Sosialisme Nordik dan Perlawanan terhadap Oligarki

WhatsApp Image 2025 08 10 at 21.39.51 a67cec38 nordik socialism
Buku "Nordic Socialism" karya Pelle Dragsted, yang ditampilkan di toko buku A Room of One’s Own Bookstore, Madison - Wisconsin, Amerika Serikat. [Dok. Akbar Rafsanjani]

Oleh: Akbar Rafsanjani*

Pelle Dragsted, pemimpin partai Enhedslisten (Aliansi Merah–Hijau) dan anggota parlemen Denmark (Folketing), dikenal sebagai salah satu suara paling progresif di politik Denmark.

Sosok dan pemikirannya dibahas mendalam lewat sebuah diskusi buku karya Dragsted, Nordic Socialism: The Path Toward a Democracy Economy di toko buku A Room of One’s Own Bookstore, Madison – Wisconsin, Amerika Serikat.

Dragsted mengawali dengan membedakan dua istilah yang sering rancu, social democracy dan democratic socialism. Menurutnya, pada awal abad ke-20 hingga 1970-an, gerakan sosial demokrat di negara-negara Nordik memiliki agenda radikal, yaitu mengkritik kapitalisme secara sistemik dan membayangkan transisi menuju ekonomi sosialis.

Hasilnya adalah lahirnya negara kesejahteraan (welfare state) dengan pendidikan gratis, layanan kesehatan universal, dan jaminan sosial yang kuat.

Namun sejak 1990-an, partai-partai sosial demokrat di wilayah Nordik bergeser ke tengah, bahkan ke kanan dalam isu tertentu seperti kebijakan migrasi. Mereka mempertahankan status quo, fokus pada redistribusi tanpa menyentuh kepemilikan alat produksi.

Dragsted menilai, di sinilah kelemahan utamanya. Redistribusi tanpa demokratisasi kepemilikan membuat pencapaian negara kesejahteraan rentan terhadap serangan balik neoliberalisme.

Menurut Dragsted, inti dari pergeseran menuju sosialisme demokratis adalah mengubah struktur kepemilikan ekonomi. Kapitalisme menciptakan kekayaan di tangan segelintir elit, yang kemudian berubah menjadi kekuatan politik, ia menyebutnya oligarchic power.

Cara melawannya bukan sekadar pajak atau subsidi, tetapi memperluas bentuk kepemilikan demokratis, seperti koperasi pekerja (worker co-ops) dan konsumen, kepemilikan publik lokal atas utilitas, perumahan, dan layanan penting, dan dana kepemilikan bersama yang memberi pekerja porsi saham mayoritas di perusahaan besar (seperti rencana radikal Swedia tahun 1982).

Bentuk kepemilikan ini, kata Dragsted, bukan utopia masa depan, melainkan sudah ada dan bekerja di banyak tempat. Koperasi perumahan Denmark, credit union di berbagai negara, hingga konglomerasi koperasi Mondragon di Spanyol.

Dragsted menolak model nasionalisasi total ala Uni Soviet. Ia melihat bahwa kepemilikan negara tunggal sering kali menciptakan hierarki baru dan memutus rasa memiliki warga.

Sebaliknya, ia mengusulkan pluralisme kepemilikan dengan menggabungkan berbagai bentuk demokratis dan membiarkan kepemilikan privat tetap ada di sektor-sektor kecil atau lokal.

Salah satu poin paling menonjol dari Dragsted adalah penolakannya terhadap pandangan bahwa sosialisme hanya bisa lahir setelah kapitalisme tumbang total.

Ia, terinspirasi oleh pemikiran Marxist-feminis Gibson-Graham, melihat kapitalisme bukan sebagai sistem total, melainkan sebagai relasi di mana tenaga kerja dieksploitasi demi keuntungan.

Dengan begitu, ruang-ruang ekonomi non-kapitalis yang sudah ada (koperasi, layanan publik, perpustakaan, universitas gratis) adalah benih-benih sosialisme yang bisa diperluas tanpa menunggu revolusi.

Ekonomi selalu berupa campuran (hybrid), dan tugas politik kiri adalah memperbesar porsi sektor demokratis di dalamnya. Bagi Dragsted, perjuangan menuju sosialisme demokratis adalah perjuangan merebut kembali kekuasaan dari oligarki menuju rakyat.

Setiap kali masyarakat membentuk koperasi baru, memperluas kepemilikan publik, atau menciptakan lembaga demokratis, kekuatan oligarki berkurang dan kekuatan demokrasi bertambah. Proses ini bersifat bertahap, akumulatif, dan semakin memudahkan reformasi berikutnya.

