarinya dengan kalimat:
“Di sini bukan berarti penulis tidak menghargai jasa-jasa Kartini sehingga namanya tak perlu dikenang, atau ingin menggugat eksistensi Kartini yang telah menjadi icon emansipasi wanita Indonesia.”
3.yang terakhir:
“Mereka telah berhasil mewujudkan ide-ide mereka dalam tindakan konkret yang manfaatnya lebih bisa dirasakan oleh masyarakat daripada sekedar berwacana…”
lantas apa motif penulisan artikel anda?? bukankah ini hanya sebagai wacana akan romantisme sejarah yang hanya akan menumbuhkan sensitifitas berlebih terhadap satu tokoh??
bukannya saya pro dengan semua sejarah bentukan orde baru, tapi bagaimanapun tetaplah ada sebuah pelajaran yang terkadang tak dapat kita lihat dalam setiap peristiwa,,
andaikan banyak tokoh yang difigurkan sebagai tokoh emansipasi wanita, maka akan banyak tanggal untuk memperingati kebangkitan wanita, hari tjut nyak dien, hari dewi sartika, hari rohana, hari khodijah, hari rukoyyah, hari mbak buah, dan lain sebagainya,,
terlepas dari seberapa besar jasa faktual yang kartini lakukan semasa dia hidup, tapi dengan adanya penokohan semacam itu, telah berapa banyak ia menginspirasi wanita setelahnya,,, bukankah itu juga termasuk jasa yang amat sangat besar?? meskipun itu ia lakukan setelah ia tiada,,
kritis perlu, tapi bijak lebih penting…
pakon harus kartini?
Kenapa tidak tjut njak dhien, tjut meutia atawa umi fakinah yang dari atjeh? Yang telah memimpin peperangan terhadap beulanda bahkan si kartini lahee keunoe u beumoë?
Pakon harus kartini?
Mengapa tidak kristina tiahahu yang dari Ambon?
Apakah kerana mereka itu bukan berasal dari suku jawa? Ataukah mereka itu tidak pernah merasa bodoh layaknya perempuan jawa?
Jadi mereka tidak perlu di peringati kebangkitan jiwa perempuannya?
PAKON HARUS KARTINI???
APA HEBATNYA SI KARTINI?
Pernah si Kartini memimpin peperangan???
Pernah dia memimpin rakyat sebagaimana peran Sultana Safiatuddin Meukeuta Alam dari Atjeh? Atawa panglima Keumalahayati yang langsung menghadang portugis di selat malaka?
Hahaha!…Ya lihat saja siapa yang jadi ‘PR agen’nya? Itulah gunanya punya sahabat. Memang Kartini lagi beruntung aja kenal dengan para elit politik jaman politik etis belanda. Cut Nyak Dien? Boro boro tukar pikiran…lihat muka belanda aja ogah…makanya gak populer…Dan tulisan dan bacaan lebih ‘dihargai’ saat itu di belanda daripada agresi. Makanya Kartini lebih populer. Kartini sudah mengembangkan sayap ‘ke-internasionalannya’ dengan berani curhat kepada teman dari negri yang menjajah bangsanya. Dan Beliau ‘tahu’ mana Belanda yag bisa dimanfaatkan, mana yang benar benar penjajah. Ingat, kemerdekaan Indonesia bukan hanya dengan perang fisik. Tapi ada unsur diplomasi yang melibatkan faktor intelegensia, bukan fisik semata. CutNyak Dien juga merupakan pahlawan besar. Wajib dibanggakan. Akan tetapi kalau Kita mau membanding bandingkan antara mereka, alangkah kecil hati kita dan picik sementara masih banyak yang harus kita lakukan sebagai wujud rasa terima kasih kita kepada mereka. Kenapa justru diperuncing perbedaan yang tidak perlu? Artikel ini terkesan kritis tapi dangkal. tak ada manfaat apapun, dan tidak menjawab pertanyaan yang dijadikan judul. Kalau mau, buat aja lagu tentang Kepahlawanan Cut Nyak Dien, atau Dewi Sartika…daripada menulis artikel ini…apa susahnya sih…
se orang cutnyak dhin,,adalah orang yang tulus dalam berjuang,,ALLAHHUMMAFIRLAHA,,jdi tak butuh di kenang oleh manusia,,,emang nya apa yg si kartini dapat waktu di kenang,,cuma di hening cipta 2 menit kok,lagi pula si kartini mati nya jugak bukan seperti mujahidin,
Udahlah….yang penting di nanggroe geutanyoe di Atjeh nacit pahlawan, malah lebeh hebat. Cuman digeutanyoe hana galak teuh keu beulanda jadi hana jireken, sedangkan ureueng Jawa khususnya Kartini kon toe ngen beulanda dan aneuk jajahan awak nyan. Jadi meunyoe Kartini diseubot seubagai pahlawan emansipasi yang penuh rekayasa hana pue. Ji tanyoe na pahlawan2 inong nyang paling canggih lebeh dari awak nyan
Nabi Muhammad selain nabi juga panglima prang yang sangat handal, tapi yang dapat bintang 5 kan bukan Nabi Muhammad. Tak apa2.
Jangan bawa-bawa nama jawa dalam urusan ini, banyak tokoh jawa yang jauh sebelumnya melakukan lebih dari apa yang diperbuat kartini tapi tidak disebut pelopor emansipasi …
…. coba lihat beberapa periode Majapahit (iconnya orang jawa) dipimpin oleh wanita ….. apa itu bukan emansipasi seorang wanita bisa menjadi raja? Kenapa bukan mereka juga yang disebut? Mereka juga akan marah melihat kartini yang dinobatkan sebagai icon emansipasi wanita ….
ya ALAAH hancurkan lah rezim taghut indon yang berhukum se cara diktator,,,.karna dengan hukum taghut, mereka bisa membalik kan fakta di negri ini,,,,,ya ALLAH ubAh lah bendera merah putih menjadi bendera kilafah yang bertulisan kaliah syahdad tauhid dan syahdat rasul,,,amienn
mari kita damai
Ya Allah nampakkan kebenaran dan keburukan bangsa
Inilah akibatnya kalau meniru falsafah bangsa Arab, penuh dengan kedengkian, permusuhan dan benih kehancuran.
Wahai orang Aceh, bukankah kalian memiliki nenek moyang yang memiliki falsafah dan kearifan jauh lebih mulia dari ajaran orang Arab. mengapa kalian meninggalkan warisan nenek moyang kalian hanya untuk mengagungkan ajaran oran-orang Arab yang sudah jelas tidak cocok di bumi Indonesia ini ???
kalian di mata Indonesia dan dunia seperti orang bodoh yang di cocok hidungnya…
indonesia yahudi,,yang behukum secara diktator,yg melaksana kan uud taghud,,yang jalas melanggar dngan ALQURAN dan SUNAH RASUL,,asal anda tau semua,,,fluralisme,liberal,syiah,adalah proyek yahudi untuk menghancur kan islam dari dalam tubuh islam,,,,saya punya reprensi nya,,,www.acehloensayang.com,,,
indonesia bangsa khyainul,,,aceh jadi korban nya,,,
gw tinggal di aceh lebih staun. dah keliling mulai pantai timur, barat, tengah. orang aceh ni unik. ga ada peninggalan sejarahnya kecuali kuburan. malas berproduksi, lebih suka berdebat kusir, makanya pendapatan asli daerahnya rendah. kalo ga ada tsunami taon 2004, kayaknya ga ada pembangunan di aceh. cuma dana otsus (dana untuk nyogok daerah konflik) yang jadi andalannya, itupun lebih 40% di korupsi oleh pejabat dan kontraktor aceh. warga aceh yang dah pernah tinggal diluar aceh biasanya ga mo balik karena mereka mengakui lingkungan di luar aceh lebih membangun dan produktif. prinsip syariah hanya jadi jargon politik untuk membedakan dengan daerah lain, tapi pelaksanaannya jauh tertinggal dengan daerah lain terutama jawa, blum ada pondok pesantren bagus di aceh apalagi yang diakui oleh akademisi luar negeri. pesanku: jangan menutup diri atas kelebihan orang lain, barangkali banyak yang bisa diadopsi untuk membangun aceh. kami pendatang ini selama di aceh pasti ingin ikut membangun, tapi kami cuma numpang lewat yang setelah tugas selesai akan bertugas ke tempat lain
jangan sibuk bicara kartini. mamak kau lagi nyuci piring di dapur. tolong kau bantu..
BEDANYA:
kalau Kartini, murni ingin mencerdaskan kaum wanita pada jaman dahulu dan walau banyak mendapat rintangan dari para kaum Agamis dan Daerah, tapi beliau tetap pada pendirian beliau.
sedangkan pahlawan wanita yang lain, seperti cut nyak dien lebih tepat kalau disebut pahlawan agama, sebab tujuan utama mereka bukan kemerdekaan apalagi untuk kaum wanita, tapi untuk mempertahankan dan menyebarkan agama.
dari komentar yang ada saya bisa menyimpulkan, yang merasa dengan ratikel ini, dalah mereka2 yang takut ada gugatakan keadilan politik indonesia, penulisan sejarah indonesia di dominasi oleh mereka etnis mayoritas, sehingga segala sesuatu yang menyangkut dengan keputusan sejarah ada di tangan orang-orang jawa ini faktas sejarah, dan jika anda merasa bagian dari orang jawa tapi bukan bagian dari para penipu sejarah ya ga usah kebakaran jenggot, sekarang adalah Era transparansi dalam segala bidang termasuk sejarah, setipa anak Bangsa Indonesia berhrak untuk tahu sejarah bangsanya, jadi kenapa harus merasa terperanjat kaya Abdul Qodir, santai aja dan nikamti saja permainan cabul politik orang jawa, Maka tidak salah kalau orang-orang Tua di Aceh sana benci dengan Sukarno karena mereka menganggab sukarno adalah utusan orang jawa untuk menipu orang Aceh dan sukarno tahu akan ketulusan orang aceh sehingga mudah di tipu dengan hanya dengan menangis.
sejarawan indonesia jaman dulu adalah sejarawan yang mementingkan sukuisme bukan rasionalistas dan fakta sejarah yang diutamakan, satu sisi pemeringtah jawa sangat ingin indonesia ini bersatu dalam bingkai negara kesatuan, di sisi lain takut mengangkat ,
aqdul qodir>>>
anda perlu tahu jika tanpa ketulusan Aceh mau bergabung dengan indonesia saat agresi belanda ke dua th 1948, dimana hanya ada tanah aceh yang tidak berani dimasuki belanda lagi, maka indonesia tidak ada dalam peta dunia, anda harus mengakui sejarah, walau ini tidak di ajarkan di buku sejarah saat anda sekolah dulu.
pilihannya cuma 2 dalam hal bergabung YA atau TIDAK
sayang kakek Aceh terlalu baik untuk menjawab iya, jika saja tidak, maka tak ada juga kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita.
yang pasti pemilihan kartini sebagai pahlawan bukan karena fakta obyektif namun hanya karena prinsip sukuisme semata.
yang merasa tidak suka dengan artikel ini itu pertanda mereka tau ada keobohongan sejarah yang takut terbongkar…
sejarah di luar negara kartini tak begitu popular.hanya org jowo sojo yg memujomujonyo.soeharto sbelum mati tlh mengankat dirinya pahlawan padahal yg menilai pahlawan bukan diri sendiri.
ini hal yg tak perlu dibahas karna ini hanya akan meruncingkan tombak yg sudah ditumpulkan, sekarang yg perlu kita bahas bagaimana orang aceh,batak,jawa,sampai ke papua bisa sma2 bergandengan tangan menghilangkan persepsi negatif membangun persepsi positif dmi kmajuan bangsa, karena kita sama2 tahu, mungkin bukan indonesia saja yg memiliki sejarah kelam seperti yg sudah sma2 kita ketahui, bagaimana cina dengan kekejamannya, bagaimana jepang dengan kekerasanya, bagaimana amerika dengan kelicikannya, tp sekarang lihatlah mereka semua sudah menjadi negara maju dengan kehidupan yg sejahtera, itu yg perlu kita jd kan refrensi, tp kita harus tetp menggunakan cara2 yg benar dan ttp dlm tuntunan agama, itu yg penting sob
Ga penting smua,masih jaman ya rasis? mnding atur tu dri massing u/ sma2 kita bgun Indonesia mnjdi lbh baik,
Karena Kartini digugat…Ki Hajar Dewantara juga digugat…. Jadi lagu “Ibu kita Kartini” diganti jadi “Ibunya Bapak kita Kartono”…??????? adil to…