Pasar Atjeh, Potensi Pasar Wisata yang Terabai

Pasar Atjeh, Potensi Pasar Wisata yang Terabai
Pasar Atjeh, Potensi Pasar Wisata yang Terabai

Menghidupkan pasar rakyat, pemerintah harus menggabungkan potensi pasar dengan potensi wisata. Pasar Atjeh layak dikembangkan menjadi destinasi wisata.

Pasar Atjeh dikenal sebagai pusat pasar tradisional di Kota Banda Aceh. Letaknya yang berada di tengah-tengah kota, sehingga selalu ramai pengunjung. Terlebih, keberadaannya bersebelahan dengan Masjid Raya Baiturrahman.

Jumat sore, di tengah hiruk pikuk pasar, puluhan kendaraan lalu lalang. Di sudut jalan sempit yang dipenuhi gerobak pedagang kaki lima, tampak Muksalmina tak henti-hentinya menyapa pembeli.
Tangannya juga lihai mengaduk cendol dagangannya. Racikan cendol yang sudah jadi diantarkan kepada pemesan yang setia menanti di atas trotoar berdindingkan pagar halaman belakang Masjid Raya.
“Silahkan dinikmati kak cendolnya,” kata Muksalmina dengan ramah.

Di Jalan Perdagangan, kawasan Pasar Atjeh Lama atau persisnya di belakang Mesjid Raya Baiturrahman, Muksalmina dan ratusan pedagang kaki lima lainnya menjajal barang dagangan mereka.

Tenda dari terpal biru, gerobak dagangan, dan angkringan menjadi lapak para pedagang kaki lima di kawasan tersebut. Dengan berdandan seadanya, para pedagang dengan ramah melayani pembeli.

Muksalmina, pria yang dulunya menimba ilmu di salah satu Universitas Islam di Aceh ini sejak tahun 2016 memutuskan untuk berjualan cendol di sana. Karena faktor ekonomi, sejak saat itu ia memutuskan tidak melanjutkan kuliahnya. Kini, dia dan pedagang lainnya menggantungkan hidupnya di sana. “Saya makan dari sini, sehari-harinya dagangan saya laku sekira Rp600 ribu,” ucapnya.

Menurut dia, pendapatannya lebih meningkat pada setiap akhir pekan. Selain pembeli yang datang ke Pasar Atjeh untuk berbelanja, banyaknya jumlah wisatawan yang datang ke Mesjid Raya telah mendongkrak pendapatannya.

“Biasanya yang bikin rame ya pengunjung Mesjid Raya, kadang-kadang ada juga wisatawan asing seperti orang Malaysia yang mencicipi dagangan saya,” kata Muksalmina.

Adi, 35 tahun, salah satu pedagang peci di kawasan tersebut juga menuturkan hal yang sama. Pembelinya juga didominasi oleh pengunjung Mesjid Raya Baiturrahman. “Yang beli peci ya anak-anak yang ngaji di Mesjid Raya kebanyakan,” ujarnya.

Selama ini, kata Adi, penghasilannya berjualan peci hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari ia dan keluarganya. “Namanya saja pedagang kaki lima, ya pendapatan per hari tak menentu, kadang-kadang adalah sekitar Rp300 ribu,” ungkap pria yang sudah berjualan di kawasan tersebut sejak tahun 2002.

WISATA PASAR

Melihat posisi pasar yang begitu dekat dengan pusat wisata islami Masjid Raya, Pengamat Tata Kota Donny Arief Sumarto merekomendasikan Pemko Banda Aceh menata kembali kawasan pasar tersebut.

“Saya rasa ini tidak sulit, karena kita tidak perlu membuat kosep meniru daerah lain dengan merelokasi pedagang dan membuat bangunan pasar yang mewah. Biarkan saja suasana pasar seperti itu, apa adanya. Hanya perlu ada beberapa penataan supaya pasar itu terlihat nyaman dan indah,” kata Donny, Jumat (19/01).

Menurutnya, justru keadaan pasar yang alamiah akan menarik minat pengunjung, terutama wisatawan. “Kedai-kedai kopi, pedagang beras, cendol, peci, baju, dan lain-lain biarkan saja mereka seperti apa adanya. Biarkan para wisatawan melihat keseharian masyarakat Aceh,” terangnya.

Penataan pasar yang berbading terbalik dengan fungsi masjid yang berada di dekat pasar tersebut, menurut Donny, paling cocok menggunakan konsep perkotaan di Arab Saudi. “Namun kita tidak perlu meniru sepenuhnya, karena jika pasar sudah dijadikan kawasan wisata otomatis produk yang dijual akan berbeda. Misalnya souvenir-souvenir. Nah, ini akan berdampak buruk bagi pedagang-pedagang lainnya,” kata Donny.

