Jakarta – Di tengah-tengah kegaduhan politik jelang penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, Yogyakarta kembali bergolak.
Minggu (25/3/2012), rakyat Yogya menggelar Apel Siaga Rakyat Yogyakarta Pro-Penetapan di Alun-alun Sewandanan Puro Pakualaman, Yogyakarta. Acara itu dilaksanakan sebagai dampak belum jelasnya nasib Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang menentukan nasib hak istimewa Yogykarta untuk hidup di dalam NKRI.
Tak tanggung-tanggung, adik kandung Sultan Hamengkubuwono X, GBPH Prabukusumo mengancam, Yogya siap melepaskan diri dari NKRI jika RUUK Yogyakarta tak menjamin keistimewaan Yogya dalam bentuk penetapan Sultan sebagai gubernur. “Itu keputusan detik-detik terakhir. Kalau pemerintah tidak mau memperhatikan sejarah lagi, itu risiko dan kami akan bersikap,” kata GBPH Prabukusumo, Minggu (25/3/2012).
Pernyataan bernada ancaman yang disampaikan calon Sultan Yogya itu tidak bisa dianggap sebelah mata. Rakyat Yogya pantas untuk resah, karena masa depan mereka hidup bersama NKRI tak kunjung jelas.
Hak istimewa yang mereka butuhkan bukan hanya sekadar penyebutan Daerah Istimewa dalam undang-undang. Melainkan dalam bentuk aplikasi bahwa gubernur Yogya secara otomatis dipangku oleh Sultan dan jabatan wakil gubernur Yogya secara otomatis pula dipangku Pakualam.
Sulit rasanya membayangkan Indonesia tanpa Yogya. Sebab perjalanan kemerdekaan bangsa ini tak lepas dari jasa-jasa keraton Yogyakarta Hadiningrat. Wajar kiranya jika Yogya ingin mempertahankan hak istimewa yang diperolehnya selama ini. Jika Yogya sampai merdeka, maka SBY-Boediono harus menanggung dosanya.
Pemerintah hendaknya bijak menyikapi, tak perlu lagi membuang energi mengubah tatanan politik dan budaya yang sudah tertanam kokoh di kota gudeg tersebut. Pemerintah tak pernah bisa menjelaskan secara utuh apa urgensi mengubah hak istimewa Yogya.
Jika semata-mata didasarkan karena Sultan Yogya saat ini adalah kader Partai Golkar, maka perumusan RUUK Yogya dipastikan bukan untuk menjaga NKRI, melainkan untuk kepentingan politik sesaat.
Bahwasanya gubernur Yogya saat ini adalah seorang kader Partai Golkar, itu adalah realita yang tak dapat dipungkiri dan ditolak. Sultan Yogya punya hak politik untuk bergabung dalam sebuah partai politik, namun yang terpenting, Sultan tidak memaksakan rakyat Yogya untuk memilih partai politik tertentu.
Para anggota DPR di parlemen pun tak boleh gegabah, jangan karena atas nama demokrasi lalu tatanan budaya yang sudah tertanam puluhan tahun menjadi terkoyak. Tak mesti semua ajaran demokrasi diterapkan mentah-mentah di republik ini. Ingat, Indonesia bukan kelinci percobaan demokrasi.
Biarkan Yogya hidup damai di dalam NKRI dengan hak-hak istimewanya, termasuk hak Sultan Yogya menjadi gubernur dan Pakualam menjadi wakil gubernur. Tak perlu ada pemilukada di tingkat provinsi, cukup di tingkat kabupaten dan kota saja, karena itulah esensi dari sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pemberian hak istimewa kepada Yogyakarta jangan dipandang sebagai bentuk pilih kasih kekuasaan, melainkan bentuk kesadaran atas jalan sejarah bangsa dalam menjaga NKRI dan Pancasila. Tak ada Indonesia tanpa Yogyakarta, daerah istimewa.[inc]
Belum ada komentar