Banyak pengelola dan supir bus membandel. Kerap terjaring razia, bus tidak dilengkapi tanda lulus uji berkala dan para supir yang tak memiliki SIM.
Kaca bagian depan bus remuk. Jaring pelindung di balik kaca yang terbuat dari baja ringan tak kuasa menahan hantaman pepohonan. Bagian depan bus Sempati Star dengan nomor polisi BL 7453 AA ini juga ringsek. Bus ini mengalami kecelakaan tunggal di Jalan Banda Aceh-Medan, Gampong Lon Baroh, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar.
Bus yang dikemudikan oleh M Yamin (50), warga Pidie Jaya, bersama kernet Hasan Basri, warga Aceh Timur, mengalami kecelakaan tunggal dan masuk ke kebun jagung sekira pukul 10.00 WIB, Jumat 27 Oktober 2017. Sebelum menerobos kebun warga, bus ini sempat mengantam salah satu warung tebu di tepi jalan.
Beruntung, tak ada korban jiwa dalam tragedi tersebut. Bus yang meluncur dari arah Medan-Banda Aceh ini tak berpenumpang, hanya berisi supir dan kernet. “Bus itu hilang kendali karena diduga supir mengantuk. Bus sempat menghantam sebuah kios warga sebelum akhirnya meluncur ke kebun jagung sejauh hampir 100 meter dari badan jalan,” tutur kapolres Aceh Besar AKBP Heru Suprihasto .
Kecelakaan ini bak mengulang kejadian serupa di Aceh Utara. Tiga hari sebelumnya, bus Sempati Star juga mengalami kecelakaan lalu lintas di depan Stasiun Pengisian Bahar Umum (SPBU) Desa Ceumpedak, Kecamatan Tanah Jambo Aye. Laka lantas ini terjadi pada Selasa, 24 Okotober 2017 dini hari.
Bus Sempati Star yang melaju kencang dari arah Banda Aceh menuju Medan menghantap sebuah dum truk yang hendak berbelok ke SPBU Ceumpedak.
Tabrakan tak sempat dihindari. Akibatnya, bus tipe scania ini rusak parah di bagian depan. Sementara pintu dum truk di samping sopir rusak berat. Meski tak ada korban jiwa, sopir dum truk sempat dikarikan ke Puskemas terdekat karena mengalamai luka-luka.
Kejadian paling parah terjadi empat hari sebelumnya, atau tepatnya pada Jumat (20/10) dini hari. Dua bus Sempati Star terlibat laga kambing di Aceh Utara, tepatnya di kawasan Meunasah Drang, Kecamatan Muara Batu. Kecelakaan maut yang terjadi di Lintas Nasional Banda Aceh–Medan sekira pukul 02.30 WIB itu menyebabkan dua orang meninggal dunia.
Laga kambing antara Sempati Star BL 7751 AA yang dikemudikan M Ali (45) dari arah Banda Aceh menuju Medan dengan bus Sempati Star BL 7704 AA dari arah Medan menuju Banda Aceh tersebut mengesankan lemahnya standar keselamatan yang diterapkan peerusahaan bus.
Bus yang dikemudikan Ali bergerak dari arah Banda Aceh mencoba mendahului sebuah mobil tangki dengan mengambil jalur kanan jalan. Tiba-tiba, dari arah berlawanan datang bus Sempati Star lain sehingga tabrakan tidak bisa terelakkan lagi.
Korban yang meninggal dunia merupakan kernet dari kedua bus, yakni Saiful Bahri (24) asal Desa Masjid, Kecamatan Syamtalira Aron dan Zaini (51), warga Sigli, Pidie. Sementara 14 orang lainnya mengalami luka ringan.
Tiga kecelakaan beruntun dalam satu pekan di peghujung Oktober itu menjadi catatan buruk perhubungan Aceh. Ketiga kecelakaan ini melibatkan empat bus dari perusahaan sama, Simpati Star, di mana satu kecelakaan adalah laga kambing antara sesama bus Sempati Star.
Pihak perusahaan enggan dimintai keterangan. Saat Pikiran Merdeka mengunjungi Pool Simpati Star di Lueng Bata, Banda Aceh, Selasa pekan lalu, perlakuan tidak menyenangkan didapat dari petugas keamanan yang sedang berjaga.
“Semua orang besarnya gak ada di sini,” ujar sang petugas dengan nada ketus saat Pikiran Merdeka menanyakan pengelola perusahan angkutan darat itu.