Menurut Donny, para pedagang di kawasaan pasar tersebut harus ditata lagi. Pertama, pasar wisata khusus untuk keperluan wisatawan Masjid Raya. “Seperti pedagang peci, souvenir, kuliner, mereka bisa ditumpuk di kawasan halaman parkir Masjid Raya yang dulu berada di sebelah kiri masjid. Misalnya pedagang peci ditumpukkan di satu tempat, selanjutnya untuk pedagang kuliner juga di satu tempat,” jelasnya.

Penyeragaman yang dimaksud Donny dicontohkannya seperti penataan penjual sirih yang berada di jalanan sebelah kiri Mesjid Raya.
“Lahan parkirnya kan sudah tidak dipakai lagi karena sudah ada pemindahan parkir ke basement Mesjid Raya. Nah, di situ ditumpuk pedagang kaki lima. Untuk usaha kuliner tidak lupa pula di tengahnya dibuat ruang tempat makan. Bisa juga ada bangku-bangku tamannya,” jelas pria lulusan Magister Urban Desain di Institut Teknik Sepuluh November ini.

Sementara untuk penataan yang kedua lebih difokuskan untuk pasar wisata tradisional. “Kegiatan pasar yang tidak cocok dengan morfologi Masjid Raya bisa disesuaikan dengan kearifan lokal Aceh. Misalnya menyeragamkan tenda-tenda pedagang dengan langgam Aceh seperti atap rumbia. Jika mau lebih sederhana lagi bisa dibuat tenda dengan warna seragam misalnya putih. Jarak antar lapak pedagang dengan jalanan pun harus diatur,” jelasnya.

Donny menyarankan untuk penataan kembali sebaiknya pemerintah menyediakan lapak yang bagus dan indah untuk pedagang. “Karena, jika lapak dari pedagang sendiri ya seperti sekarang, letaknya suka hati dan warnanya pun tidak seragam,” kata dosen Arsitek Universitas Islam Negeri Ar-Raniry ini.

Solusi untuk menertibkan pedagang juga tidak terbilang sulit, kata Donny. Memberikan lapak gratis ataupun mengurangi biaya retribusi adalah salah satu caranya. “Hal ini juga sudah dilakukan di kota-kota besar lainnya seperti Jogja dan Semarang. Makanya PKL di sana patuh-patuh,” terangnya.

Selain itu, ada cara lain untuk menjadikan kawasan pasar kaki lima tersebut menjadi pasar wisata yang nantinya mungkin bisa menjadi icon wisata pasar untuk Aceh. “Bisa dilakukan dengan memberikan pertunjukan yang menghibur setiap bulannya. Pertunjukannya juga bisa disesuaikan dengan morfologi lingkungan itu. Misalnya diadakannya sayembara mengangkat karung beras. Ini kan sesuai dengan kebiasaan suasana pasar. Mereka pun akan senang mengikuti kegiatan tersebut. Bisa juga dibuat festival kopi atau kegaiatan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan pasar,” terangnya.

Untuk merawat pasar supaya pengunjung nyaman, tambah dia, terpenting adalah kebersihan, kerapian, dan keseragaman. Namun, semuanya juga perlu memperhitungkan dampak yang ada.

“Jangan sampai demi menciptakan suatu icon wisata yang baru, kita mempermainkan nasib para pedagang kecil misalnya dengan menggusur mereka. Semua bisa diubah dengan tetap menyesuaikan kultur masyarakat sekitar,” tutupnya.

SUDAH DICANANGKAN

Walikota Banda Aceh Aminullah Usman saat ditanyai mengenai revitalisasi kawasan pasar kaki lima menjadi kawasan wisata pasar mengatakan bahwa pihaknya sudah mencanangkan hal tersebut. Namun, kata dia, pihaknya perlu melakukan studi lebih lanjut sebelum pelaksanaannya.

Aminullah Usman

“Itu bagus, tapi kita jalani saja dulu pelan-pelan, kita tidak ingin para pedagang kaki lima itu kehilangan pekerjaannya,” katanya kepada Pikiran Merdeka, Jumat (19/1).

Pria yang akrab disapa Bang Carlos ini menambahkan, telah lama pihaknya menginginkan kawasan tersebut menjadi tempat wisata agar pengunjung lebih ramai lagi ke depannya.

“Saya sudah mencanangkan supaya di Jalan Diponogoro itu ada hiburannya, supaya masyarakat semakin ramai ke sana. Terpenting, para pengunjung nyaman untuk berbelanja,” tutupnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait