Selain Daerah Istimewa, Aceh juga dijuluki Serambi Mekah. Bedanya, status Daerah Istimewa dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Tidak jelas apa saja hak-hak otonomi tersebut selama Aceh menyandang predikat itu.
Sementara julukan Serambi Mekah hanya sebatas ucapan semata. Hingga kini, tidak ada bukti yang dianggap sahih untuk menguatkan julukan tersebut. Dari beberapa referensi disebutkan oleh sejarawan, penyebutan Serambi Mekah tak terlepas dari beberapa alasan.
Alasan pertama, Aceh daerah pertama masuknya Islam ke Nusantara. Dari Aceh, Islam berkembang ke beberapa penjuru Asia. Bahkan, beberapa Wali Songo yang membawa Islam ke Jawa berasal dari Aceh. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ngampel, dan Syarif Hidayatullah.
Alasan lain, Kerajaan Aceh Darussalam pernah mendapat pengakuan dari Syarif Makkah atas nama Khalifah Islam di Turki sebagai “pelindung” kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara.
Selain itu, Aceh pernah mempunyai pelabuhan haji untuk seluruh muslim Nusantara yang ingin menunaikan rukun Islam kelima tersebut ke Mekah. Kala itu, sebelum melayari Samudera Hindia dengan kapal, calon jamaah haji menghabiskan waktu hingga enam bulan di Bandar Aceh Darussalam. Kampung-kampung sekitar Pelanggahan, Banda Aceh, sekarang menjadi tempat persinggahan jamaah haji dulunya.
Di Pelanggahan ada sebuah masjid yang bernama Masjid Teungku Di Anjong. Seperti dikutip Tempo.co dari keterangan penjaga makam masjid, Bustami, masjid itu dulunya dibangun Teungku Di Anjong yang bernama asli Sayyid Abubakar pada 1769 Masehi. Sayyid Abubakar ulama pengembara dari Hadramaut, Yaman, yang ditugaskan menyebar Islam di Asia Tenggara. Ia kemudian menetap di Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Alaudin Mahmud Syah (1760-1781).
Ulama tasawuf dan ahli fikih yang kemudian dijuluki Teungku Di Anjong tersebut juga membangun dayah di lokasi tersebut. Pesantren ini, selain menjadi tempat pemondokan santri, juga menjadi pusat manasik haji bagi jamaah dari berbagai daerah. Di Pelanggahan, calon jemaah haji belajar dan dibimbing Teungku Di Anjong. “Sebelum ke Mekah, belajar dulu di serambi, begitulah ibaratnya,” ujar Bustami.
Selain di Pelanggahan, ketika berangkat haji, kapal jamaah juga harus transit dulu di Rubiah, Sabang. Transit ini tak terlepas dari kebijakan Belanda pada 1920-an. Di pulau seluas 0,357 km2 tersebut, setiap jamaah haji, baik yang mau berangkat dan pulang, harus singgah di sana.
Kini jejak seperti asrama dan karantina haji tidak ada lagi. Pemerintah juga tidak merawat potensi peninggalan sejarah tersebut. Rubiah lebih pamor sebagai tempat diving yang indah. Selain itu, tidak ada tugu atau monumen yang mencatat tentang hal itu di Pulau Rubiah.
POHON KOHLER
Bukti lain ketidakpedulian Pemerintah Aceh terhadap nilai sejarah Aceh adalah penebangan pohon Kohlerboom (Sterculia foetida) di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Baca : Sejarah Awal Masuknya Islam ke Nusantara
Pohon yang dalam bahasa Aceh ini disebut bak geulumpang ditanam pada 14 Agustus 1988 oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan. Pohon tersebut ditanam untuk mengenang perlawanan sengit pejuang Aceh menghadapi gempuran Belanda.
Sejarah mencatat, pada 26 Maret 1873 Belanda mengeluarkan maklumat perang terhadap Kerajaan Aceh. Tiga ribu lebih pasukan Belanda dipimpin Major Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler mendarat di Pante Ceureumen, Ulee Lheu, Banda Aceh.
Pada 14 April 1873, serangan Belanda menyasar Masjid Baiturrahman yang menjadi basis pertahanan pasukan Aceh. Naas bagi Kohler. Ia tewas diterjang peluru pasukan Aceh yang mengendap di balik semak. Kematian Kohler membuat Belanda panik. Mereka gagal menguasai masjid milik Kerajaan Aceh tersebut.
Beberapa tahun kemudian Belanda menanam pohon geulumpang di lokasi tewasnya Kohler, untuk mengenang kematian sang jenderal. Pohon itu diberi nama Kohler Boom.
Seiring waktu, pohon itu makin menua lalu mati. Ibrahim Hasan kemudian menanam pohon berjenis sama di lokasi semula, untuk penanda sejarah kematian Jenderal Belanda tersebut. Di bawah pohon juga diletakkan prasasti.
Selain sebagai situs sejarah, pohon Kohler sering dijadikan tempat berteduh pengunjung masjid. Kehadirannya juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Pohon geulumpang tersebut ditebang November 2015 karena terkena proyek perluasan Masjid Raya. Pelaksana proyek beralasan tak mungkin lagi mempertahankan pohon tersebut karena halaman masjid harus digali sedalam empat meter untuk membangun landasan tiang pancang.
Pemerhati sejarah dan adat Aceh, Tarmizi Abdul Hamid, seperti dikutip detik.com mengatakan pohon Kohler selama ini menjadi kebanggaan masyarakat sebagai inspirasi jiwa kepahlawanan dalam melawan penjajah.
Penebangan pohon tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa tidak percaya generasi muda terhadap sejarah tewasnya Kohler di sana. “Kini sudah tidak ada lagi kebanggaan itu, sudah hilang seketika,” ungkapnya.[]
Belum ada komentar