Parkir sembaraut. Foto: PM/Oviyandi Emnur

 

Retribusi parkir yang masuk kas daerah belum menyentuh angka ideal.  Padahal, Banda Aceh layak disebut kota dengan area parkir terpanjang di dunia. 

Puluhan rambu berlambang huruf ‘P’ dengan latar biru terpasang di sepanjang Jalan KH Achmad Dahlan, mulai perempatan Jalan Muhammad Jam hingga depan Pasar Aceh. Rambu yang melegalkan parkiran di badan jalan itu dikelola lebih dari 10 juru parkir.

Warga yang ingin berbelanja di area tersebut harus mempertimbangkan akan mendrop kendaraanya di salah satu area parkir. Lalu memilih berjalan kaki ke deretan toko yang ingin dituju tanpa harus memindahkan kendaraannya. Hal itu untuk menghindari biaya retribusi parkir yang harus dikeluarkan berkali-kali.

Seperti Roni (47) warga Ketapang, Aceh Besar. Ia yang sedang menemani istrinya ke Pasar Aceh, Selasa pekan lalu, memilih menurunkan istrinya di Jalan Muhammad Jam dan memarkirkan kendaraannya di Jalan Tengku Pulo Dibaroh. Dia menunggu istrinya belanja sambil menikmati rujak di jalan tersebut.

“Saya menunggu di sini sambil makan rujak. Nanti kalau sudah ditelepon istri, baru saya jemput di pinggir jalan,” terang Roni kepada Pikiran Merdeka. Ia mengaku sudah menunggu sekitar 90 menit.

Ia sengaja mensiasati agar tidak berhenti memarkirkan kendaraanya berkali-kali. Mengingat sang istri pasti akan berhenti di banyak tempat untuk membeli beberapa kebutuhan rumah tangga, makanya ia memilih menunggu di tempat itu daripada harus bayar parkir berkali-kali.

Sesaat kemudian, androidnya berdering. “Sudah selesai?” tanya Roni pada istri yang meneleponnya. Usai menutup telepon dan membayar rujak yang disantapnya, ia bergegas ke area parkir. Di pinggir jalan tersebut, seorang juru parkir sudah menunggu dan membantu menarik mundur sepeda motor milik Roni. Sebelum berlalu, ia mengeluarkan uang koin Rp1.000 kepada juru parkir.

Di kesempatan lain, seorang mahasiswi Unsyiah, Dian Helsivia berbelanja ke toko aksesoris yang berada di Jalan Muhammad Jam. Meski singgah sebentar dan tak menemukan barang yang dicarinya, tetap saja  ia harus membayarkan retribusi parkir.

“Kadang bisa singgah 3 sampai 4 kali kalau jalan ke kota. Tak kurang dari Rp5.000 untuk parkir saja,” ujar mahasiswi tingkat akhir itu.

Pernah pada satu akhir pekan, ia membawa ibunya yang datang dari Aceh Selatan ke Masjid Baiturrahman. Ketika parkir di sana, sebut Dian, biaya parkir sepeda motor dipungut Rp2.000. Ketika ia tanya kenapa tak Rp1.000 sesuai aturan, petugas menjawab, “Ini hari libur dek.”

Ia berharap, Dinas Perhubungan bisa membina para juru parkir agar tidak mengutip retribusi parkir suka-suka mereka.  “Tarif parkir ya harus sesuai aturan pemerintah. Ini malah dipungut berkali-kali, tarifnya pun suka-suka mereka,” keluhnya.

Parkir roda empat di badan jalan di depan Balai Kota Banda Aceh. Foto: PM/Oviyandi Emnur

TAK BAYAR PARKIR

Sementara itu, keluhan lain justru datang dari para juru parkir. Selain banyak pengendara yang memarkirkan kendaraannya di sembarang tempat, juga ada yang menolak membayarkan retribusi parkir dengan berbagai alasan.  “Ada yang marah-marah saat parkir kendaraannya kita tertibkan, bahkan banyak yang tidak mau membayarkan uang parkir,” ungkap Syamsudin, juru parkir di depan Pasar Aceh.

Warga Blang Bintang, Aceh Besar ini menyebutkan, terkadang ada pengandara yang sudah memarkirkan kendaraannya berjam-jam dan sudah ditutupinya agar tidak kepanasan namun tetap saja tidak mau membayarkan retribusi parkir.  “Contohnya ibu itu, padahal ia PNS. Dia sering berbelanja berjam-jam dekat sini. Tapi payah mengeluarkan uang untuk biaya parkir,” kata Syamsuddin sambil menunjuk ke arah perempuan berseragam batik toska.

Walau sedikit kesal, kata Syamsuddin, dirinya tidak pernah memaksa para pengendara untuk membayarkan parkir. “Kalau tidak mau bayar, ya sudah. Saya tak pernah memaksa, berarti bukan rezeki saya,” lanjut pria paruh bayah yang mengaku sudah bekerja sebagai juru parkir di kawasan tersebut sejak 1998.

Selama menjadi juru parkir, akunya, ia tidak pernah mendapat pembekalan dan arahan dari pihak Dinas Perhubungan Banda Aceh. “Kami hanya diberikan rompi dan langsung bekerja sesuai lokasi yang kita pilih,” katanya.