Pikiran Merdeka berusaha mengajak ngobrol Satpam tersebut seraya menanyakan nomor pihak pengelola, namun lagi-lagi dia mengaku tidak memiliki satupun nomor kontak pengelola bus. Dia lantas meminta Pikiran Merdeka keluar dari gedung tersebut. “Tidak ada nomornya sama saya, ya keluar aja dari sini,” kata Satpam sambil menutup pintu gerbang.
Beberapa menit kemudian ketika pintu kembali terbuka, Pikiran Merdeka mencoba menemuinya lagi namun lagi-lagi ia tidak mau berkomentar apapun. “Apalagi sih, jangan di sini (dibagian dalam gedung) kalau mau ngobrol di luar aja,” sahut dia dengan nada tinggi dan raut wajah kesal.
Melihat perdebatan tersebut petugas keamanan lainnya menghampiri dan memberi arahan untuk langsung ke travel yang ada di Batoh. “Mereka (pengelola) ada di sana,” timpal dia.
Pikiran Merdeka lalu mencoba mendatangi Travel Simpati Star di Komplek Terminal Bus Batoh. Namun, pihak travel malah menyatakan sebaliknya. Dia menyebutkan jika pihak pengelola berada di kantor Pool Simpati Star, Lueng Bata. “Bisa langsung ke (kantor) Lueng Bata aja, di sini enggk ada. Tapi saya punya nomornya (pengelola),” ujar sekarang wanita yang bekerja sebagai taller travel tersebut.
Wanita itu pun memberikan nomer ponsel Gade, orang yang ia maksud sebagai atasannya. Namun, saat di hubungi sejak Selasa malam hingga Jumat sore, Gade mengaku tidak punya waktu untuk diwawancarai.
“Hari ini ada janji, insya Allah saya kabarkan nanti,” balasan pesan yang diterima Pikiran Medeka pada Rabu sore. Hingga Sabtu, 4 Oktober, Gade tak kunjung memberi jawaban kapan ia bersedia diwawancarai.
KELALAIAN SUPIR
Tiga kecelakaan bus yang terjadi dalam sepekan di penghujung Oktober 2017 tentu bukan tanpa penyebab. Meskipun pihak kepolisian sedang mengusut kasus tersebut, namun diduga faktor supir yang ugal-ugalan menjadi penyebab utama.
Sumber Pikiran Merdeka yang menolak identitasnya ditulis mengatakan, sejak beroperasinya bus baru oleh berbagai perusahaan bus di Aceh, juga berbanding lurus dengan kebutuhan supir. Menurut dia, para supir yang direkrut pihak manajemen bus lebih banyak berlatar belakang supir angkutan mini bus atau istilah bekennya supir L-300.
Dengan latar belakang para supir mini bus ini yang memang dikenal ugal-ugalan, kebiasaan itu akhirnya terbawa pada saat mengemudikan bus dengan badan besar dan panjang. Menurut dia, meskipun para sopir ini harus melewati jenjang dengan menjadi kernet terlebih dahulu sebelum menjadi supir utama, namun sering kali kecelakaan terjadi saat supir utama digantikan oleh kernet.
Selain itu, kelayakan bus juga menjadi sorotan. Masih menurut sumber tadi, saat ini masih ada bus yang tidak dilengkapi uji berkala dan tanda lulus uji berkala.
Persoalan ini juga disoroti oleh pengamat transportasi publik, Zainudin Hasan. Menurut akademisi dari Fakultas Teknik Unsyiah ini, ada beberapa penyebab seringnya terjadi kecelakaan, terutama kecelakaan bus. “Kecelakaan lalu lintas itu biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya kesalahan infrastruktur, bencana alam, human eror (kesalahan manusia), dan kurangnya sarana prasarana dari bus itu sendiri,” kata Hasan yang juga anggota komunitas pecinta bus di Aceh.
Melihat kondisi di Aceh, menurutnya, faktor pemicu utama kecelakaan akhir-akhir ini adalah human eror. “Human eror seperti sopir yang mengantuk, sopir yang ugal-ugalan. Harusnya bus-bus yag ada sekarang ini limit kecepatannya dibatasi supaya tidak adalagi bus yang ngebut-ngebut. Bisa dibatasi sampai 100 km/jam,” katanya.
