PM, Jakarta – Tm Penyidik Jam Pidsus Kejaksaan Agung RI kembali memeriksa tiga saksi terkait perkara dugaan korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Rabu, 1 September 2021. Salah satu saksi yang diperiksa tersebut merupakan mantan Direktur Pelaksana II Departemen Divisi UKM Periode 2016 berinisial IWS.
“(IWS) Diperiksa terkait fasilitas kredit kepada debitur LPEI diantaranya PT Cipta Srigati Lestari (CSL) tahun 2018, PT Elite Paper Indonesia tahun 2016, PT Everbliss Packaging Indonesia tahun 2017, PT Kemilau Kemas Timur tahun 2017, PT Permata Sinita Kemasindo tahun 2017, PT Summit Paper Indonesia tahun 2017, CV Prima Garuda tahun 2016, CV Inti Makmur tahun 2016, CV Abayagiri Timur tahun 2016, CV Multi Mandala tahun 2016 dan PT Mulya Walet Indonesia tahun 2013 dan 2014,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, SH, Rabu, 1 September 2021.
Selain IWS, penyidik juga memintai keterangan dari AA selaku mantan Analis Risiko Bisnis periode 2012-2016 pada LPEI. AA diperiksa terkait fasilitas kredit kepada debitur LPEI diantaranya PT Cipta Srigati Lestari (CSL) tahun 2018, PT Elite Paper Indonesia tahun 2016, PT Everbliss Packaging Indonesia tahun 2017, PT Kemilau Kemas Timur tahun 2017, PT Permata Sinita Kemasindo tahun 2017, PT Summit Paper Indo-nesia tahun 2017, CV Prima Garuda tahun 2016, CV Inti Makmur tahun 2016, CV Abayagiri Timur ta-hun 2016, CV Multi Mandala tahun 2016 dan PT Mulya Walet Indonesia tahun 2013 dan 2014.
Selanjutnya penyidik juga memintai keterangan dari EM selaku mantan Kepala Departemen Unit Bisnis periode 2014-2016 pada LPEI.
EM menurut Leonard, diperiksa terkait fasilitas kredit pada PT Elite Paper Indonesia tahun 2016, PT Permata Sinita Kemasindo tahun 2016, PT Summit Paper Indonesia tahun 2016, PT Kemilau Harapan Prima tahun 2016.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI,” pungkas Leonard.
Sebelumnya penyidik Jam Pidsus juga telah memintai keterangan dari lima saksi terkait kasus yang sama. Kelimanya adalah DH selaku Dirut PT Arkha Forging Indonesia, JS selaku Analis pada Divisi Analisa Resiko Bisnis tahun 2014, MDSM selaku RM pada Divisi Pembiayaan Bisnis II Tahun 2013, YT selaku Kadiv Pembiayaan Bisnis II Tahun 2013, dan YTP selaku Kadiv Restrukturisasi Aset II LPEI.
Kejagung mulai memeriksa saksi-saksi setelah menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021. LPEI awalnya diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera, dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.
“Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen risiko dalam posisi colektibility 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019,” ungkap Leo, seperti dilansir gatra.com, 14 Agustus 2021.
LPEI di dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional kepada para debitur atau perusahaan penerima pembiayaan tersebut, diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet atau non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39%.
Selanjutnya, berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian tersebut dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
Berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini, kata Leo saat itu, untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan di antaranya disebabkan oleh ke-9 debitur tersebut di atas.
Salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet, yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia.
S merupakan direktur utama di tiga perusahaan tersebut.
Pihak LPEI, lanjut Leo, yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.
Akibat hal tersebut di atas menyebabkan debitur, dalam hal ini Group Wallet, yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia dikatagorikan Colectibity 5 atau macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar RpRp683,6 miliar.
“[Angka Rp683,6 miliar tersebut] terdiri dari nilai pokok Rp576 miliar ditambah denda dan bunga sebesar Rp107,6 miliar,” katanya.[]
Belum ada komentar