Panglima Teuku Nyak Makam adalah pahlawan sejati yang patut diteladani. Ia tidak pernah menyerah kepada penjajah Belanda. Namun namanya jarang disebut-sebut.
Oleh Sudirman ( Pemerhati Sejarah Aceh)
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan telah dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh rakyat Aceh, baik dengan harta maupun jiwa. Perjalanan sejarah masyarakat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan telah melahirkan aneka pengorbanan dan berbagai gumpalan mega derita dalam berbagai dimensi kehidupan. Dalam kurun waktu itu telah banyak darah mengalir membasahi bumi ini, tiada terbilang tulang yang berserakan, di gunung, lembah, sawah bahkan laut dan sungai.
Di atas bukit nostalgia episode perang Aceh melawan penjajah, kita terkenang kepada suatu tragedi yang menimpa seorang anak manusia yang sejak kecil telah berjuang dan berkorban serta menderita dalam pengembaraan di hutan belantara. Tragis, sebelum dia dapat menghirup udara yang segar dari kemerdekaan bangsanya, dia telah terbawa hanyut oleh tajamnya arus hunusan pedang sang penjajah yang memisahkan kepala dengan badannya, dialah Teuku Nyak Makam.
Banyak karya sejarah menyebutkan bahwa perlawanan terhadap kolonialis Belanda yang terlama di Nusantara adalah perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Aceh. Para pemimpin yang tidak mau dijajah, bangkit menggerakkan pengikutnya untuk mengusir penjajah. Salah seorang di antaranya adalah Teuku Nyak Makam.
Teuku Nyak Makam dilahirkan pada tahun 1838 di gampong Lamnga, Aceh Besar. Dia adalah putra Teuku Lam Ujong Harun bin Teuku Lambaro bin Teuku Manyak bin Teuku Bunsu bin Teuku Abbas yang bergelar Teuku Chik Menseu. Secara turun-temurun mereka menjadi uleebalang di kawasan Lamnga dan Pulau Weh (Sabang). Teuku Nyak Makam adalah adik Teuku Ibrahim, suami pertama Cut Nyak Dhien. Teuku Ibrahim gugur pada 26 Juni 1878 dalam suatu pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum, Aceh besar.
Pada tahun 1858, Sultan Alaiddin Mansyursyah mengangkat Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai timbalan perdana menteri untuk wilayah Aceh bagian timur; Tamiang, Langkat, Deli, dan Serdang. Tuanku Hasyim Banta Muda mengangkat pula Teuku Nyak Makam menjadi asisten pribadinya, walaupun pada saat itu Teuku Nyak Makam baru berusia belasan tahun.
Akibat terlalu lelah karena terus-menerus di medan juang demi mempertahankan negeri ini, baik di Aceh maupun di luar Aceh, akhirnya Teuku Nyak Makam mengalami sakit-sakitan. Untuk mendapatkan pengobatan, beliau kembali ke kampungnya di Lamnga, Aceh Besar. Pada 21 Juli 1896, Belanda mendapatkan laporan bahwa Teuku Nyak Makam telah berada di kampungnya dalam keadaan sakit keras.
Begitu menerima laporan, Jenderal J.W. Stemfoort, Gubernur Sipil/Militer Belanda di Aceh, langsung memerintahkan Letnan Kolonel G.F. Soeters untuk menangkap Teuku Nyak Makam. Pada hari itu juga, Senin 21 Juli 1896, berangkatlah Soeters menuju Lamnga untuk menyergap Teuku Nyak Makam. Teuku Nyak Makam dapat ditawan oleh Belanda, tangan dan kakinya diikat lalu diseret dengan tandu.
Dengan kejamnya secara tiba-tiba G.F. Soeters mengayunkan pedang memancung putus leher Teuku Nyak Makam. Di hadapan anak isteri serta pengikutnya yang sudah ditawan, tanpa menunggu komando secara membabi buta, tubuh Teuku Nyak Makam yang sudah terpisah dengan kepala dicincang oleh serdadu-serdadu Belanda.
Pada malam itu juga “kepala” Teuku Nyak Makam dibawa ke markas besar Belanda di Banda Aceh untuk diserahkan kepada jenderal J.W. Stemfoort. Keesokan harinya tanggal 22 Juli 1896 “kepala” Teuku Nyak Makam yang sudah disangkutkan di ujung tombak diarak keliling kota serta didemonstrasikan oleh iring-iringan tentara kolonial Belanda.
Keteladanan
Dari cuplikan sejarah perjuangan Panglima Teuku Nyak Makam, dapatlah dicatat betapa dahsyatnya semangat perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajahan. Kini, setelah bangsa ini memperingati tahun emas hari kemerdekaan, terserah pula pada bangsa ini, apakah perjuangan Panglima Teuku Nyak Makam dan rakyat Aceh pada umumnya punya makna. Ini adalah perjalanan sejarah yang nyaris punah dan terlupakan. Ketika penjajah tidak lagi menjajah Aceh dan sebagian rakyat sudah hidup dengan senang, kini ketika semua itu sudah dicapai, justru dia dan nilai perjuangannya dilupakan oleh bangsanya.
Memang, tiada semua pahlawan yang namanya abadi sepanjang masa, masih banyak pahlawan yang tiada dikenal dan tiada disapa lagi. Akibat perang telah membawa kehidupan anak manusia di bumi ini menjadi dua sisi, pada satu sisi dia mendapat nama dan harta dan di sisi lain dia bergelut dalam berbagai gumpalan derita sampai kepada anak cucunya. Kecuali itu, sudah menjadi kepastian sejarah bahwa semangat perjuangan rakyat di bumi Serambi Mekah ini tidak dapat dipadamkan dan tidak mudah ditaklukkan.
Pertanyaan selalu ada, apakah generasi sesudahnya dapat menyimak perjalanan sejarah Teuku Nyak Makam sehingga dalam gerak dan langkah mereka senantiasa menghayati nilai-nilai perjuangan dan keikhlasan. Apakah mereka tidak dapat menyingkirkan atau setidaknya tidak turut menabur kerikil-kerikil tajam di atas jalan raya perjalanan sejarah dan kehidupan umat manusia di bumi tercinta ini. Sejarah masa lalu memang bukan peluru untuk kita berperang kembali, melainkan petuah untuk kearifan dan perdamaian di masa kini yang sangat pendek dan masa depan yang masih sangat panjang.
Perlu kiranya dihayati apa yang pernah dikatakan oleh John F. Kennedy: “Jangan tanyakan apa yang diberikan bangsa untuk aku, tetapi yang penting apa yang sudah aku sumbangkan untuk bangsaku”. Nilai-nilai seperti ini, rasanya masih sangat relevan dengan kekinian untuk direnungkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, ketika kebanyakan orang atau kelompok hanya memikirkan atau memperjuangkan kepentingan diri dan kelompoknya.*[PM005]
Belum ada komentar