Rubama Nusa
Rubama di balai pengajian TPA Al-Hayah, Nusa, Lhoknga. FOTO: Makmur Dimila

Jika lelaki sudah enggan, izinkanlah perempuan membangun gampong.

Oleh Makmur Dimila

Patung perempuan berdiri bertuliskan “Perempuan Inspiratif Nova 2013” pada kaki plakatnya cukup menarik perhatian. Agak tersembunyi di salah satu kolom rak buku pribadi Rubama, di satu sisi luar rumah panggungnya. Itulah bukti fisik yang dibawa perempuan kelahiran 17 Agustus 1985 ini dari Bandung pada Desember 2013.

Saat itu, berdasarkan perjuangan sosialnya di Gampong Nusa, Mukim Lhoknga, Aceh Besar, ia direkomendasikan oleh aktivis gerakan perempuan di Aceh menjadi salah satu nominator Perempuan Inspiratif Nova.

Event penghargaan kepada perempuan inspiratif di pelosok Indonesia itu dihelat Tabloid Nova—media nasional yang fokus pada isu-isu perempuan—sejak 2008.

Setelah melalui proses karantina dan bersaing dengan kontestan dari daerah lain, dia berhasil menarik perhatian Dewan Juri untuk dinobatkan sebagai Perempuan Inspiratif Nova 2013 kategori Perempuan dan Lingkungan. Apa yang telah dilakukan perempuan pehobi petualangan ini di desanya?

Gampong Nusa, menurut cerita orangtua Rubama, masyarakatnya aktif dengan kegiatan sosial dan kreativitas semenjak 1980-an dan berlanjut hingga 1990-an saat ia sudah kanak-kanak.

Namun, konflik RI-GAM disusul bencana tsunami, perlahan mengikis aktivitas gampong itu. Berduyun-duyun NGO yang datang pascatsunami, ikut menyusut kehidupan sosial di Nusa.

Pada awal 2015 misalnya, NGO membantu bersihkan desa-desa di sekitar Lhoknga dari puing-puing tsunami, dengan konsep “Cash for Work”.

Siapapun yang bekerja akan dibayar tunai, termasuk saat gotong-royong atau rapat-rapat tertentu.

Dampak negatif timbul pada tahun-tahun berikutnya, ketika lembaga asing minggat dari Aceh. Masyarakat akan menanyakan bayaran setiap diajak melakukan kegiatan sosial.

Sama sekali itu bukan budaya orang Aceh bahkan Indonesia, yang dikenal dengan gotong-royong secara swadaya. Dia dan beberapa warga lainnya takkan membiarkan gejala itu mengakar di Nusa.

Pada September 2005, saat-saat masyarakat masih tinggal di tenda pengungsian, Rubama dan seorang lainnya dari Nusa diundang ikut pelatihan pengelolaan sampah berbasis masyarakat ke Calang, Aceh Jaya.

Di training itu, mereka ditekankan untuk mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan yang telah didapat, bukan sekadar memahami teori. Ru juga membayangkan, Gampong Nusa harus bersih dari sampah.

Jika masyarakat umum menyatakan sampah adalah sumber penyakit, tapi bagaimana dengan kreativitas, sampah bisa diciptakan produk yang bernilai ekonomi dan estitika,” cerita perempuan yang disapa Ru ini kepada Pikiran Merdeka, 13 Januari 2016.

Ru dan kawannya itu mengadakan pertemuan dengan warga Nusa pada awal 2006, saat mereka telah kembali menempati gampong kelahiran. Ide itu boleh disodori untuk warga lelaki atau perempuan. Tapi mereka pilih perempuan.

Berkumpullah 120 perempuan, kemudian membentuk NCC (Nusa Creation Community), bertujuan membangun gampong dengan berbagai kelompok berbeda.

NCC fokus pada mengubah sampah anorganik menjadi produk bernilai ekonomi. Komunitas ini wadah bagi ibu-ibu dan pemudi desa untuk menciptakan produk handmade dengan bahan baku plastik semisal kemasan sachet minuman, untuk merajut ragam jenis tas.

Dibentuk pula NBC (Nusa Biker Community) untuk kelompok pesepeda anak-anak bagian dari menjalankan green action di gampong. NBC ini dibuat bukan ikuti tren gowes di kota-kota, tapi memang kebiasaan anak-anak gampong yang suka bersepeda. Anak-anak yang tak punya sepeda bisa ikutan dengan berboncengan.

Kemudian anak-anak difasilitasi membangun Bank Sampah. Berawal dari fakta ada orang tua santri Taman Pendidikan Alquran (TPA) berkemampuan ekonomi kelas bawah yang keberatan membayar uang bulanan sebesar Rp 5 ribu.

