Produk Kampus dan Kebutuhan Dunia Kerja

Produk Kampus dan Kebutuhan Dunia Kerja
Produk Kampus dan Kebutuhan Dunia Kerja

Oleh: Cut Famelia
Fulbright Scholar dan Peneliti di The Aceh Institute

Mengulas isu pendidikan sulit dipisahkan dengan sistem yang menggerakkannya. Di Indonesia, Aceh secara spesifik, institusi pendidikan formal khususnya perguruan tinggi belum menunjukkan sistem yang mengintegrasi kompetensi lulusan dengan kebutuhan dunia kerja secara signifikan dan holistik. Kampus dan pasar terlihat seperti berjalan masing-masing, hanya sesekali terlihat “harmonis”. Ini tentu punya hubungan sebab-akibat dengan kuantitas lapangan kerja yang masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan kuantitas pencari kerja.

Statistik menunjukkan, angka pengangguran di Indonesia mencapai 7 juta orang atau 5,33% (data BPS Februari 2017), dan Aceh meraih “juara” pertama se-Sumatera: 7,39% atau 172 ribu orang, lebih tinggi dari tingkat pengangguran nasional (data APBD 2017). Peran dunia kampus dan dunia kerja dalam mengakomodir kesempatan kerja yang lebih luas menjadi salah satu faktor krusial untuk menjawab problematika ini.

Lapangan kerja tentu tidak terbatas pada instansi pemerintah, industri, dan sektor swasta lainnya. Jika merujuk pada UU No.2 Tahun 1989 Pasal 16 Ayat (1) dan PP No.30 Tahun 1990 Pasal 2 Ayat (1), tujuan pendidikan tinggi adalah mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian serta mengoptimalkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Maknanya, pengetahuan dan keahlian apapun yang dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi mesti mampu menggiring kehidupan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik tanpa batasan ruang dan waktu, bisa apa saja dan di mana saja.

Karenanya, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa kompetensi lulusannya mampu menjawab kebutuhan di berbagai lini kehidupan. Sebagai contoh, seorang sarjana Fisika tidak hanya mampu berkontribusi untuk dunia akademik dan penemuan teori-teori baru, tetapi juga bisa membantu menyelesaikan permasalahan sosial dan kesehatan, sesuai dengan porsinya. Pemahaman komprehensif ini sulit dicapai jika kampus hanya berimajinasi dengan dirinya sendiri tanpa membangun komunikasi intensif dengan pasar, yang dalam hal ini cakupannya sangat luas, termasuk kewirausahaan dan sosial-kemasyarakatan.

Hasil amatan saya, sistem perguruan tinggi di Aceh belum membuka lebih banyak pintu bagi dosen, mahasiswa, dan staf untuk berinteraksi langsung dan membangun koneksi dengan stakeholder dunia kerja. Padahal, ini mutlak diperlukan agar terbangun kesepahaman yang komprehensif dari kedua dunia ini tentang kompetensi apa saja yang sebenarnya dibutuhkan oleh pasar dan keahlian apa saja yang mampu diproduksi oleh perguruan tinggi untuk menjawab kebutuhan ini.

Karenanya, perlu dibentuk sebuah sistem yang rapi untuk membangun hubungan dan kolaborasi antara kampus dan pasar secara menyeluruh. Sebagai contoh konkrit, di Amerika Serikat (AS) misalnya, sistem pendidikannya yang liberal dan terintegrasi dengan dunia kerja, dengan dukungan legalitas dari pemerintahannya, membuat pasar tak hanya menjadi kelompok pencipta lapangan kerja tetapi turut membantu proses pembelajaran dan produksi keahlian agar mahasiswa terlatih dalam melihat dan menyelesaikan permasalahan riil di dalam dan di luar kampus.