Setiap juru parkir, lanjut Syamsuddin, per hari diwajibkan menyetorkan Rp30 ribu ke Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh. “Kami tak pernah diberikan pelatihan. Setelah mendaftarkan diri, kami hanya diwajibkan menyetorkan uang hasil pungutan parkir,” ungkapnya.

Seharusnya, kata dia, Dinas Perhubungan  berkewajiban memberikan pelatihan kepada para juru parkir, terlebih kepada para pemula sehingga memiliki pengetahuan dasar tentang aturan parkir. “Perhatikan juga pola kerja kami. Jangan hanya menghitung jumlah uang yang kami setor tiap hari,” katanya.

Juru parkir lainnya, Abdul Manaf mengatakan setelah mendaftarkan diri ke Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh pada awal 2015 juga tak pernah mendapatkan pelatihan. “Setelah mendaftarkan diri dan menunjukkan wilayah tempat parkir di daerah Ulee Kareng, petugas dinas hanya meninjau lokasi tersebut. Setelah itu saya haya dibebankan setoran tiap hari,” katanya.

Selama ini, sebut Abdul Manaf, dirinya lebih sering datang menyetor ke kantor dinas dari pada petugas dinas yang menjemput uang itu. “Kalau yang biaya parkir yang terkumpul hanya cukup makan, ya saya tidak menyetor,” katanya.

 

PENGELOLAAN TAK SERIUS

Kalangan DPRK Banda Aceh menilai pemerintah kota belum mengelola parkir secara baik. Padahal, sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Banda Aceh berasal dari retribusi parkir. “Sebenarnya potensi PAD dari parkir sangat besar, apabila betu-betul digarap,” sebut anggota Komisi C DPRK Banda Aceh, Abdul Ghafur.

Menurut dia, selama ini PAD Kota Banda Aceh dari parkir hanya berada pada tingkatan Rp4,5-5 miliar per tahun. “Tak pernah jauh-jauh dari angka itu,” katanya.

Diakuinya, retribusi parkir masuk dalam daftar sumber utama PAD Kota Banda Aceh. “Pemasukan dari parkir sebenarnya bisa lebih tinggi dari angka tersebut jika saja tak ada kebocoran. Kita tidak menuduh, tapi pemasukan itu memang sangat rawan kebocoran,”  ujarnya.

Bukan tidak beralasan Ghafur mengatakan kebocoran retribusi pasti ada. Sebab, ketika Dinas Perhubungan mengajukan parkir berlangganan, pemasukan yang bisa diperoleh mencapai Rp24 miliar per tahun.

Pengamatan pihaknya, lanjut Ghafur, memang ada agen dalam merekrut petugas parkir yang menyebabkan retribusinya terbagi lagi kepada pihak ke tiga. “Ada tokenya di satu tempat. Baru kemudian tokenya itu menyetor ke dinas,” sebutnya.

Ia berharap, Dishub mampu menjalankan tugasnya dan mengelola juru parkir dengan baik. “Pelatihan dan kondisi juru parkir juga harus diperhatikan. Jika perlu, juru parkir bisa digaji, sehingga kinerja mereka jauh lebih baik,” tuturnya.

Ghafur menaruh harapan besar kepada kepemimpinan Kota Banda Aceh yang baru agar dapat memperhatikan sektor tersebut. “Jika mau mengelola dengan sungguh-sungguh, retribusi parkir akan mampu mendongkrak PAD Kota Banda Aceh, empat kali lipat dari sebelumnya,” katanya.

Parkiran di samping Masjid Raya. Foto: PM/Oviyandi Emnur

PARKIR PRABAYAR

Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh, Zubir mengatakan pihaknya sudah mengajukan sistem parkir prabayar di Kota Banda Aceh. “Kita sudah siapkan sistem parkir prabayar. Sistem ini layaknya mengisi kuota internet yang masa berlakunya 1 tahun, dengan tarif lebih murah,” katanya.

Selama ini, ungkap Zubir, masyarakat mengira ada kebocoran dalam retribusi parkir. Padahal, terangnya, dalam Qanun No.9 Tahun 2011 disebutkan retribusi parkir hanya masuk ke kas daerah 30 persen dan kepada pengutip 60 persen.

“Artinya, dari Rp1.000 hanya Rp300 yang masuk ke kas daerah. Sementara Rp600 masuk dalam kantong juru parkir sebab mereka tidak digaji oleh pemerintah,” jelasnya.

Ia menjelaskan, jika aturan parkir prabayar diberlakukan, masyarakat hanya akan membayar sekali parkir saja dalam sehari. “Tarifnya, untuk roda dua Rp100 ribu per tahun. Sedankan roda empat Rp300 ribu per tahun. Jika dibagi per bulan, untuk kendaraan roda dua tak sampai Rp9 ribu. Bila diperkecil lagi, mereka hanya bayar Rp300 per hari,” rincinya.

Pihaknya meyakini, tarif tersebut sama sekali tak memberatkan masyarakat. “Jujur saja, saya yang ke pasar seminggu sekali, harus parkir di lima tempat. Rp10 ribu pasti jatah parkir,” paparnya.

Karena itu, lanjut Zubir, memalui sistem prabayar nantinya masyarakat tidak lagi harus bayar parkir berulang. “Dengan sistem ini, juru parkir akan menjadi bagian dari Dinas Perhubungan dan akan digaji. Tugas mereka juga jauh lebih mudah. Hanya merapikan kendaraan agar lebih tertib,” tandasnya.[]

Komentar