Meuseuraya membersihkan makam bersejarah di Gampong Neusok, Darul Imarah, Aceh Besar, Ahad, (6/09/2015). Foto: Mizuar Mahdi.

Pagi menjelang siang 9 September 2015, sebagaimana pada hari Ahad lain, ada acara meuseuraya (gotong-royong) membersihkan makam bersejarah yang dikoordinir Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh).

Sebagaimana biasa saya datang tatkala acara hampir selesai. Ditambah perlambat lagi oleh ketidak tahuan akan alamat pasti sehingga harus memutar-mutar mencari tempat yang disebutkan.

Namun hari ini, saya tidak tersesat. Hanya ada peristiwa yang tidak disangka-sangka terjadi. Setelah batal bertanya pada orang-orang yang duduk di depan kedai di beberapa jalan yang kulewati, sampailah di dekat sebuah acara kenduri perkawinan.

Jauh dari rumah acara, ada dua orang gadis kecil yang berteduh di bawah pohon pinggir jalan. Di hadapannya sawah membentang sampai ke pagar rumah acara walimah.

Saya menghentikan sepeda motor di seberang pohon itu, lalu menuju dua orang gadis remaja, menanyakan alamat yang disebutkan ketua acara meuseuraya Mapesa, Mizuar Mahdi.

“Ke sana, sampai simpang kecil, silakan menikung ke kiri, di sanalah gampong Neusok!” Mereka menunjuk ke hadapan jalan yang kususuri tadi.

“Tidak tersesat,” pikirku.

Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun menuju sepeda motor kembali, harus segera mencapai tempat yang dimaksud. Sebelum tiba di kendaraan, tiba-tiba Agam Usmani muncul di hadapanku. Kami sudah lama tidak berjumpa.

“Ke tempat acara meuseuraya Mapesa, Neusok,” jawabku.

“O, itu di sana. Seharusnya lewat jalan satu lagi lebih dekat. Atau, ikuti saya saja,” Agam yang membawa isterinya pun melaju pelan.

“Ini jalan yang disebutkan, ke arah Peukan Biluy,” kataku sok tahu. Saya menduga, jalan yang lebih dekat menurut Agam itu adalah yang bisa masuk ke Neurok, langsung dari Jalan Sukarno-Hatta.

Agam melaju pelan. Sebentar-sebentar ia melihat ke belakang. Dia tidak ingin saya tertinggal. Setelah beberapa kali engkol, sepeda motor pun hidup. Saya melihat Agam yang ternyata ia masih melihat-lihat ke belakang.

Namun, begitu sepeda motor berjalan, tiba-tiba berhenti lagi. Rantainya yang mengendur terlepas. Rhet rante (rantai terjatuh). Beberapa hari lalu sebuah bengkel kecil tidak bisa mengetatkannya karena ia tidak memiliki kunci yang pas untuk mengatur mor.

Dua gadis remaja yang tadi saya tanyai alamat, tertawa-tawa kecil. Mereka dapat hiburan karena ada seorang asing yang setelah menanyakan alamat pada mereka, namun begitu mahu melanjutkan perjalanan, rantai sepeda motornya terlepas.

Saya menggeser kendaraan itu ke pinggir jalan kembali. Agam yang telah berjalan sekitar dua ratus meter pun berbalik.

“Bengkelnya jauh, ada satu di sana,” katanya. Ternyata ia hafal betul daerah ini. istrinya pun orang sekitar sini.

Agam, dengan tulusnya mencoba memasangkan kembali rantai sepeda motorku ke piringannya.

“Tuhan mengirimmu hari ini untuk membantuku, hehe,” kataku dengan tertawa kecil, tetapi serius.

Inilah kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Sebagaimana, detektif dan jurnalis investigasi, saya adalah orang yang tidak percaya pada kebetulan. Kalau pun ada, itu kebetulan yang terencana, rencana dari Tuhan.

Setelah belasan menit, akhirnya rantai kembali pada tempatnya. Saya pun teringat, pada tahun 2012, setelah selesai sebuah acara PuKAT (Pusat Kebudayaan Aceh – Turki) di taman Sari, dengan sepeda motor ini juga, saya mengantar Agam ke rumahnya di Lamreung, Darul Imarah, Aceh Besar. Saat itu ia masih ketua Mapesa. Sekarang ketua Alif (Aceh Lamuri Foundation).

Setelah melewati beberapa tikungan kecil dan jalan kampung, kami pun tiba di makam bersejarah, di gampong Neurok, Darul Imarah, Aceh Besar. Saat menghentikan sepeda motor, muncul ampon yang berasal dari Kandang, Lhokseumawe. Ia baru tiba juga.

Ini persis yang terjadi tahun lalu, saat ke Lam Blang Trieng, Darul Imarah juga. Ia muncul di belakangku. Ia pikir saya tahu tempatnya. Ternyata kami sama-sama tersesat. Lalu berpisah lagi, dan bertemu di tempat meuseuraya. Hari ini, ia tiba setelah tersesat beberapa kali.

Agam dan istrinya ke makam yang tengah dibersihkan. Sekira setengah jam di sana, ia berpamit untuk menghadiri acara walimah satu tempat lagi.

Beberapa pasang batu bertulis telah didirikan ulang dan dibersihkan, tidak ada yang bisa membacanya hari itu, Taqiyuddin Muhammad tidak di sana. Entah di mana ia bertapa sekarang.

Hari ini, saya tidak banyak membantu, datang telat dan pulang cepat. Setelah azan zuhur, saya berpamit. Ternyata, tempat meuseuraya ini, kalau dari Mesjid Lampeuneurut, sampai di sebuah simpang, kita menikung kea rah yang bertulis taman rusa.

Tadi, saya menikung ke arah lain, lurus, sekitar lima atau sepuluh kilo meter yang ke arah yang salah. Ternyata, inilah jalan satu lagi, lebih dekat, yang dimaksud Agam.

Sebagaimana waktu pergi tadi, saat pulang, saya melewati lagi tempat yang menawan hati.

[PM005]

Komentar