Kenapa sampai 100 kilometer per jam? “Menurut saya, kalau 100 itu sudah stabil. Kalau di Malaysia, itu sudah dibuat. Ada stiker yang dipasang di bus mengenai limit tersebut. Pembatasan limit akan membuat bus dengan kecepatan tinggi akan terkontrol. Walaupun spidometernya 140 km/jam atau berapapun namun kecepatannya hanya dapat digunakan sampai 100 km/jam,” jelas dia
Selain itu, sambung dia, manajemen perusahaan yang kurang baik juga menjadi salah satu faktor pemicu kecelakaan. Bisa saja manajemen perusahaan kurang memperhatikan karyawannya dan kondisi bus itu sendiri. Analisa Hasan, pihak perusahaan mengutamakan kejar setoran sehingga mengabaikan kondisi keamanan bus, seperti kejar-kejaran di jalanan.
Menurutnya, perlu dari pihak perusahaan untuk memberikan sosialisasi pada pengemudi dengan mengadakan pelatihan-pelatihan, dan memberikan pembatasan waktu untuk sopir bekerja perhari. “Baiknya para sopir bekerja 6 jam dengan sistem pergantian shift,” katanya.
Perusahaan juga diharapkan memberikan pelayanan kepada sopir, misalnya memberikan waktu tidur yang baik. “Kadang-kadang kita lihat beberapa sopir bus yang sudah bekerja seharian penuh, kemudian dibebankan dengan pekerjaan lain lagi seperti mencuci bus. Makanya dia kelelahan sehingga membuatnya mengantuk. Umur juga mempengaruhi kecakapan sopir. Biasanya, orang yang sudah tua itu tidak mampu lagi untuk berkendara jauh,” jelasnya.
Dia juga mencontohkan, peristiwa kecelakaan yang terjadi di Lembah Seulawah akibat kurangnya pengawasan manajemen perusahaan. Kasus Simpati Star yang masuk ke sungai di samping SPN Seulawah itu diakibatkan sopirnya tidak bisa membaca medan jalan. “Supir itu biasanya mengemudi dengan rute Medan-Takengon, pada saat dia disuruh ke Banda Aceh, dia tidak bisa membaca medan,” katanya.
Karena itu, menurut Hasan, seharusnya perusahaan juga mengatur dengan tegas persoalan tersebut. “Seua ini perlu diperhatikan dengan serius, agar kecelakaan akibat human error dapat dihindari,” katanya.
DPRA PRIHATIN
Seringnya terjadi kecelakaan di Aceh belakangan ini juga mengundang keprihatinan Wakil Ketua Komisi IV DPR Aceh Asrizal Asnawi. Ia mengaku prihatin dengan kecelakaan sejumlah bus penumpang miilik PT Simpati Star.
Asrizal juga menuding Dinas Perhubungan Aceh tidak melakukan pemeriksaan terhadap angkutan orang yang ada di Aceh. “Selama ini, Dishub hanya memperpanjang surat saja tanpa melakukan pemeriksaan,” kata Asrizal kepada Pikiran Merdeka, Senin (30/10).
Menurut dia, selama ini Dinas Perhubungan tidak pernah serius melakukan uji terhadap bus yang beroperasi di Aceh. “Dinas Perhubungan tidak pernah melakukan uji kendaraan terhadap bus.”
Terkait uji kelayakan bus di Aceh, kata dia, hanya dilakukan menjelang lebaran dan hari-hari besar lainnya. “Mana pernah diperiksa, hanya surat saja yang diperpanjang. Kalaupun ada diperiksa saat mudik lebaran, itu pun hanya formalitas,” ujar Asrizal dengan nada kesal.
Ia juga menyoroti para supir bus yang direkrut perusahaan tanpa melalui uji kesehatan dan narkoba. Sementara pemeriksaan tes urine terhadap sopir, menurutnya, pihak Dinas Perhubungan juga tidak pernah melakukannya. “Padahal, ini sangat penting dilakukan untuk keselamatan penumpang,” tegasnya.
Untuk menghindari kejadian ini, Asrizal berharap Dishub Aceh menaruh perhatian kepada tiga kasus terakhir yang menimpa bus milik PT Sempati Star. Menurutnya, kecelakaan bus dapat terminimalisir dengan dilakukannya pemeriksaan secara berkla oleh Dinas Perhubungan. “Dinas Perhubungan secara berkala harus melakukan pemeriksaan kondisi fisik bus yang beroperasi di Aceh,” pintanya.
Menyikapi tiga kecelakaan yang terjadi di Aceh Utara dan Aceh Besar, Kepala Seksi Sarana dan Angkutan Dinas Perhubungan Provinsi Aceh, Al- Qadri menjelaskan, pihaknya telah mengatur setiap kelayakan kendaraan sebelum memberikan izin jalan bagi perusahaan angkutan darat.
