Bupati Aceh Besar tak menggubris permintaan Gubernur Aceh agar menunda pembongkaran barak Bakoy. Belasan keluarga kini terlantar tanpa rumah.
Suara palu berdentam-dentam menghantam dinding papan, Rabu pekan lalu. Di atas rumah panggung “bernomor” 14 tersebut, beberapa Polisi Pamong Praja mencopot dinding-dinding lalu melemparkannya ke bawah. Karena selembar dinding tampaknya terlalu kuat, seorang pamong menendangnya dengan sepatu lars. Brakk! Seketika dinding itu terlepas dari tempatnya.
Dalam hitungan jam, di rumah panggung itu hanya tersisa tiang, atap dan lantai. Sejurus kemudian, giliran lantai yang kena copot hingga tak bersisa.
Sementara di muka rumah, puluhan orang yang meriung menyaksikan eksekusi tersebut hanya bisa menghela nafas kecewa. Seorang di antaranya adalah Nuruzzahri, penghuni rumah yang dibongkar itu.
Sejatinya, rumah jembar itu bukan milik Nuruzzahri sendiri. Rumah itu merupakan barak yang menjadi tempat hunian bersama orang-orang yang mendaku diri sebagai korban tsunami Aceh 2004. Mereka menempati barak karena hingga kini belum mendapat bantuan rumah. Entah kenapa, nama mereka luput sebagai penerima bantuan rumah dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias.
Barak yang dibongkar tersebut berada di Gampong Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Sebelum dibongkar, barak itu dihuni 18 kepala keluarga. Setelah digusur, sebagian penghuni menumpang ke rumah kerabat. Ada juga yang menyewa rumah di daerah lain.
Tujuh kepala keluarga, termasuk Nuruzzahri, tetap bertahan karena tidak memiliki kerabat yang mampu menampung. “Akhirnya kami tidur di puing-puing sisa penggusuran, ditemani gelap dan nyamuk,” ujar Nuruzzahri, Jumat pekan lalu. Saat ditemui Pikiran Merdeka, ia tengah duduk bersama beberapa kerabatnya di atas tikar. Di dekatnya, terlihat sebuah kulkas. Sementara di sekeliling, aneka peralatan rumah tangga seperti tilam dan meja diletakkan begitu saja secara centang-perenang.
Nuruzzahri kecewa eksekusi itu betul-betul dilakukan Pemerintah Aceh Besar. Ia menilai Bupati Aceh Besar Mukhlis Basyah tak menggubris permintaan Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang meminta pembongkaran barak ditunda. Sebelumnya, Zaini meminta penggusuran ditunda hingga pemerintah mendapatkan solusi soal tempat tinggal baru bagi penghuni barak. Penundaan itu, kata Zaini, juga demi mempertimbangkan nilai kemanusiaan. Apalagi, sejumlah penghuni barak merupakan warga Aceh. “Jadi bukan langsung kita main gusur, tapi kita tidak mau tahu ke mana mereka akan tinggal. Karena ini adalah soal kemanusiaan,”ujar Zaini, Senin, 20 April 2017.
Bahkan, kata Zaini, Pemerintah Aceh, Polda Aceh dan anggota DPD RI Sudirman atau Haji Uma telah menyurati Bupati Aceh Besar agar menunda penggusuran. “Kita harapkan ini diselesaikan dulu dengan bijaksana, dengan melibatkan semua pihak sehingga tidak ada yang merasa dirugikan, dan tidak terkesan ada yang buang badan dalam persoalan ini,” ujar Zaini.
Nuruzzahri tahu soal surat itu. Ia mendengar ceritanya dari Haji Uma yang datang menemui penghuni barak pada Selasa pagi pekan lalu. “Haji Uma memberitahu kami tidak perlu khawatir dan takut. Katanya, ‘(Barak) ini tidak akan dibongkar. Kalian tetap bisa tinggal di sini karena saya sudah memediasi dengan gubernur, kapolda dan bupati’,” ujar Nuruzzahri.
Bupati Kirim Pasukan
Namun, ketakutan itu menjelma keesokan harinya. Bupati Mukhlis Basyah mengirim puluhan “pasukan” Satpol PP untuk menggusur barak. Mukhlis, bupati yang masa jabatannya tinggal beberapa bulan lagi, tak ikut turun ke lokasi. Ia menunjuk Asisten I Setdakab Aceh Besar, Mukhtar, selaku ketua tim penertiban terpadu, untuk memimpin penggusuran. Terlihat juga Kadis Satpol PP dan WH Aceh Besar, Rahmadaniaty. Adapun personil Polsek dan Koramil Ingin Jaya serta Polresta Banda Aceh ikut mengawal pembongkaran.
Para penghuni barak yang sebagian bekerja sebagai kuli bangunan dan pemulung, diminta mengeluarkan perabotan masing-masing. Sebelum diminta enyah, penghuni barak menunjukkan beberapa bukti surat dari Gubernur Zaini dan Haji Uma.
