Korban Konflik Belum Terima Reparasi, Capaian Pemerintah Aceh Dipertanyakan

Lorong Ingatan 1998-2005 Menata Kenangan Konflik Masa Lalu. (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Lorong Ingatan 1998-2005 Menata Kenangan Konflik Masa Lalu. (Foto PM/Oviyandi Emnur)

PM, Banda Aceh – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menagih realisasi dari kebijakan Pemerintah Aceh terkait reparasi mendesak bagi 245 orang korban pelanggaran HAM masa lalu di Aceh.

Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra mengatakan, sebelumnya kebijakan itu diterbitkan lewat Surat Keputusan (SK) Gubernur Aceh, 2020 silam. Namun hingga kini kebijakan itu tak kunjung direalisasikan.

“Seharusnya tidak boleh sebatas SK gubernur saja, tapi yang namanya reparasi mendesak itu ya segera direalisasi dalam tahun yang sama dengan terbitnya SK tersebut. Kalau direalisasikan tahun berikutnya, maka tidak bisa digolongkan lagi sebagai reparasi mendesak,” ujar Hendra, Kamis (8/7/2021).

Untuk diketahui kembali, reparasi mendesak mengacu pada Qanun tentang KKR Aceh bertujuan untuk mendorong terjadi proses pengungkapan kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. Reparasi mendesak diberikan kepada mereka yang membutuhkan, sehingga proses pengungkapan kebenaran bisa berlangsung tanpa ada hambatan.

“Kondisi mendesak dalam reparasi kalau mau kita umpamakan dalam situasi bencana alam, mirip seperti proses emergency respon pasca bencana, di mana masyarakat terdampak bencana mesti dibantu dulu kebutuhan dasar pangan untuk dia bertahan hidup,” terangnya lagi.

Sementara itu, dalam SK Gubernur Aceh tentang penetapan reparasi mendesak bagi korban pelanggaran HAM, jenis layanan reparasi mendesak yang diberikan dapat digolongkan dalam: 1) layanan medis, 2) layanan psikologis, 3) bantuan usaha, 4) jaminan sosial bagi korban lansia, dan  5) layanan keperdataan.

Karena itu, KontraS Aceh berharap keseriusan pemerintah terhadap hal ini. Jika belum ada realisasi lantaran masih sebatas SK, menurutnya tidak tepat jika diklaim bahwa reparasi mendesak sebagai capaian 4 tahun Pemerintah Aceh dalam isu perdamaian.

“Kebijakan sejak 2020 yang belum ada realisasi, kok diklaim sebagai capaian?” tanya Hendra.

Ia juga menggaris bawahi, bahwa kritikan terhadap pemerintah harus dipandang sebagai upaya masyarakat sipil mendukung kinerja pemerintah untuk menciptakan Good and Clean Goverment.

“Kebijakan pemerintah tidak boleh hanya sebatas jargon tapi harus radikal dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat,” pungkasnya.(*)

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Surat
Surat

Surat