Perbandingan Model Nordik dan Amerika Serikat

Pesan Dragsted untuk peserta diskusi yang dominan warga Amerika Serikat adalah Go Nordic, adopsi model negara kesejahteraan yang menjamin pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan kebebasan individu yang nyata.

Kemudian, Go Further, jangan berhenti pada redistribusi, demokratisasikan kepemilikan ekonomi untuk memastikan kesejahteraan itu berkelanjutan dan tahan terhadap serangan balik neoliberalisme.

Dengan pendekatan reformis, pluralis, dan berbasis pengalaman nyata, visi Dragsted berupaya membumikan sosialisme sebagai proses yang dapat dimulai sekarang, bukan sekadar mimpi masa depan.

Salah satu cara paling efektif menjelaskan nilai Nordic Socialism adalah dengan membandingkannya secara langsung dengan sistem di Amerika Serikat.

Ia mengakui bahwa negara-negara Nordik bukanlah surga tanpa masalah, namun memiliki keunggulan mendasar dalam menciptakan kebebasan yang nyata bagi warganya. Kebebasan yang menurutnya sangat terbatas di AS.

Dragsted menekankan bahwa di negara-negara Nordik, kebebasan sejati lahir dari keamanan sosial. Mahasiswa tidak hanya mendapatkan pendidikan gratis, tetapi juga menerima tunjangan hidup sekitar 1.000 dolar per bulan, memungkinkan mereka memilih jalur studi sesuai minat dan kemampuan tanpa terjerat utang.

Pekerja memiliki tunjangan pengangguran yang kuat sehingga bisa meninggalkan pekerjaan beracun (toxic workplace) tanpa takut kehilangan mata pencaharian. Layanan kesehatan universal menjamin orang tidak jatuh miskin akibat biaya pengobatan.

Ditambah lagi, undang-undang menjamin enam minggu cuti berbayar dan satu tahun cuti orang tua, hak yang nyaris tidak terbayangkan di AS.

Ia membantah mitos populer di kalangan politisi dan komentator sayap kanan bahwa welfare state melemahkan etos kerja atau menghambat inovasi. Justru sebaliknya, negara-negara Nordik memiliki tingkat partisipasi kerja dan produktivitas yang lebih tinggi daripada AS, sekaligus mempertahankan tingkat kesejahteraan yang merata.

Perbandingan ini bukan sekadar kritik terhadap AS, melainkan bukti konkret bahwa sistem yang menempatkan kesejahteraan sosial sebagai fondasi ekonomi tidak hanya lebih adil, tetapi juga lebih efisien.

Dengan kata lain, model Nordik menunjukkan bahwa kebebasan individu dan solidaritas sosial dapat berjalan beriringan, dan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak harus datang dengan harga ketidaksetaraan ekstrem.

Socialism is not a utopia to come, it’s something we can build from what already exists.” – Pelle Dragsted.

 

*Akbar Rafsanjani Warga Aceh, sekarang ia bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat.

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

1000592180
Penjabat Gubernur Aceh Bustami membuka kegiatan pasar murah di Pasar Tradisional Paya Ilang, Bebesen, Takengon, Selasa, 4 Juni 2024. Kegiatan ini diikuti Pj Bupati Aceh Tengah, Pj Bupati Bener Meriah, Pj Bupati Aceh Tenggara serta sejumlah kepala SKPA dan Biro terkait. [Foto: Istimewa]

Pj Gubernur Aceh Buka Kegiatan Pasar Murah di Takengon

Sunnyl Ikbal mengibarkan bendera GEKRAFS usai resmi dilantik sebagai Ketua Umum GEKRAFS Aceh oleh Ketua Umum GEKRAFS Pusat, Kawendra Lukistian, dalam acara pelantikan di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Jumat (20/6/2025). Pelantikan ini dihadiri tokoh-tokoh penting dan pelaku industri kreatif dari berbagai kabupaten/kota di Aceh. Foto: infoaceh.net
Sunnyl Ikbal mengibarkan bendera GEKRAFS usai resmi dilantik sebagai Ketua Umum GEKRAFS Aceh oleh Ketua Umum GEKRAFS Pusat, Kawendra Lukistian, dalam acara pelantikan di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Jumat (20/6/2025). Pelantikan ini dihadiri tokoh-tokoh penting dan pelaku industri kreatif dari berbagai kabupaten/kota di Aceh. Foto: infoaceh.net

GEKRAFS Aceh Dilantik, Sunnyl Ikbal Siap Gerakkan Talenta Muda dan Wirausaha Kreatif

1000606667
Pj Ketua Pkk Aceh Mellani Subarni Mengunjungi Pasar Murah Distanbun di Lokasi Expo Bank Aceh, Kamis (13/6/2024). [Foto: Istimewa]

Pj Ketua PKK Aceh Belanja Sajian Dapur di Pasar Tani