Namun, hal itu tak digubris tim penertiban. Kekagetan penghuni barak bertambah ketika mendengar ucapan kurang pantas dari seseorang di tim penertiban tersebut. “Kamu panggil dia (Haji Uma) ke sini. Kamu minta uang dan suruh buat sama dia,” ujar Nuruzzahri meniru ucapan orang tersebut.
Penghuni barak merespon dengan mengatakan jabatan gubernur dan Haji Uma lebih tinggi dari bupati. Lalu, terdengar lagi jawaban ketus dari tim. “Ini (surat gubernur) tidak ada urusan sama kami, ini tanah bupati!” Mendengar jawaban itu, Nuruzzahri dan kawan-kawannya sontak terdiam. Mereka sepakat akan melaporkan hal itu kepada Haji Uma jika senator itu mau menyambangi tempat tersebut lagi.
Selain itu, para penghuni barak menginginkan Bupati Mukhlis Basyah turun langsung melihat hasil dari eksekusi oleh anak buahnya itu. “Sebaiknya sebelum dibongkar beri kami tempat tinggal agar tidak terlantar seperti ini. Di sini ada tiga wanita hamil dan anak-anak, dan sampai hari ini kami belum makan,” ujar Intan, ibu hamil yang juga penghuni barak.
Belum lagi, kata dia, saat pembongkaran itu banyak barang mereka dibakar seperti alat menanak nasi. “Percuma jabatan tinggi tapi akal dan hati nurani tidak tinggi,” ucap seorang warga yang kesal.
Penderitaan penghuni barak kini bertambah. Mereka diminta cepat-cepat angkat kaki. Penghuni yang mencoba bertahan di lokasi barak dilarang membangun tenda. Jika kedapatan, kata warga, tenda bakal dibakar.
Lapor Komnas HAM
Tak terima diperlakukan demikian, lima perwakilan korban tsunami yang digusur dari barak Bakoy melaporkan kejadian itu kepada Komisi Nasional HAM perwakilan Aceh. Pihak yang mereka laporkan adalah Bupati Aceh Besar dan Kapolsek Ingin Jaya. Pengaduan tersebut di terima oleh Eka Azmiyadi dengan nomor pengaduan 04.01.P/IV/2017.
Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh atau YARA, Safaruddin, ikut mengecam tindakan Pemerintah Aceh Besar tersebut. “Para korban ini orang yang belum mendapatkan rumah bantuan tsunami, walaupun nama mereka sudah ada dalam SK (surat keputusan) Bupati dan BRR sebagai penerima,” ujar Safaruddin.
Menurutnya, saat menghancurkan paksa barak Bakoy, Satpol PP dengan bantuan pengamanan dari Polsek Ingin Jaya tidak menggubris permintaan penghuni barak. “Warga meminta agar tidak dibongkar dulu sampai ada bangunan rumah permanen bagi mereka,” ujarnya.
Akibat pembongkaran tersebut, kata dia, para korban tsunami terpaksa mendirikan tenda darurat di lokasi barak Bakoy untuk bertahan hidup. “Padahal, hak untuk mendapatkan rumah layak huni tugas negara terhadap rakyatnya,” ujar Safaruddin yang juga berada di lokasi saat pembongkaran dilakukan.
YARA, kata Safaruddin, juga ikut terlibat dalam beberapa pertemuan untuk penyelesaian permasalahan hak rumah korban tsunami tersebut. Saat pertemuan terakhir, tambah Safaruddin, Gubernur Aceh Zaini Abdullah telah menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh akan membangun rumah bagi korban tsunami tersebut jika sudah ada lahan yang disediakan oleh Pemerintah Aceh Besar.
Hal ini juga sesuai dengan isi pembicaraan Plt Gubernur Aceh dengan Bupati Aceh Besar pada Januari lalu. “Bukannya menyediakan lahan malah membongkar tempat tinggal mereka yang menjadi tempat perlindungan keluarganya. Kami melihat Pemkab Aceh Besar tidak punya hati nurani. Bagaimana jika keluarganya yang mengalami hal tersebut,” ujar Safar.
YARA juga meminta Kapolda Aceh agar mengusut dugaan jual beli rumah korban tsunami di Mireuk Lamreudeup dan Labuy. “Karena 18 KK ini mendapat jatah rumah di Mireuk dan Labuy. Ketika mereka ke lokasi rumahnya sudah ada yang menempati. Saat ditanyakan kepada yang menempati, dikatakan bahwa rumah itu dibeli dari seseorang,” ujar Safar.
Hal itu yang dinilai Safaruddin perlu diusut tuntas oleh polisi. “Mendata asal perolehan rumah bagi yang menempati perumahan bantuan tsunami di Mireuk dan Labuy. Dari situ akan ketahuan siapa yang korban dan siapa yang bukan.”[]
Belum ada komentar