Ketua Harian PNA, Samsul Bahri alias Tiyong. (Ist)

PM, Banda Aceh – Polemik terkait wacana referendum yang diucapkan H Muzakir Manaf alias Mualem akhirnya diklarifikasi sendiri olehnya. Tayangan video yang berisi klarifikasi tersebut masih beredar luas di berbagai platform media sosial.

Menanggapi hal tersebut, anggota DPRA Samsul Bahri alias Tiyong mengapresiasi upaya Mualem itu. Ia menyebut klarifikasi Mualem sebagai sikap yang bijaksana dalam merespon kekisruhan isu referendum yang semakin liar di tengah publik.

“Isu referendum ini oleh sebagian pihak telah didramatisir sedemikian rupa sehingga suhu politik Aceh terkesan tidak kondusif,” kata Tiyong dalam siaran persnya, Jumat (14/6).

Tiyong berharap, hak jawab yang diutarakan Mualem itu bisa segera mengakhiri berbagai polemik terkait isu referendum.

Iklan Duka Cita Thanthawi Ishak dari BPKA Dan SAMSAT

“Mari kita akhiri sikap saling tuding antar sesama rakyat Aceh oleh hanya karena perbedaan pandangan terhadap sebuah sikap politik,” kata dia.

Menagih Implementasi Butir MoU Helsinki

Dalam keterangannya, Tiyong menyebut poin penting dalam klarifikasi Mualem yang harus dicermati, khususnya tuntutan untuk menuntaskan semua butir-butir kesepakatan dalam MoU Helsinki.

“Kami pun memiliki sikap yang sama dengan Mualem. Semua butir kesepakatan dalam MOU Helsinki harus benar-benar direalisasikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Kalau ini diabaikan tentu rakyat Aceh akan kecewa, yang bisa saja diekspresikan dengan tuntunan referendum atau bahkan tuntutan merdeka di kemudian hari,” ujarnya.

Ia menyoroti masa14 tahun pasca penanda tanganan MOU Helsinki, dimana banyak poin kesepakatan antara GAM dan Pemerintah RI yang belum dilaksanakan. Melihat dinamika yang ada, ia meminta Pemerintah Aceh dan DPRA agar meminta Pemerintah Pusat merevisi Undang-Undang No 11 Tahun 2006 (UUPA).

Revisi UUPA, lanjut Tiyong, harus didorong agar mengakomodir semua isi perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Selama ini ada beberapa poin MoU yang belum terakomodir sebagian atau sepenuhnya dalam UUPA.

“Hal ini boleh jadi karena penyusunan UUPA yang dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, akibatnya tidak semua isi MoU dapat tertampung,” kata Tiyong.

Ia memaparkan, setelah hampir 13 tahun sejak diundangkan pada 1 Agustus 2006, kini UUPA sudah saatnya direvisi dengan tujuan untuk penguatan dan penyempurnaan peran dan fungsinya dalam menjalankan roda pemerintahan di Aceh.

“Banyak kelemahannya (UUPA),” ujar Tiyong.

Revisi UUPA diharapkan agar tidak lagi terjadi tumpang tindih, atau bahkan tereliminasi oleh produk regulasi nasional seperti yang selama ini terjadi. Langkah awal yang perlu dilakukan, menurutnya, yakni menginventarisir kembali semua pasal-pasal bermasalah. “Pasal-pasal yang tak dibutuhkan Aceh lebih baik dihilangkan.”

Selain itu, Tiyong meminta DPRA bersama Biro Hukum Pemerintah Aceh agar menyiapkan draft revisi UUPA. Penyusunan draft revisi ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di Aceh, dengan menampung semua aspirasi rakyat.

Tiyong berjanji akan segera membangun komunikasi dengan berbagai elemen politik di Aceh agar upaya revisi UUPA mendapatkan dukungan yang solid. Proses revisi terhadap sebuah Undang-Undang tentu akan melalui berbagai tahapan yang membutuhkan waktu yang tidak singkat. Oleh karenanya langkah-langkah ke arah sana harus segera dimulai.

Perpanjang Otsus

Selain untuk mengakomodir semua isi MoU Helsinki, Tiyong menyebut revisi UUPA juga menjadi syarat mutlak untuk memperpanjang masa berlakunya dana otonomi khusus (Otsus) sebagaimana dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo di Lhokseumawe beberapa bulan yang lalu.

Regulasi terkait dana Otsus tersebut diatur dalam pasal 183 UUPA. Ia mengatakan, jika kita ingin dana Otsus untuk Aceh diperpanjang tentu harus merubah dulu pasal tersebut sebagai payung hukum bagi Pemerintah Pusat untuk memenuhinya.

“Presiden sekalipun tak akan bisa berbuat apa-apa, walaupun itu janjinya sendiri, kalau UUPA belum direvisi. Kita berharap ke depan dana Otsus akan diberikan secara permanen tanpa batas waktu. Selama Aceh masih berstatus wilayah otonomi khusus dalam NKRI, selama itu pula dana Otsus harus diberikan oleh Pemerintah Pusat,” pintanya.

Terakhir, Tiyong mengingatkan bahwa UUPA adalah ‘konstitusi’-nya Aceh. Jika terdapat banyak kelemahan di dalamnya, kata dia, sulit bisa membangun Aceh mencapai taraf kesejahteraan dan kemajuan.

“Semoga melalui revisi UUPA dapat menjawab harapan kita semua. Lupakan perbedaan pilihan politik dalam Pemilu yang lalu, demi kepentingan Aceh yang lebih besar. Sekarang saatnya kita semua harus bersatu dalam spirit keacehan untuk mewujudkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh dimasa yang akan dating,” tutup Ketua Harian DPP Partai Nanggroe Aceh ini. []

Komentar