“Sebelum memberikan ijin kami memang terlebih dahulu mengecek kelengkapan syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai dengan KM 35 Tahun 2003,” jelas Al Qadri kepada Pikiran Merdeka di ruang kerjanya, Kamis (2/11).
Syarat-syarat yang dimaksudkan dalam KM 35 tersebut antara lain perusahaan harus memiliki minimal 5 mobil angkut, harus ada Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Ijin Tempat Usaha (SITU), keanggotaan Organda, adanya pool, adanya bengkel, perusahaan harus berupa PT, Perum, ataupun Koperasi. “Perizinan diberikan dalam jangka waktu 5 tahun, selanjutnya perusahaan wajib memperbaharui surat ijin,” bebernya.
Dalam pengawasannya, lanjut dia, pihak Dishub selalu bekerja sama dengan pihak kepolisian. “Setiap kali razia kita lakukan dengan pihak kepolisian. Karena yang berhak menyetop kendaraan kan kepolisian. Yang kita periksa adalah KPS (kartu pengawasan) dan buku uji. Yang kita tilang itu STNK lalu kita serahkan ke kepolisian,” sebut Al-Qadri.
Diakuinya, dalam tahun ini pihaknya telah melakukan beberapa razia terhadap angkutan orang. Dalam razia tersebut, ada saja pihak bus yang membandel. “Kami juga melakukan pengawasan setiap tahunnya terhadap kendaraan angkutan trayek tersebut. Setiap tahunnya Dishub melakukan delapan sampai sembilan kali razia di seluruh kabupaten/kota di Aceh,” tegasnya.
Al Qadri menegaskan, Dishub juga menjatuhkan sanksi kepada bus-bus yang menyalahi aturan trayek. “Jika mereka melanggar trayek yang telah diberi ijin, maka akan kami tilang. Misalnya bus-bus yang trayeknya Banda Aceh-Meulaboh tapi di lapangan mereka beroperasi di luar trayek, maka itu akan kami tilang.”
Hasil razia Dinas Perhubungan menunjukkan, kebanyakan angkutan penumpang melanggar UU Nomor 22 Tahun 2009 pasal 288 dan 308. Adapun isi pasal 288 yaitu mengenai kendaraan tidak dilengkapi Surat Tanda Nomor Kendaraan dan Surat Izin Mengemudi, tidak dilengkapi dengan uji berkala dan tanda lulus uji berkala. Sedangkan pada pasal 308 disebutkan poin mengenai kendaraan yang tidak memiliki ijin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek dan menyimpang dari izin yang ditentukan.
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Organisasi Angkutan Darat (Organda) Provinsi Aceh Ermansyah menampik tudingan informasi bahwa kebanyakan bus beroperasi secara tidak layak. Ia menegaskan, perusahaan bus yang merupakan anggota Organda telah melengkapi syarat-syarat uji kelayakan.
“Sebelum ke Dinas Perhubungan, mereka telah mendaftar ke kami dulu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan,” kata Ermansyah di kantor DPD Organda Aceh, Jumat pekan lalu.
Namun, ia mengakui maraknya kecelakaan yang terjadi belakangan ini disebabkan kelalaian sopir. Padahal, kata dia, pihak Organda sering memberikan pelatihan-pelatihan kepada sopir-sopir yang menjadi anggotanya selain dari perusahaan sendiri. “Sopir diatur langsung dengan perusahaan yang bersangkutan, namun dari pihak Organda bekerja sama dengan Jasa Raharja, kita berikan training. Juga kita adakan pemilihan sopir-sopir teladan dengan mengundang seluruh sopir untuk mengikutinya,” terangnya.
Dalam pelatihan tersebut dibahas mengenai keselamatan berlalu lintas, bagaimana cara berkendara agar penumpang nyaman, dan bagaimana cara menjaga kondisi kendaraannya. “Seorang sopir juga harus tahu bagian-bagian teknik kendaraannya,’ ungkapnya.
Ermansyah juga menuturkan, setiap peristiwa kecelakaan, pihak perusahaan juga melapor ke Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Organda untuk menyelesaikan permasalahan yang tidak dapat ditangani pihak perusahaan. “Jika perusahaan yang bersangkutan sanggup menangani, maka hal itu tidak sampai ke Organda. Yang menjadi kendala dari perusahaan maka Organda akan ikut membantu. Misalnya masalah yang terjadi dikepolisian atau ada permaslahan klaim asuransi. Organda siap menjembatani jika ada hal-hal demikian,” tutup Ermansyah.[]
Belum ada komentar