Sistem ini menciptakan usaha “perjodohan” antara produk perguruan tinggi dan pasar lapangan kerja. Ibarat “mak comblang”, kedua belah pihak berupaya mencari kecocokan satu sama lain.
Dengan sistem demikian, pasar lebih mudah menyampaikan kebutuhannya secara detil kepada kampus. Kampus juga lebih mudah memahami apa yang dibutuhkan pasar dan bagaimana mengarahkan serta mengembangkan kurikulum dan proses belajar-mengajar hingga terjadi kesesuaian antara “demand” pasar dan “supply” sumber daya manusia (SDM). Jadi, keterlibatan pasar tidak terbatas pada “career fair”. Di AS, selain career fair, kampus memfasilitasi pelaku dunia kerja untuk memberi kuliah umum atau spesfik di kampus, menjadi panelis dalam temu-ramah dengan mahasiswa, memberi pelatihan bagi mahasiswa via kompetisi di internal kampus, dan keterlibatan praktis lainnya. Semua ini tersusun apik dalam sistem yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi pasar dan kampus untuk bertemu, berbicara, dan menjalin hubungan. Tak heran jika kampus mendapat permintaan langsung dari otoritas pasar agar mengirim mahasiswa atau alumninya untuk memainkan keahliannya di tempat mereka.

Selain itu, banyak universitas di AS yang menyuguhkan “Capstone Project” bagi mahasiswa sebagai alternatif syarat kelulusan selain opsi menulis tesis. Capstone project adalah tugas akhir mahasiswa untuk menyelesaikan permasalahan nyata di industri, instansi pemerintah, atau dunia pasar lainnya. Pasar berkompetisi lewat proposal yang dikirim kepada universitas terkait problematika yang ingin dituntaskan. Proposal yang menjadi “pemenang” akan dihubungkan dengan mahasiswa yang akan memecahkan permasalahannya. Mahasiswa belajar bagaimana menyelesaikan permasalahan di lapangan sesuai dengan teori dan latihan yang diperoleh dari perkuliahan. Namun, permasalahan di luar kampus tidak melulu seideal yang mereka pecahkan selama perkuliahan. Ini menjadi tantangan bagi mahasiswa sekaligus informasi penting bagi universitas untuk mengevaluasi kurikulum atau aturan main perkuliahannya untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan di dunia nyata.

Contoh lainnya, universitas mengundang pelaku pasar untuk menjadi juri dalam kompetisi poster penelitian mahasiswa. Inisiatif ini dapat membangun pemahaman lebih luas tentang kompetensi yang dimiliki mahasiswa dan sejauh mana tingkat kompleksitas mampu dijawab. Dengan pemahaman ini, pelaku pasar dapat mengidentifikasi potensi yang dimiliki mahasiswa yang mungkin tidak terbaca dari luar kampus, yang bisa membantu mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi, atau menjadi landasan untuk inovasi yang mungkin belum pernah terpikir sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru. Selain menghubungkan kampus dan pasar lewat internship (magang) dan co-op (mahasiswa bekerja paruh waktu sambil kuliah dan dihitung sebagai kredit perkuliahan), sistem ini juga bekerja pasca kelulusan melalui post-academic training (PAT). Mahasiswa yang baru lulus berkesempatan bekerja di luar kampus, tentunya lewat kompetisi, dalam jangka waktu tertentu dan digaji secara profesional, sebelum nantinya meniti karir untuk jangka waktu yang lebih lama.

Kesepahaman di atas bisa timbul karena interaksi langsung antara kampus dan pasar di bawah kontrol connecting system. Alhasil, kampus mengerti kebutuhan pasar secara mendalam dan pasar mengerti bagaimana memanfaatkan produk kampus untuk mencapai visi-misinya, sehingga meminimalisir “kegalauan” yang dialami SDM perguruan tinggi dalam mencari atau menciptakan peluang untuk menyalurkan kontribusi keilmuannya terhadap pembangunan negeri.

Jika Pemerintah Aceh masih serius untuk menurunkan angka pengangguran, para stakeholder di dunia akademik dan dunia kerja perlu duduk bersama dan menginisiasi connecting system untuk membangun jembatan antara pasar dan produk sesuai konteks dan karakteristik yang berlaku. Diskusi ini akan melahirkan elaborasi dan kesepahaman tentang potensi-potensi yang dimiliki SDM kampus secara mendalam, bagaimana memposisikannya di dunia kerja, serta bagaimana cara menggunakannya untuk menciptakan peluang kerja baru. Harapannya, putra-putri Aceh akan mendapat kesempatan yang lebih besar untuk membangun kampung halamannya. Saya yakin, “sistem perjodohan” ini dapat menjadi alat yang efektif untuk menurunkan peringkat Aceh dalam angka pengangguran, InsyaAllah.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait