Oleh: Akbar Rafsanjani*
Siang yang hangat di Samalanga, sebuah kota kecil di pesisir timur Aceh, enam santri dari dayah Baitul Ihsan Al-Hanafiah, MUDI Mesra, dan Babussalam Al-Aziziyah duduk berkeliling di sebuah ruang belajar sederhana, warkop Rasie Kupi. Mereka tidak sedang mengkaji kitab atau mengikuti pengajian, melainkan mendiskusikan tentang sesuatu yang bagi sebagian orang di Aceh, masih dianggap tabu: pemutaran film
Pertanyaan yang diajukan dalam salah satu sesi kepada mereka tampak sederhana: “Jika kalian bisa memutar film untuk masyarakat gampong, film seperti apa yang akan kalian pilih?”. Tapi jawaban yang muncul membuka sebuah diskusi terkait peta sosial Aceh kontemporer; tentang politik uang dan olah suara yang menjangkiti pemilu lokal, tentang ketakutan akan bisnis narkoba di kalangan muda di Samalanga, dan tentang dana desa diselewengkan entah ke mana.
Bagi para santri ini, film bukan sekadar hiburan. Film adalah cermin. Dan mereka ingin memegang cermin itu.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari pelatihan programmer Gampong Film yang digagas oleh Aceh Documentary, sebuah lembaga film independen yang telah lama aktif memproduksi dan mendistribusikan film dokumenter dari dan tentang Aceh. Pelatihan ini adalah bagian dari Aceh Film Festival yang akan berlangsung di lima kota: Pidie, Samalanga, Lhokseumawe, Takengon, dan Aceh Besar. Samalanga menjadi kota kedua setelah pelatihan perdana yang dilangsungkan di Sigli, Pidie.
Di Samalanga, Aceh Documentary berkolaborasi dengan Pemuda Kader Dakwah (PAKAD). Menurut Tgk Martunis A. Jalil, ketua PAKAD cabang kecamatan Samalanga, program ini sangat cocok dengan visi misi PAKAD.
“Selama ini PAKAD bergerak untuk mengajak anak muda melakukan hal positif lewat media dan olahraga. Program pelatihan programmer Gampong Film yang diinisiasi oleh Aceh Documentary ini sangat cocok dengan apa yang menjadi visi misi PAKAD, yaitu memberikan stimulus positif, seperti memutar film yang edukatif” kata Tgk Martunis.
Yang membuat pelatihan ini berbeda bukan hanya soal pesertanya, para santri, tetapi juga diadakan di tengah komunitas pesantren yang dianggap oleh sebagian orang, konservatif.
“Selama ini, film terutama bioskop, dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam, kami ingin menunjukkan bahwa misi kami adalah merebut ruang gelap dari definisi sebagai ruang maksiat,” ujar salah Jamaluddin Phonna, salah satu fasilitator pelatihan saat memberikan materi pengantar programmer film.
“Di sini kita tidak hanya mengajarkan kepanitiaan pemutaran film yang sangat teknikal. Tetapi kita juga mendiskusikan bagaimana film bisa menjadi bagian dari dakwah, propaganda dan katalis perubahan sosial,” tambahnya.
—-
Ketika saya berbincang dengan beberapa santri saat break dari sesi materi, mereka tampak bersemangat bercerita tentang aktifitas produksi dan rencana penayangan film-film tersebut saat penutupan lomba Muharram, salah satu program tahunan di hampir semua pesantren di Aceh untuk menutup satu tahun belajar.
“Kami membuat film berdurasi 3 menit berjudul ‘dokumen rahasia’, sebagai video promosi pesantren” cerita Tgk Yassar.
Di sesi lain, para peserta diminta untuk merancang program film. Mereka harus membayangkan siapa penonton mereka; santri, keluarga, masyarakat, wali santri, atau bahkan kepala desa. Mereka juga diminta untuk merancang pemutaran film yang tidak hanya relevan, tetapi juga menggugah, menjadi katalis perubahan.
Para fasilitator tidak memilih film-film siap tonton, tetapi memberikan beberapa usulan untuk kemudian dibuatkan program serta catatan Programmer/Kuratorial. Mereka mendorong para santri untuk mencari sendiri, membaca sinopsis, membedah tema, menyesuaikan dengan konteks lokal, yang cocok dengan audiens mereka sendiri. Di sinilah pelatihan ini menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar workshop teknis dan kaderisasi. Ini adalah proses pendidikan budaya.
Yang paling mengejutkan, mungkin, adalah kenyataan bahwa sebagian besar santri tidak melihat film sebagai ancaman maupun sesuatu yang melanggar syariat.
Sebaliknya, mereka melihat film sebagai wahana dakwah baru, sebuah cara untuk menyampaikan nilai dan kritik sosial tanpa harus berkhotbah.
—-
Aceh telah lama bergulat dengan posisi sinema dalam ruang publiknya. Sejak diberlakukannya syariat Islam, diskusi tentang boleh tidaknya bioskop seringkali mandek pada soal moralitas. Sebagian kalangan menganggap bioskop sebagai pintu masuk hedonisme, tempat bercampurnya laki-laki dan perempuan yang tidak mahram, tempat konten-konten luar merusak tatanan lokal. Tapi perdebatan ini seringkali mengabaikan satu hal penting: bahwa sinema bisa dibentuk dari dalam. Bahwa film tidak selalu datang dari luar. Bahwa anak-anak muda Aceh bisa menjadi pembuat, pengkurator, dan penyaji film untuk komunitas mereka sendiri.
Aceh Documentary, dengan pelatihan ini, mencoba membalik narasi tersebut. Mereka tidak datang dengan argumen bahwa sinema itu baik atau buruk. Mereka datang dengan pertanyaan: “Bagaimana kalau kita membuat ruang nonton film yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan masyarakat Aceh?”
Pelatihan programmer film ini adalah bentuk konkret dari pertanyaan itu. Ia melatih generasi muda yang akrab dengan teknologi, tapi juga teguh dalam nilai agama, untuk menjadi kurator, penyelenggara, dan fasilitator ruang sinema alternatif. Bukan bioskop dalam arti komersial, tapi ruang komunitas, aula pesantren, atau balai desa yang difungsikan sebagai tempat menonton dan berdiskusi.
Aceh Documentary juga membuka peluang untuk memperluas kolaborasi ini ke lebih banyak pesantren. Tujuannya bukan hanya menjaring penonton baru, tetapi menciptakan jembatan antara komunitas film dan institusi keagamaan. Di tengah polarisasi wacana tentang seni dan agama, kolaborasi ini bisa menjadi jalan tengah yang produktif.
Pelatihan ini bukan tentang membawa sinema ke pesantren, tetapi tentang bagaimana pesantren mulai berbicara dalam bahasa sinema. Dan di Samalanga, kita melihat benih dari sesuatu yang lebih besar: kemungkinan bahwa masa depan film di Aceh akan lahir dari tempat yang selama ini tidak kita duga dari kitab, dari serambi masjid, dari para santri yang ingin menonton dan membuat film bukan untuk sekadar hiburan, tetapi untuk perubahan. []
*Penulis merupakan programmer film di Aceh Documentary
2 Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)