Anak Muda Perlu Berperan Lebih dalam Pemajuan HAM di Aceh

WhatsApp Image 2021 03 11 at 16 53 34 1
Webinar Human Rights Goes to Campus, bertema ‘Generasi Muda Memandang Martabat Manusia dan Keindonesiaan’, Rabu (10/3/2021). [Dok. Ist]

PM, Banda Aceh – Peran pemuda sangat penting dalam pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Mengingat, mayoritas penduduk di Indonesia saat ini merupakan generasi Z dan milenial, yang dianggap mampu mendorong negara untuk lebih aktif dalam upaya pemenuhan HAM.

Direktur Institut Ungu, Faiza Mardzoeki mendorong generasi muda aktif mendiskusikan masalah HAM dan berpartisipasi memperjuangkannya.

Hal itu disampaikannya dalam Webinar Human Rights Goes to Campus, Rabu lalu (10/3/2021) dengan tema ‘Generasi Muda Memandang Martabat Manusia dan Keindonesiaan’. Kegiatan itu dalam rangka perayaan IWD dan Hari HAM internasional 2021.

“Tujuannya untuk memperkenalkan dan mendiskusikan masalah-masalah Hak Asasi Manusia untuk generasi muda melalui webinar, aksi kampanye dan pentas budaya tentang pemenuhan HAM di Aceh. Kami ingin mahasiswa terlibat aktif bersama memahami kondisi pemenuhan HAM di Indonesia,” kata Faiza.

Human Rights Goes to Campus direspons positif oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) USK, Prof. Taufik Fuadi Abidin. Kata dia, HAM sudah sejak lama menjadi isu sangat penting di Indonesia, terkhusus di Aceh.

“Kita sangat membutuhkan pemikiran dan kontribusi kelompok muda,” ujarnya.

Sementara itu, penulis dan peneliti lepas, Raisa Kamila dalam kesempatan itu mengatakan, anak muda bisa mendorong negara agar lebih aktif memperhatikan HAM. Pemahaman HAM yang mendasar perlu dipahami sebagai suatu konsep yang sangat penting untuk menciptakan dunia lebih adil dan aman.

Di sisi lain, ia mengakui persoalan HAM di Indonesia sangat kompleks, dan banyak catatan buruknya. Mulai dari persoalan masa lalu yang tidak terselesaikan serta diabaikan negara.

“Korban pelanggaran HAM banyak dari perempuan, anak-anak dan pekerja. Berbagai pelanggaran terjadi di masa lalu karena dalih keamanan dan persatuan NKRI, termasuk pada masa orde baru dan masa peralihannya yang penyelesaiannya tidak benar-benar tuntas,” tegas Raisa.

Penyadaran ini harus disuarakan kembali oleh pemuda. Pengurus ALSA USK, Raudhatul Jannah menjelaskan, kelompok muda harus berperan aktif. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), tuturnya, lebih dari 50 persen penduduk Indonesia merupakan generasi Z dan milenial sebanyak 25 persen.

“Total sangat fantastis untuk menggerakkan masa dalam berpartisipasi. Yang dapat dilakukan oleh anak muda seperti halnya aksi kamisan,” kata Raudhatul Jannah.

Pemenuhan HAM di Masa Konflik

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati menyoroti kondisi pemenuhan hak perempuan korban kekerasan di masa konflik dan damai Aceh. Ia mengatakan, perempuan korban konflik masih ada yang belum mendapatkan hak-haknya, termasuk pemulihan sehingga masih traumatik dan tidak berdaya secara ekonomi.

Hal itu tak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Riswati menambahkan, pada kasus kekerasan seksual, pelaku hanya dijatuhi hukuman cambuk.

“Sehingga mengganggu proses pemulihan korban karena korban dapat bertemu kembali dengan pelaku di komunitasnya,” kata Riswati.

Tak hanya itu, menurut dia, hak restitusi juga jarang didapatkan korban. Bahkan, ada korban yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarga atau komunitasnya sehingga harus berpindah tempat tinggal.

Dengan kondisi tersebut, ia mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual di Aceh sudah masuk kategori darurat. Pemerintah didesaknya untuk mengimplementasikan kebijakan yang melindungi hak-hak korban.

“Tentunya dengan alokasi anggaran yang memadai, serta penaganan yang terintegrasi melibatkan multi pihak di tingkat pemerintahan dan non pemerintahan, termasuk tokoh-tokoh strategis di desa,” ucapnya.

Namun ia juga mengapresiasi sejumlah upaya perempuan Aceh yang aktif berjuang memberdayakan diri serta berkontribusi dalam pembangunan perdamaian Aceh. Apalagi, beberapa penyintas korban kekerasan ada yang menjadi paralegal komunitas, kader desa, dan peran-peran strategis lainnya di tingkat desa, serta ranah sosial dan politik.

“Meski juga disadari bahwa pengakuan terhadap kiprah perempuan tersebut masih terabaikan,” timpalnya.

Manfaatkan Medium yang Ada

Katua Pusat Studi Hak Asasi Manusia USK, Khairani Arifin menyampaikan persoalan HAM saat ini masih serius, ditambah dengan tidak banyaknya jumlah generasi muda yang peduli tentang isu ini.

“Aceh punya banyak persoalan terkait human right, Aceh hari ini termiskin se-Sumatera, pendidikan rendah, angka stunting nomor tiga di Indonesia. Itu semua ada di dekat kita, tapi ternyata tidak banyak yang peduli,” tegasnya.

Khairani mengharapkan generasi muda untuk  lebih aktif, peduli dan memperhatikan hak-hak masyarakat.

“Bisa berkontribusi melalui tulisan, penelitian, kampanye, atau menyuarakannya langsung ke pemerintah,” tandas Khairani.

Webinar Human Rights Goes to Campus diselenggarakan oleh Institute Ungu-Kedutaan Norwegia bekerjasama dengan Flower Aceh, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Syiah Kuala (Pusham USK), Teater Rongsokan, Millenial Empowerment, Young Voice, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum USK, dan Asian Law Students’ Association (ALSA) USK. (*)

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait