Banda Aceh—Mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud Al-Haytar mengharapkan Undang-undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan MoU damai yang ditandatangani di Helsinky agar dijadikan sebagai pendidikan umum khususnya di provinsi itu.
“Artinya, seluruh masyarakat Aceh khususnya harus mengetahui dan memahami UUPA dan MoU Helsinky, sehingga dimasa mendatang tidak mudah untuk dilupakan,” katanya di Banda Aceh, Selasa (14/08).
Hal itu disampaikan Malik Mahmud yang juga menjabat sebagai pemangku “Wali Nanggroe” Aceh menanggapi peringatan tujuh tahun penandatanganan nota kesepahaman damai (MoU) Helsinky, Finlandia antara GAM dan Pemerintah RI pada 15 Agustus 2005.
MoU tersebut ditandatangani untuk mengakhiri konflik bersenjata berkepanjangan yang mengakibatkan ribuan korban jiwa di provinsi ujung paling barat Indonesia.
Malik Mahmud mengatakan, sebab di Aceh saja banyak orang yang tidak mengerti tentang MoU Helsinky dan UUPA, termasuk sejarah panjang hingga terciptanya perdamaian Aceh dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“MoU dan UUPA itu milik semua orang Aceh dan mari kita mendukung dan membangun Aceh ke depan yang lebih bermartabat,” katanya menambahkan.
Dipihak lain, ia juga mengakui banyak ada butir-butir dalam MoU serta pasal-pasal UUPA yang belum seluruhnya dapat diimplementasikan bagi pembangunan di Aceh.
“Karena itu kami telah mendorong Pemerintah Aceh untuk membentuk sebuah tim yang tujuannya bagi upaya singkronisasi dari UUPA tersebut,” katanya menjelaskan.
Malik Mahmud menjelaskan bahwa MoU merupakan sejarah penting bagi Aceh yang didera konflik bersenjata berkepanjangan, sebab upaya penghentian konflik memang sebelumnya telah dilakukan namun seakan-akan tidak ada jalan.
“Di Aceh sendiri ketika itu korban terus berjatuhan, dan kami di luar negeri (pengasingan) terus mencarikan jalan keluar untuk mengakhiri konflik. Alhamdulillah, pascatsunami maka sesuatu yang bersejarah itu yakni perdamaian terjalin dan konflik berakhir,” kata dia menambahkan.
Bahkan, Malik Mahmud juga menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres HM Yusuf Kalla saat itu sangat aspiratif mendorong perdamaian dengan pihak GAM.
“Kedua pemimpin bangsa Indonesia saat itu memiliki pandangan jauh bagi masa depan NKRI, khususnya Aceh. Karenanya, MoU Helsinky dan UUPA itu juga tidak hanya diketahui dan dipahami oleh rakyat Aceh, tapi juga para pejabat ditingkat pusat,” kata dia menjelaskan.
Dipihak lain, Malik Mahmud juga menyatakan bahwa GAM yang kini sudah berwujud sebagai partai politik lokal yakni Partai Aceh, maka bersama-sama seluruh komponen masyarakat harus terus menjaga kepentingan daerah (Aceh).
“Sebagai orang Aceh maka kita harus tahu menjaga kepentingan daerah jangan sampai dimasa mendatang ada pihak lagi yang mengkhianatinya,” kata dia.[ant]
Belum ada komentar