Alat tenun Songket Tamiang [Nita Juniarti]
Alat tenun Songket Tamiang [Nita Juniarti]

Melestarikan kearifan lokal dan membantu perekonomian, membuat perempuan ini eksis menenun pakaian yang pernah nge-trend pada masa kerajaan Seruway.

Suara  kertak-kertak terdengar dari pintu masuk rumah Mariani (56) di Desa Pekan Suruway, Kecamatan Suruway, Aceh Tamiang. Dari rumah, dia menjalanakan usaha kerajinan songket yang diberi nama Lindung Bulan, yang sudah diwarisi secara turun-temurun. Benang warna-warni berjejer rapi di dalam lemari di tempat usaha tenun Lindung Bulan.

Kebutuhan hidup telah mendorong manusia untuk berfikir menciptakan segala sesuatu untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Misalnya karena kebutuhan melindungi tubuh, dibuatlah pakaian dari bahan dasar kapas, sehingga sejak saat itu muncul pakaian dari tenun di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, muculnya berbagai tenun dengan beragam motif dan hias yang bervariasi dengan arti yang berbeda.

Secara kajian sejarah, kain songket asal Tamiang mempunyai kesamaan dengan kain songket asal Malaka yang bermotif rebung. Motif ini ada kaitannya dengan salah seorang raja  di daerah Seruway, yaitu Zainal Abidin. Pakaian kebesarannya sampai sekarang masih dapat dilihat di Istana Seruway, berasal dari Malaka dan gaya jahitan kerahnya berpola Cina. Pola yang tertenun di pakaian tersebut adalah pucuk rebung menunjukkan ciri khas songket bagi orang-orang Melayu. Tetapi perbedaannya, motif Tamiang memiliki ciri tersendiri dengan sisi yang agak jarang dan kaku dibanding dengan motif songket dari daerah lain.

Hasil kebudayaan berupa songket tersebut menjadi identitas masyarakat Tamiang sehingga setiap hasil kebudayaan mempunyai makna simbolis yang patut untuk dikaji, misalnya motif pucuk rebung melambangkan harapan baik sebab bambu merupakan pohon yang tidak mudah rebah oleh tiupan angin kencang sekalipun. Motif pucuk rebung selalu ada dalam setiap kain songket sebagai kepala kain atau tumpal kain tersebut. Penggunaan motif pucuk rebung pada kain songket dimaksudkan agar si pemakai selalu mempunyai keberuntungan dan harapan baik dalam setiap langkah hidup.

Atas alasan nilai sejarah itulah, selain nilai ekonomis, Mariani hingga kini masih menenun songket Tamiang. Dia menjalankannya sendiri. Ketika lima tahun berjalan usahanya, ia didatangi Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Aceh dan diminta mengikuti pelatihan songket di Banda Aceh. Ia diberikan bantuan sepuluh alat tenun bukan mesin lengkap. Pada perkembangan selanjutnya usaha tenun Lindung Bulan selalu mendapatkan perhatian dari pemerintahan setempat baik berupa materi atau kunjungan serta diikutkan dalam beberapa acara dalam rangka memperkenalkan songket Tamiang.

Menurutnya, pembuatan songket tidaklah mudah. Jika sering dan serius bisa dikuasai dalam empat bulan. Penenun songket juga membutuhkan ketelitian dan fokus, karena ketika membuat songket, si penenun harus hafal benang mana yang tadi dipakai kemudian benang mana yang nanti akan dijalin lagi hingga membentuk sebuah kain. Tingkat kesukaran menenun sehelai songket tergantung pada motif yang dibuat. Benang disusun berdasarkan motif yang ingin dibentuk.

Mariani menjelaskan, ada beberapa bahan dasar dan alat yang digunakan dalam pembuatan songket, yang mencerminkan kearifan lokal setempat. Alat yang digunakan mempunyai istilah tersendiri misalnya, boom, merupakan gulungan benang yang digunakan sebagai bahan baku untuk kain yang melintang (panjang kain/benang lungsi); karap, yaitu alat untuk mengatur benang terdiri atas 2 bagian yaitu karap depan dan karap belakang; sisir adalah alat untuk menyisir dan memadatkan benang pakan supaya benang pakan menjadi rapat dan hasil tenunnya juga rapat.

Khusus sisir, kata Mariani, digunakan berdasarkan ketebalan benang. Semakin halus benang yang digunakan, maka nomor sisir yang digunakan juga semakin tinggi. Nomor sisir yang umum digunakan adalah sisir nomor 60, 70 atau 80 inchi. Berikut ada injak-injak, digunakan sesuai dengan letak teropong. Apabila teropong berada di sebelah kanan, maka injak-injak yang diinjak juga injak-injak yang sebelah kanan, begitu juga sebaliknya.

Selain alat di atas, ada pula alat bantu tenun misalnya seperti teropong/torak dan palet/anak torak yaitu tempat untuk meletakkan palet. Palet/anak torak adalah gulungan benang yang digunakan sebagai bahan baku untuk benang yang membujur pada kain (lebar kain/benang pakan). Benang yang diisikan pada palet disesuaikan dengan benang yang digunakan pada boom. Misalnya benang yang digunakan pada boom adalah benang sutera, maka sebaiknya benang yang digunakan pada palet adalah benang katun. Apabila benang yang digunakan pada palet juga benang sutera, disamping akan menyulitkan penenun saat proses pengerjaan, kain yang dihasilkan juga terlalu licin dan berkilau. Terakhir, cuban, yaitu alat bantu untuk menggulung benang.

Di balik alat-alat tersebut, cerita Mariani, penamaan songket pada dasarnya disandarkan pada metode pembuatannya; mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas. Biasaya songket selalu diartikan sebagai tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta. Lazimnya di Aceh kain songket menjadi bahan wajib untuk ‘pembawa tujuh’ atau asoe talam dari mempelai pria untuk mempelai wanita di saat pesta pernikahan.

Teknologi sederhana dalam pembuatannya menjadikan songket sebagai salah satu kearifan lokal yang wajib untuk dilestarikan meskipun songket harganya mahal. Mariani membuat songket berdasarkan pesanan dan harganya berkisar Rp300 ribu – Rp5 juta, bahkan ada yang lebih mahal tergantung kerumitan motif dan benang yang dihabiskan dalam pembuatan songket tersebut. “Songket yang cantik itu sangat cocok dipakai untuk acara resmi dan mewah untuk moment-moment keluarga yang tidak terlupakan,” ujarnya.[]

*Nita Juniarti berasal dari Aceh Barat Daya alumnus Sejarah Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry. Email : [email protected]. Tulisan ini berdasarkan pengamatan ke usaha rumahan Tenun Lindung Bulan di Desa Peukan Suruway, Kecamatan Suruway, Aceh Tamiang.

Komentar