Siapa saja, terutama anak-anak, setiap Minggu mulai jam 10 pagi hingga 12 siang, menabung ragam jenis sampah anorganik ke ‘bank’ yang dibangunkan di sekitar TPA. Setiap penabung, layaknya nasabah bank konvensional, membawa buku bank yang telah dibuat kepada masing-masing nasabah.

Bank Sampah Nusa
Bank Sampah yang dikelola anak-anak Gampong Nusa, Lhoknga. FOTO: Makmur Dimila

Sampah itu dijual ke penampung ketika volumenya sudah banyak. Uang bulanan untuk TPA kelak diambil dari hasil tabungan sampah itu, tak perlu meminta pada orangtua. Semuanya diurus oleh anak-anak.

Pula, dibangkitkan kembali gairah seni dengan membentuk Komunitas Al-Hayah secara otonom, menggantikan Karang Taruna yang dulu sempat muncul dengan hierarkinya.

Para pelaku seni yang berkiprah sebelum konflik dan tsunami, sukarela mengajarkan ilmu dan pengalamannya kepada generasi muda. Hampir setiap malam, tabuhan gendang menggema di Gampong Nusa, kecuali Jumat.

Tak tanggung-tanggung, atas binaan Komunitas Tikar Pandan, pada akhir 2015, tim Rapai Geleng Komunitas Al-Hayah diundang ke Negeri Sakura untuk tampil di festival seni dan budaya Jepang bertajuk Sanriku International Arts Festival selama dua minggu.

Belajar dari Alam

Konsep-konsep memberdayakan gampong yang ramah lingkungan dan anak-anak itu juga tak terlepas dari usaha Ru menuntut ilmu di luar, selain belajar dari mengunjungi berbagai tempat wisata di Indonesia.

FOTO: Makmur Dimila
Sehabis Magrib, anak-anak Nusa belajar di TPA Al-Hayah. FOTO: Makmur Dimila

Pada tahun 2007, dia menempuh program pendidikan pariwisata di Institut Pertanian Bogor. Materinya setingkat magister. Dia memilih khusus bidang ecotourism dari beberapa konsep wisata yang ditawarkan.

Usai belajar beberapa bulan di sana, dia tersadar. Nusa, gampong kelahirannya ternyata punya kelebihan-kelebihan yang bisa dikembangkan menjadi desa edukasi, semisal di Bogor ada desa yang menjual edukasi sebagai objek wisata.

“Ilmu yang sudah didapat, kalau tidak dipraktik, juga sia-sia,” tutur Ru.

Dari beberapa komunitas yang telah dijalankan tadi, Ru pun menyatukannya dengan konsep edukasi. Siapapun yang kunjungi Nusa, dipersilakan berbagi ilmu dan pengalaman atau belajar dari masyarakat.

“Misal, jika di Kota Banda Aceh orang bisa melihat penampilan seni khas Aceh, di Nusa orang bisa belajar dari Komunitas Al-Hayah,” sebut Ru.

Kreativitas anak-anak yang mulai tumbuh dirawat betul dengan mengadakan satu event yang dapat terus menjaga semangat mereka. Digelarlah Nusa Festival semenjak Desember 2007.

Anak-anaklah yang menggerakkan Nusa Festival ini dengan ragam kegiatan seperti Nusa Award, Nusa Berzikir, dan Karnaval. Orangtua hanya menyaksikan dan mengontrol. Berlangsung rutin setiap tahun hingga 2012.

Adanya Symbiosis Mutualisme

Menurut Ru, pengelolaan wisata mestilah ada unsur symbiosis mutualisme. Saling menguntungkan bagi dua pihak. Wisata tak lepas dari memuaskan pengunjung dan pemberdayaan ekonomi.

“Maka ecotourism yang saya pahami adalah aktivitas yang menambah ekonomi masyarakat tetapi tidak merusak lingkungan. Itu sebenarnya konsep. Bagaimana kemudian potensi yang ada di-develop, bukan menyusut,” ujar aktivis di LSM Solidaritas Perempuan Bungong Jeumpa Aceh ini.

Tak mudah meyakinkan masyarakat pada awalnya. Pelan tapi pasti, Nusa berubah menjadi gampong yang inspiratif. Masyarakatnya sangat terbuka, baik untuk tamu yang berbeda wajah maupun keyakinan.

Meskipun ada satu dua warga yang tidak senang dengan gerakan sosial yang dibangun dan kini tinggal 15 orang dari 120 perempuan pertama yang berkomitmen, tak mematahkan semangat Ru dan kawan-kawan untuk terus memberdayakan Gampong Nusa.[]

*Diterbitkan di Rubrik INSPIRASI Tabloid Pikiran Merdeka edisi 107 (18-24 Januari 2016)

Komentar