“Pemberitaan Media Belum Ramah Terhadap Anak”

“Pemberitaan Media Belum Ramah Terhadap Anak”
Komisioner KPPAA, Ayu Ningsih. (Foto/Ist)

PM, Banda Aceh – Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), mengadakan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) di Aula Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Kamis (31/10/2019). Diskusi ini mengambil tema ‘Melalui Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA), Mari Kita Tingkatkan Kualitas Pemberitaan Media yang Ramah Terhadap Anak’.

Komisioner KPPAA, Ayu Ningsih mengatakan, selama ini pemberitaan di Aceh seringkali mempersepsikan anak yang menjadi korban kekerasan sebagai objek eksploitasi. “Masih ada pengungkapan identitasnya dalam pemberitaan, seperti wajah, inisial, nama, alamat, dan sekolah secara sengaja ataupun tidak, sehingga anak tidak terlindungi secara baik,” kata dia.

Tak hanya itu, Ayu juga menyoroti bahasa media yang terkadang kasar dan vulgar. Dalam memberitakan kasus kekerasan, media penyiaran juga kerap menampilkan sosok anak yang disamarkan menggunakan topeng, atau dengan pengaburan wajah, namun masih bisa dikenali ciri-cirinya.

Pelanggaran etik lainnya juga masih sering terjadi, seperti pengungkapan identitas anak, muatan informasi cabul dan sadistis. Bahkan anak kerap digambarkan sebagai sosok yang seolah-olah ikut andil sehingga kasus itu terjadi, bukan murni sebagai korban.

“Identitas yang dimaksud ialah menyebarluaskan nama, tempat tinggal, hingga nama orang tua. Penyebaran identitas secara berlebihan dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan anak,” kata Ayu.

Sebenarnya ada beberapa dampak positif dari pemberitaan tentang kasus anak, seperti munculnya rasa empati di masyarakat. “Dengan itu, masyarakat dan pihak terkait lainnya dapat mengambil peran pencegahan supaya kejadian tersebut tidak terulang kembali,” kata dia.

Namun, banyak juga dampak negatifnya. Jika tak berhati-hati dalam melindungi identitas anak, baik ia sebagai pelaku maupun korban akan menerima stigma negatif yang berkepanjangan. “Karena identitasnya sudah dikenali, anak pun berpotensi ditolak oleh lingkungan tempat tinggal dan sekolah, sulit mengembangkan diri, apalagi mendapatkan pekerjaan,” ujar Ayu Ningsih.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Misdarul Ihsan mengatakan, pemberitaan kasus anak penting untuk mendorong advokasi. Empati yang timbul di masyarakat turut menjadi pressure sehingga proses penanganan kasus anak jadi lebih prioritas.

Dirinya tak menampik banyaknya media yang sering memberitakan anak saat tertimpa kasus tertentu. “Sementara berita tentang prestasi anak, itu masih sedikit sekali,” ucap Misdar.

Ketua AJI Banda Aceh, Misdarul Ihsan. (Ist)

Situasi ini semakin kompleks dengan jumlah media massa yang kian banyak. Misdar menyebutkan, dari perkiraan 47.000 media pers yang ada di seluruh indonesia, hanya 2.200 media yang sudah terverifikasi di Dewan Pers.

“Media siber paling banyak, ada 43.300 media, sementara lainnya 2000 media cetak, 674 media radio dan 523 media televisi,” jelasnya.

Dalam menulis berita, wartawan dituntut mampu menggunakan diksi yang baik dan tidak eksploitatif. Lebih jelas lagi, ia menekankan agar redaksi pemberitaan jangan berpatok pada selera pasar, akan tetapi menggunakan perspektif korban.

“Banyak media-media yang membahasakannya dengan sangat vulgar, supaya menarik pembaca, ini sangat disayangkan,” pungkasnya.

Landasan Hukum

Ayu Ningsih berharap jurnalis tetap berpegang teguh pada empat pedoman, antara lain Undang-Undang 40/1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, Undang-Undang 32/2002 tentang Penyiaran, dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).

Selain itu, irisan antara kerja jurnalistik dengan substansi  perundang-undangan serta regulasi lainnya juga perlu diperhatikan, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dan PPRA (Pedoman Pemberitaan Ramah Anak).

Adapun PPRA sendiri merupakan hasil dari kesepakatan (MoU) antara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan Dewan PersKamis, pada 12 April 2018 silam. Pedoman ini bermaksud untuk mendorong komunitas pers menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati dan bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak, anak yang yang terlibat persoalan hukum ataupun tidak; baik anak sebagai pelaku, saksi atau korban.

Dengan adanya pedoman pemberitaan ramah anak, lanjut Ayu Ningsih, maka wartawan akan lebih berhati-hati memberitakan kasus anak. “Jika wartawan menulis berita soal anak dengan menonjolkan identitas secara lengkap, menyebut alamat detil dan identitas keluarga korban baik ayah, ibu, paman, bibi yang dikhawatirkan akan membuat publik bisa menyimpulkan sosok korban, tak hanya sanksi etik, wartawan yang bersangkutan bisa dikenakan hukum pidana,” ujar dia. Namun sebaliknya, jika berita itu sesuai dengan PPRA, maka jurnalis hanya dikenai sanksi etik oleh Dewan Pers.

“Oleh karena itu PPRA yang selaras dengan UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak ini penting untuk diketahui oleh para wartawan, agar terhindar dari jeratan hukum,” tandasnya.

Pertemuan yang dihadiri oleh jurnalis dari sejumlah media massa di Aceh ini menyepakati 11 rekomendasi. Yakni: 1) Perlunya menyusun pedoman pemberitaan yang ramah anak di Aceh,  2) KPPAA akan melakukan MoU bersama AJI, PWI dan IJTI terkait pemberitaan ramah anak, 3) KPPAA akan membuat buku saku atau panduan dalam melakukan advokasi terhadap pemberitaan yang ramah anak bagi media, 4) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan menggelar sekolah P3SPS di Aceh, 5) KPI dan stakeholder lainnya akan melakukan penguatan kapasitas kepada jurnalis dalam meliput berita anak seperti pelatihan-pelatihan dan workshop untuk mendukung pemberitaan ramah anak .

Selanjutnya, 6) KPI memberikan mengkampanyekan literasi media kepada masyarakat. 7) AJI membekali anggotanya terkait pemberitaan ramah anak, 8) komitmen bersama para jurnalis terhadap pemberitaan ramah anak, 9) Komisi Penyiaran Aceh akan memberikan penghargaan kepada media yang ramah anak untuk mendorong media melakukan peliputan yang ramah anak, 10) perlu adanya pendataan jumlah media di Aceh, dan 11) melakukan kajian untuk memetakan persepsi anak terkait dampak pemberitaan media yang tidak ramah anak. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

pj
Pj Gubernur Aceh Dr. H. Safrizal ZA, M.Si, saat memberikan saran dan masukan kepada Imam Masjid Raya Baiturrahman Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, Lc, MA, beserta pengurus lainnya saat meninjau Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Jum'at (6/9/2024). Foto: Biro Adpim.

Pj Gubernur Safrizal Instruksikan Rehab Masjid Raya Baiturrahman