Eka Nicmatulhuda

Wanita tak hanya bisa berpose depan mata kamera, tapi juga cekatan di balik lensa.

Puluhan wanita berkumpul dalam kegiatan diskusi fotografi di kantor Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Banda Aceh, Kamis siang (01/03/2018) lalu. Ada yang berasal dari kalangan jurnalis dan sebagian lagi hobies fotografer. Sekitar pukul 14.15 WIB, diskusi fotografi khusus perempuan dimulai. Seorang wanita bertubuh atletis dengan gaya yang energik memandu diskusi tersebut.

Adalah Eka Nicmatulhuda, seorang fotografer wanita senior yang telah mengahasilkan ratusan karya lewat lensa. Siang itu, Eka duduk bersila di atas kursi. Dengan cekatan ia membahas pengalamannya selama bekerja sebagai jurnalis foto.

Di hadapan para peserta, Eka memperkenalkan diri dan menceritakan beberapa rekam jejak kariernya sebagai jurnalis foto. “Aku memulai karier sebagai fotografer dari magang di kantor berita Antara, setelah itu di Tempo dan kemudian memutuskan untuk freelance,” ujarnya, membuka perkenalan dengan peserta.

Profesi yang masih didominasi oleh lelaki itu tidak membuatnya sirih. Bagi Eka, menjadi srikandi di tengah-tengah mereka adalah suatu keberuntungan. Namun gender bukanlah halangan untuk berkarya. “Menjadi jurnalis foto perempuan adalah keberuntungan. Banyak tempat-tempat yang hanya bisa diakses oleh perempuan, sedangkan lelaki tidak,” ucapnya.

Dalam dunia fotografi, awalnya ia tidak memiliki ketertarikan apapun. Fotografer cantik asal Jakarta ini mengaku dirinya tak sengaja berkecimpung di dunia jurnalis foto.

“Awalnya aku lebih tertarik ke TV. Aku lebih menyukai kamera video, tapi saat itu tidak ada perusahaan TV yang mau nerima aku. Sampai akhirnya peluang untuk magang cuma ada di Antara, itu pun sebagai jurnalis foto,” cerita Eka saat ditemui seusai kegiatan diskusi foto di salah satu kedai kopi di kawasan Kuta Alam, Banda Aceh.

Awalnya, Eka setengah hati menekuni dunia foto jurnalistik. Perlahan ia mulai menyukainya. Setelah selasai magang di Antara, pada tahun 2005 Eka mulai bekerja menjadi stringer di Majalah Tempo.

“Selama di Tempo, hitungannya kaya freelance juga. Aku nyari isu liputan sendiri terus kirim ke kantor, ada yang tayang dan ada yang enggak. Tapi di situlah aku belajar untuk selalu memperbaiki hasil-hasil karyaku,” cerita wanita 38 tahun ini.

Pada tahun 2009, Eka memutuskan untuk menjadi freelance fotografer. Dia keluar dari Tempo dan menjadi fotografer lepas. Selama freelance, Eka harus berusaha keras menjual foto-fotonya.
“Bagi freelance untuk ngejual foto single agak susah sih. Jadi kita mesti berusaha untuk membuat ide-ide foto cerita yang menarik,” kata Eka.

Belakangan ini Eka lebih fokus kepada isu-isu perempuan. Menurutnya, apa yang akan dibahas mengenai perempuan itu selalu menarik.

“Isu paling menarik itu ketika aku buat personal projek mengenai AIDS yang menimpa perempuan-perempuan di Papua. Di sana banyak ibu rumah tangga yang kena AIDS yang menjadi ‘oleh-oleh’ dari suaminya. Istilahnya yang jajan suaminya tapi yang nerima penyakit itu istrinya,” cerita Eka.

Ia sangat menyayanggkan kejadian seperti ini. Menurutnya, masyarakat sejauh ini hanya menilai bahwa hanya perempuan yang bersalah dalam hal ini. Sedangkan di sisi lain ada lelaki yang menjadi dalangnya.

Sebelum profesional di bidangnya, Eka juga memiliki cerita menarik demi menempuh keprofesionalannya itu. Fotografer alumni IPB ini pernah berhutang untuk membeli kamera. “Waktu itu karena udah kerja di Tempo, aku harus punya kamera dong, karena dari keluarga juga enggak ada yang menekuni dunia fotografi,” kisahnya.

Untuk beli kamera, Eka terpaksa meminjam uang pada pamannya. “Sama paman aku juga dibuat profesional. Setiap bulan aku wajib mencicil utangku sebesar Rp2 juta,” cerita Eka.

Karena beban hutang itulah Eka menjadi sangat giat untuk memotret. “Oleh editorku di Tempo, aku dikasih pekerjaan sama dia yang setiap hari itu sudah pasti tayang. Walaupun waktu itu per foto hanya dibayar Rp25 ribu-50 ribu r, cukuplah untuk aku mencicil kamera,” lanjutnya.

Setelah magang di Tempo, Eka juga pernah magang di kantor berita asing seperti Philiphine Daily Inquirer. Waktu itu Eka memutuskan untuk ke Filipina sendirian hingga pada akhirnya ia bertemu dengan seorang jurnalis setempat, Danish, dan ditawarkan untuk bekerja di sana.

“Awalnya aku jumpa Danish waktu liputan gempa di Jogya tahun 2006. Aku jadi fixernya waktu itu. Setahun kemudian aku ke Filiphine dan jumpa Danish lagi. Dia kemudian bantu aku buat kerja di Philiphine Daily Inquirer,” kisah Eka.

Selama kurang lebih satu bulan di sana puluhan foto Eka telah dimuat di media itu pada awal-awal karirnya. Saat ini, karya-karya nya telah dimuat di beberapa media luar negeri seperti Reader Digest (edisi asia), Weekend Australia Magezine, Discovery Channel UK, Asia Views, Tempo English Edition, Jakarta Globe, Travelounge, dan publikasi media lainnya di Indonesia.[]

Komentar