PM, Banda Aceh – Sejumlah lembaga yang terhimpun dalam Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS), menilai pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terkait Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukuman Acara Jinayat, kurang tepat dan tidak mencerdaskan publik di Aceh.
Sebelumnya, diketahui bahwa Pergub ini mengubah lokasi eksekusi cambuk terhadap pelaku jinayat dari tempat umum terbuka seperti halaman mesjid ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang lebih khusus. Dalam pernyataannya di media, Ketua DPRA Tgk Muharuddin menolak Pergub ini.
DPR Aceh : Pergub Tentang Hukum Cambuk di Lapas Melanggar Konstitusi
Juru bicara JMSPS, Affan Ramli memaparkan sejumlah kekeliruan dalam pernyataan Muharuddin. Hal itu tertuang dalam rilis yang diterima Pikiran Merdeka, Jumat (13/4).
Pertama, pernyataan Muharuddin yang menuduh Pergub tersebut ilegal karena tidak dikonsultasikan ke DPRA. Affan menegaskan, mekanisme pembuatan Pergub sudah tepat.
“Karena mekanismenya memang tidak mengharuskan adanya persetujuan DPRA,” kata Affan.
Selanjutnya, pernyataan Muharuddin bahwa Pergub tersebut bertabrakan dengan Qanun Acara Jinayat Nomor 7 Tahun 2013. Kenyataannya, ungkap Affan, Pergub tersebut memberi pedoman teknis lanjutan dari Qanun Acara Jinayat yang mengatur pelaksanaan cambuk secara terbuka dan tidak mesti di tempat umum.
“Pergub ini memberi tafsir teknis menetapkan lokasi Lapas sebagai tempat eksekusi cambuk,” ujar dia.
Affan juga menjelaskan, penetapan Lapas sebagai lokasi menjadi penting karena beberapa alasan. “Di antaranya pembiayaan eksekusi cambuk lebih murah, penonton bisa disterilkan dari HP dan alat perekam lainnya, dan yang paling penting, anak di bawah umur tidak dibolehkan melihat eksekusi pencambukan tersebut,” papar intelektual muda ini.
Alasan terakhir itu juga diketahui menjadi salah satu pertimbangan penting yang disampaikan Gubernur pada saat menerbitkan Pergub tersebut. Selama ini Affan kerap mengamati, jika cambuk dibuat di depan mesjid seperti biasanya, penonton tidak bisa lagi dibatasi usianya. Tak hanya kalangan dewasa, anak-anak ikut menyaksikan eksekusi tersebut. Apalagi, menurutnya praktik menghukum dengan mempermalukan pelaku jinayat di depan mesjid tidak sesuai dengan akhlak dan peradaban islami.
Terakhir, pihaknya menanggapi tudingan yang beredar bahwa Pergub ini seakan-akan melanggar ketentuan dalam Al-Quran, Hadis, Ijmak, dan Qiyas.
“Sementara para pelajar Syariah tahu bahwa tatacara eksekusi cambuk yang dijalankan selama ini tidak ada ketentuannya dalam sumber-sumber hukum Islam secara pasti (Qath’i),” jelasnya. Maka dari itu, perihal tata cara cambuk ini masih bisa didiskusikan, dibahas ulang dan diatur oleh pemerintah sesuai keadaan.
Lebih lanjut, JMSPS memandang sejumlah kekeliruan dari pernyataan Ketua DPRA terhadap publik yang sarat unsur politis.
“Ini berbahaya, memprovokasi dan membodohi opini publik demi kepentingan politik,” imbuhnya.
Pihaknya pun dengan tegas mendukung kebijakan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.
“Terkait Pergub tersebut, kami nilai itu kebijakan yang sangat mencerdaskan dan sesuai kerangka pikir ‘Aceh Meuadab’ sebagai salah satu slogan yang digadang-gadang Pemerintah Aceh saat ini,” tutupnya.
Belum ada komentar